SEJARAH PENGATURAN DESA
Agar kita memiliki
pemahaman yang lengkap tentang desa, maka kita perlu untuk mengetahui bagaimana
desa terbentuk di Indonesia. Untuk mengetahui dan memahami desa banyak
referensi yang bisa baca tentang sejarah desa. Tentu sejarah desa dapat dilihat
dari berbagai pendekatan, sosiologis, politik dan juga ekonomi.
Menurut Syamsul Hadi
Thubany (Sosiolog Desa) dalam sebuah buku yang berjudul Strategi Ektra
Parlementer, bahwa terbentuknya desa berawal dari adanya sekelompok orang atau
keluarga batih yang berniat tinggal di suatu tempat. Mereka lalu membuat
kawasan permukiman permanen supaya aman dari ganguan dari orang luar atau
serangan dari binatang buas lainnya.
Lama kelamaan kelompok
tersebut membentuk komunitas sendiri yang disatukan oleh ikatan kekerabatan,
budaya dana adat istiadat. Dari sinilah sejarah sebuah desa terbentuk. (Syamsul
Hadi, 2005 Hal 1).
Nilai-nilai maupun norma-norma dan pranata social yang berkembang di dalamnya kemudian membentuk sebuah civic culture (kultur berkeadaban) serta menjadi rujukan untuk mengelola kehidupan warganya sehingga dimungkinkan adanya tertib social.
Sejak ribuan tahun silam sebelum terjamah oleh pemerintahan kerajaan (negara), desa sangat leluasa menikmati kemerdekaanya. Ketundukkan dan penghormatan orang-orang desa hanya diberikan kepada tetua adat. Atau kepada orang yang linuwih berkat keistimewaan atau kelebihan yang dimiliki, dan sekaligus bisa dijadikan pengayom warga.
Dalam kurun perjalannya, desa akhirnya menjadi “tersandera” setelah muncul kekuasaan negara, yang eksistensinya membutuhkan legitimasi rakyat atas klaim teritori. Akibatnya adalah desa harus menerima seperangkat aturan normative dari negara. Sebagai contoh desa berkewajiban untuk menyetor upeti (pajak) atau personel militer yang diperlukan memperkuat pertahanan negara.
Dari sinilah kemudian pengaturan desa terus berkembang, yang dimulai sejak jaman kerajaan, masa penjajahan colonial Belanda, dan setelah berdirinya Negara Republik Indonesia (NKRI).
Pada zaman Hindia Belanda,
menyangkut urusan desa diberlakukan undang-undang pemerintahan desa yang
berbeda antara desa-desa di pulau jawa dan Madura, dan antara desa-desa diluar
pulau jawa dan Madura. Di Jawa dan Madura diberlakukan Inlansche Gemente
Ordanantie Java en Madoera (Stbl. 1906 jo. Stbl. 1938 No. 681).
Setelah Indonesia merdeka, pengaturan desa diatur melalui undang-undang No. 19 tahun 1965 yang menempatkan desa sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja. Undang – undang tersebut kemudian mengalami perubahan pada saat orde baru mulai berkuasa, menjadi Undang-undang No. 6 Tahun 1969, yang salah satunya menganulir adanya sebutan Desa praja tersebut.
Undang-undang tersebut kemudian dirubah kembali oleh kekuasaan orde baru, dengan membuat undang-undang No. 5 tahun 1979 yang menempatkan desa berkedudukan dibawah Camat, dimana Camat merupakan kepala wilayah yang menjalankan suatu pemerintahan vertical (dekonsentrasi).
Pada era reformasi, pengaturan tentang desa kembali mengalami perubahan. Pengaturan tentang desa menjadi satu paket melalui undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Desa merupakan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya diserahkan kepada daerah Kabupaten/Kota dengan membentuk Perda.
Tak lama kemudian terjadi perubahan undang-undang tentang pemerintah daerah, melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang kembali menempatkan desa dalam satu “kekangan” undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kemudian sebagai turunan undang-undang tersebut, pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP) No. 75 tentang desa, yang memuat tentang Kelembagaan Desa, pengelolaan anggaran desa.
Sepuluh tahun kemudian, DPR dan pemerintah melahirkan undang-undang yang secara khusus tentang Desa, yaitu undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Melalui undang-undang ini menempatkan desa bukan lagi sebagai subordinat pemerintah diatasnya. Desa merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan sendiri (Self Government Community).
Melalui undang-undang tersebut, desa diberikan menjalankan kewenangan dan juga kepastian anggaran untuk menjalankan kewenangan tersebut. Selain itu dalam undang-undang tersebut, juga memberikan jaminan kepada warga desa untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan.