Desa: Dari Revolusi Industri Hingga Lahirnya UU Desa
Jika berbicara mengenai desa, tentunya pemahaman awal
akan menjangkau sejauh mana konsep desa ditakar secara runutan sejarahnya.
Perkembangan desa itu sendiri telah dimulai
sejak Revolusi Industri. Seiring dengan dimulainya Revolusi Industri yang
terjadi di Eropa dan Inggris antara periode 1789 – 1850, perubahan desa terjadi
sangat pesat.
Pada periode tersebut terjadi pergeseran
kekuatan dari desa ke kota, urbanisasi yang pesat, perkembangan ekonomi dan
politik dari feodalisme ke kapitalisme hingga perubahan masyarakat komunal ke
individual. Pada periode ini terjadi perubahan besar yang dimulai di Eropa dan
berpengaruh di seluruh dunia.
Perubahan itu terkait dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga meluasnya industrialisasi dan
modernisasi di kota-kota besar yang membentuk kebudayaan baru masyarakat kota.
Berbagai penemuan yang mendasari perubahan baru cukup
mencengangkan masyarakat pada zamannya, sehingga sempat terjadi pula berbagai
ketegangan dan perseteruan paham di kalangan para penganut tradisi dan penemu
baru.
Penemuan baru tersebut menggerakkan
masyarakat yang selama ini dibawahi kungkungan kegelapan dogma seperti
memperoleh pencerahan. Masyarakat menjadi lebih tergerak untuk mengembangan
pemikiran dan menguji temuan-temuan baru.
Pada periode tersebut juga terjadi Revolusi
Prancis yang mewarnai perubahan besar sejarah Eropa yang menghancurkan tatanan
politik, sosial, hukum dan institusi dari yang lama (old gime) menjadi
tatanan baru (new
regime) yang bertumpu pada hak individu, pemerintahan yang
representatif dan munculnya loyalitas pada negara dengan mengobarkan slogan “Liberty!
Equlity!, Fraternity!” yang mewarnai semangat demokrasi dalam the
Declarationof the Rights of Man, menjadi inspirasi perubahan di
Eropa (Breunig, 1977).
Tatanan kekuasaan berubah dari kerajaan
dengan sistem feodal ke bentuk nasionalisme modern yang kemudian membentuk
negara dan sistem pemerintahan yang berbeda dari zaman sebelumnya.
Di balik
fakta sejarah
Fakta sejarah dalam perjalanan dunia
tentunya menghadirkan implikasi yang memengaruhi berbagai bidang kehidupan
manusia. Dalam kaitannya dengan desa, kedua fakta sejarah ini memengaruhi pula
dalam berbagai kehidupan sosial kemasyarakatan.
Perbaikan kehidupan seperti ditemukannya
metode kesehatan dan pengobatan, ketersediaan pangan, kemudahan akses
trasportasi dan fasilitas membuat ledakan jumlah penduduk. Perkembangan
pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia memungkinkan untuk mengontrol
ketidak pastian mengelola perubahan untuk mencapai tujuan. Jumlah penduduk
terus meningkat seiring dengan perbaikan kesehatan dan kuitas hidup serta
lingkungan disekelilingnya.
Perubahan ini menjadi titik tolak ledakan jumlah penduduk
dunia. Pendudukan dunia yang selama berabad-abad berkisar setengah juta jiwa,
sejak revolusi industri meningkat pesat. Pada tahun 1806 jumlah penduduk dunia
baru mencapai 1 miliar. Kemudian secara berangsur-angsur naik menjadi dua
miliar pada tahun 1927, naik lagi menjadi tiga juta pada tahun 1960 an. Hanya
dalam waktu kurang dari setengah abad atau antara tahun 1960-2000, penduduk
dunia telah meningkat berlipat menjadi enam miliar jiwa.
Dari perkembangan jumlah penduduk ini
menghadirkan beberapa fenomena baru. Pertama, bertambahnya jumlah orang kaya
baru. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya penemuan baru dari sebagian
besar penemu diberbagai bidang. Hal ini lantas menghadirkan konsep kepemilikan
dari beberapa penemuan tersebut. Dalam perkembangannya pun terjadi kesenjangan
antara orang kaya maupun orang miskin. Dan orang miskin inilah yang dalam
perkembangan selanjutnya dikatakan sebagai orang desa.
Kedua, bertambahnya jumlah kebutuhan
masyarakat perkotaan. Kenyataan ini pun yang kemudian membuat tingkat kebutuhan
masyarakat di daerah perkotaan semakin bertambah. Dan untuk memenuhi kebutuhan
ini, posisi desa menjadi tawaran paling realistis. Dua konsep inilah yang coba
dirunut dari fenomena jumlah penduduk pasca dua fakta sejarah yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Perjalanan
Desa di Indonesia
Keberadaan desa di Jawa khususnya dan
Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintahan Indonesia belum berdiri.
Desa merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat
istiadat masyarakat. Kerajaan yang pernah ada ada di Jawa mengakui desa sebagai
wilayah kesatuan hukum dibawah naungan kerajaan.
Status dan keberadaan desa pada masa
kerajaan mengacu kepada “Buku Kertagama” dan “Serat Wulangreh”. Ketika masa
pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu kesatuan
wilayah hukum berdasarkan adat istiadar yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena
itu pada masa pemerintahan hindia belanda, dibuatlah undang-undang tentang
desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906
untuk desa-desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Islandsche
Verbenden Ordonnatie Buitengewesten) untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi.
Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan
mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1
Maret tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini
ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan
umum untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat juga dipecat oleh
Syuucookan.
Selanjutnya, pada zaman penjajahan Jepang Desa
ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah.
Pada pendudukan jepang ini otonomi desa kembali dibatasi bahkan desa dimobilisasi
untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan,
Seinendan dan lain-lain. Kepala desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk
menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu.
Pemerintah desa pada jaman pendudukan jepang terdiri dari 9 pejabat: Lurah,
Carik, 5 (lima) orang mandor, Polisi desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).
Pada saat negara Republik Indonesia
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi
tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi desa merupakan
satu kesatuan wilayah pemerintahan sebagai bagian dari desa.
Begitu pentingnya desa sebagai perangkat
negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan penganyom kehidupan
warga, maka untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja
Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No.2 yang kemudian ditetapkan
menjadi UU No. 1/1945. Undang-Undang ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan
komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang
Kepala Daerah.
Karena undang-undang tersebut dianggap
tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi (a) desa adalah merupakan satu kesatuan
wilayah hukum berdasarkan wilayah hukum yang berdasarkan adat istiadat yang
berkedudukan dalam wilayah pemerintahan republik Indonesia; (b) RT/Dusun masih
tetap dipertahankan sebagai bagian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan
administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan
provinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1
Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang
ada di wilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan
kabupaten dan pemerintahan provinsi.
Undang-undang tentang desa tersebut
diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian
dan kehormatan sosial politik dan legitimasi hukum yang luar biasa dari
pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang-Undang Desa Nomor
19 tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa merupakan pemerintahan Swapraja
yang merupakan kelengkapan kelembagaan demokrasi; Eksekutif (Kepala Desa
beserta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa/ Gotong Royonh); dan Mahkamah Desa/
Adat (Para Sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai “desa swapraja” benar-benar memberi
peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak “bermental
miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh-sungguh sempurna yang memenuhi
asas pemerintahan yang baik (Good Governance).
Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk
pengentasan “kemiskinan” warga desa.
Hal ini tercermin pada alokasi penggunaan
tanah desa untuk enam sektor penting yakni: (1) Tanah titi sara; adalah tanah
desa yang digunakan untuk bantuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau
terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan
untuk biaya pendidikan anak-anak desa. (3) Tanah sengkeran; adalah tanah desa
yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit/tanaman yang dilindungi dan penyeimbang
ekosistem lingkungan alam. (4) Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya
untuk biaya komunikasi, lobi dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah
tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggemblengan hewan. (6)
tanah pelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk memberi honor para
eksekutif, legislatif dan yudikatif desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam
kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya,
swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya
pada tanggal 30 September terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat
dengan sebutan G 30 S PKI.
Kehidupan desa beserta tatanannya ikut
“hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut, sehingga hanya sebagian desa
di Indonesia yang sempat menerapkan desa swapraja seperti desa-desa di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja adalah
almarhum Sultan Hamengku Buwana IX.
Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan
“mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan
keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak
memberlakukan seluruh perundang-undangan dan peraturan tentang desa. Dengan
demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum maka
kehidupan desa bagaikan “anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai
pegangan dan legitimasi sosial politik apapun dari negara.
Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5
Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa
yang merupakan bagian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan
keluarnya UU 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan
desa hanya sebagai “perangkat” pemerintah bukan sebagai “penganyom” dan
“pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Posisi sosial, politik dan hukum desa
berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 1979 yang dilandasi oleh maklumat
politik Orde Baru No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata
kelola desa. Sebab undang-undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan
pemerintahan desa dan pembangunan desa bukan lagi hak dan kewenangan pemerintah
daerah dibawah arahan pemerintah pusat.
Desa bukan lagi sebagai subyek namun
sebagai objek berbagai projek pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah
daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah administrasi pemerintah
daerah yang “taat” dan patuh menerima “kehendak baik” berupa berbagai bentuk
bantuan dan subsisi pemerintah pusat melalui pemerintah daerah misalkan kasus
program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Ketika era reformasi melengserkan rezim
orde baru, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat angin segar
yaitu keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999. Undang-Undang tersebut memberi posisi
desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai
legislatif (Badan Perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa beserta pamong
desa), sayangnnya UU No 22 tahun 1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai
Badan Yudikatif seperti UU 19/1965. Walaupun demikian sudah cukup memberikan
hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan
pembangunan desa secara berdaulat.
Pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999
terseok-seok bagaikan nafsu besar tenaga kurang, semangat desa mempunyai hak
dan kewenangan tidak diimbangi dengan karakter dan keterampilan mengelola pembiayaan
pemerintahan secara mandiri dan maksimal. Hal ini terlihat dari komposisi
APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagian desa masih
menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD
(Alokasi Dana Desa). Konsekuensinya adalah kemandirian desa terciderai dengan
berbagai arahan penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah.
Pada periode Undang-Undang Nomor 32 tahun
2015, tema desa lebih dibicarakan pada level Peraturan Pemerintah sebagai
petunjuk pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Definisi
desa menurut PP No. 72 tahun 2005 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Secara tersurat, PP ini mengakui adanya
otonomi desa dalam bingkai NKRI. Dapat disimpulkan, baik UU No.32/2004 maupun
PP No. 72 /2005 ini memang mengamanatkan adanya desentralisasi
kekuasaan bagi pemerintahan desa. Selain itu, PP 72/2005 juga
melegitimasi peran BPD sebagai lembaga representatif rakyat desa untuk
melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa.
Tetapi, Peraturan Pemerintah itu tetap
memunculkan masalah terkait peran BPD. Peraturan Pemerintah ini masih
memposisikan kewenangan BPD di bawah pemerintah desa. Hal itu tampak pada pasal
29 yang menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
desa. Sementara itu, bagi Pemerintah Desa, selain memberikan peluang bagi
terwujudnya kemandirian desa, era otonomi daerah juga mensyaratkan kesiapan
desa dalam menghadapi beragam tantangan.
Berangkat dari berbagai permasalahan desa
pada peraturan perundangan sebelumnya, hadirnya UU No 6 Tahun 2014 memberi
angin segar dalam pengelolaan desa. Hal ini dapat ditakar melalui beberapa
indikator Pertama, tiap desa mendapatkan alokasi APBN sebesar 10 persen dari
dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus (DAK).
Nilainya disesuaikan geografis, jumlah
penduduk dan jumlah kemiskinan. Kedua, kepala desa dan perangkat desa
mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan jaminan kesehatan.
Ketiga, masa jabatan kepada desa selama 6 tahun.
Dapat menjabat paling banyak tiga kali masa
jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dari ketiga
indikator sederhana ini dapat disimpulkan beberapa poin penting yakni
kebebasan, partisipasi, ekonomi maupun sosial budaya. Ketiga hal inilah yang
kemudian memberi jalan kepada penataan desa menuju institusi negara (baca desa)
paling mandiri.
Dapat dikatakan pula, kehadiran UU Desa ini
memiliki sifat tepat guna. Tepat pada waktu yang tepat dan tepat pada substansi
yang tepat pula. Desa dapat diberdayakan dan cita-cita menuju kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik dapat dimulai dari kemandirian unit
paling kecilnya bernama desa.
Dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 6
tahun 2014 Tentang Desa ini terdapat beberapa poin penting yaitu; pertama,
memberikan pengakuan dan penghormatan kepada Desa yang sudah ada dengan
keberagamananya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kedua, memberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, melestarikan dan memajukan adat,
tradisi dan budaya masyarakat Desa. Keempat, mendorong prakarsa, gerakan dan
partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna
kesejahteraan bersama.
Kelima, membentuk pemerintahan desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab.
Keenam, meningkatkan pelayanan publik bagi
warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.
Ketujuh, meningkatkan ketahanan sosial
budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara
kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Kedelapan, memajukan perekonomian
masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dan kesembilan
memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Oleh : Evan Lahur, Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta
Sumber
: http://www.floresa.co/2015/02/06/desa-dari-revolusi-industri-hingga-lahirnya-uu-desa/