Mungkin kita sudah cukup senang ketika banyak orang atau organisasi yang membeberkan fakta, menguji hoax dengan fakta dan usaha-usaha melawan hoax dengan fakta yang sebenarnya yang makin banyak dilakukan, baik oleh individu maupun oleh organisasi. Namun ternyata usaha ini belum tentu bisa meredam sebaran hoax.


Hal ini terungkap dalam acara bertajuk The Science Behind Hoax yang digelar di Perpustakaan Nasional beberapa waktu yang lalu. Dikutip dari Beritagar, dalam seminar tersebut tampil dua ilmuwan dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), yaitu ahli neurosains, Berry Juliandi dan pakar ilmu sosial, Roby Muhammad.
Dalam kesempatan tersebut diungkapkan peran amigdala, bagian otak paling primitif yang dimiliki makhluk hidup. Sifat primitifnya, membantu makhluk hidup selalu waspada demi bertahan hidup. Amigdala pada manusia menjadi yang pertama memproses informasi, sebelum diproses secara logis pada bagian lain.
Saat amigdala menerima sinyal ancaman, manusia segera bereaksi, misalnya berupa penolakan. Ketika ancaman tersebut berasosiasi dengan sebuah entitas, penolakan muncul terhadap entitas tersebut, sekalipun informasi itu bukan fakta. Masalahnya, proses fakta terjadi setelah informasi melewati amigdala. Bila penolakan yang terlebih dahulu muncul, maka proses menafsir informasi secara logis yang berlangsung di otak bagian depan, tidak akan terjadi.
Inilah yang membuat hoaks menjadi sedemikian canggih karena mampu memengaruhi sikap dan perilaku manusia, tanpa harus melalui proses olah informasi secara logis. Cukup menyasar titik pada amigdala, informasi sudah bisa memberi dampak.
Dengan adanya fakta tersebut menjadikan perlawanan terhadap hoax menjadi tidak mudah. Ternyata melawan hoax tak sesederhana dengan menawarkan fakta tandingan. Seperti diuraikan sebelumnya, informasi bahkan belum sempat menjangkau bagian otak yang memproses fakta. Karenanya, akan sia-sia bila memaksakan fakta-fakta keras terhadap mereka yang terinfeksi hoax.

Sumber : http://internetsehat.id/2019/02/melawan-hoax-ternyata-tidak-mudah/