Daun katuk dikenal sebagai sayuran yang bagus untuk menambah cairan air susu ibu (ASI) sehingga cocok dikonsumsi oleh ibu yang baru melahirkan dan menyusui. Desa Cirangkong berinovasi mengembangkan produk berbahan baku daun katuk untuk pakan ternak sapi perah. Produk ini mampu menambah volume susu sapi. Kini, BUMDes Jaya Aulia Desa Cirangkong tengah membudidayakan tanaman katuk seluas 20 hektar untuk memenuhi permintaan para peternak sapi perah.

Lokasi budidaya tanaman katuk di Desa Cirangkong, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat


Desa Cirangkong terletak di Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pengembangan produk berbahan baku daun katuk dipelopori oleh Badan Usana Milik Desa (BUMDes) yang bernama Jaya Aulia. BUMDes Jaya Aulia mengembangkan produk katuk kering sebagai pencampur pakan untuk ternak sapi perah. Berdasarkan pengalaman para peternak sapi perah, pemberian 100 gram produk katuk kering perhari bisa meningkatkan volume susu berkisar antara 35-40 prosen.

Saat ini, ada empat varietas katuk yang berhasil dikembangkan yakni varietas Zanzibar, Kebo, Bastar dan Paris. Jenis katuk yang banyak dijual di pasar adalah varietas Bastar dan Kebo. Bahkan, Kebun Percobaan Manoko Lembang sudah melakukan pengujian penggunaan katuk untuk sapi perah. Katuk varietas Kebo cocok untuk bahan baku pakan ternak, sementara katuk varietas Bastar dan Parisuntuk memiliki tekstur daun yang lembut sangat cocok dikonsumsi sebagai sayur untuk meningkatkan sumber ASI bagi para ibu menyusui.

Awalnya, tanaman katuk tidak lebih dari tanaman sayuran yang langsung jual ke pasar untuk memenuhi permintaan sayuran segar. Lalu, BUMDes Jaya Aulia memperkenalkan produk katuk kering yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Kalau dijual segar, harga daun katuk itu berkisar antara Rp 3.000-3.500 perkilogram. Sementara kalau dijual dalam bentuk kering bisa mencapai Rp 40.000 perkilogram. Untuk mendapatkan berat kering 1 kg diperlukan katuk segar sekitar 4 kg.

Saat ini, permintaan produk katuk kering dalam skala cukup besar datang dari Kabupaten Malang, Bandung, dan Surakarta. Kemampuan BUMDes untuk memenuhi permintaan pasar tersebut memang masih kecil karena minimnya luasan lahan. BUMDes Jaya Aulia baru menanam 87.000 batang katuk dalam lahan seluas 5.000 meter persegi sehingga baru mampu memproduksi produk katuk kering 500 kg perbulan.

Ke depan, volume produksi ini akan terus meningkat, dengan semakin bertambahnya luas tanam katuk di Desa Cirangkong. Pada 2018, BUMDes Jaya Aulia memperluas lahan untuk budidaya menjadi 20 hektar berkat dukungan modal Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Cirangkong dari Dana Desa (DD) sebesar 100 juta.

Inovasi yang dipraktikan BUMDes Jaya Aulia mendapat apresiasi positif dari sejumlah pihak, seperti Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor, Jawa Barat. Balittro siap menjembatani kerjasama desa dengan Kimia Farma Bandung untuk pengolahan katuk dalam keperluan farmasi.

Sistem pengeringan yang diterapkan oleh BUMDes Jaya Aulia ini masih sangat sederhana, namun hasilnya cukup bagus. Warna hijau dari daun yang dikeringkan itu masih tetap terjaga. Cara pengeringan yang modernhttps:// menggunakan teknologi simplisia yang telah dikembangkan oleh Balitrro. Simplisia ini mampu menjaga bahan aktif yang bermanfaat yang terkandung di dalam katuk tersebut dan daunya tetap hijau.

Pasar daun katuk ini cukup menjanjikan, baik untuk pasar lokal, maupun pasar ekspor. Desa Cirangkong berharap peluang bisnis mampu meningkatkan tarap perekonomian masyarakat desa. Selain akses permodalan, BUMDes Jaya Aulia membutuhkan dukungan mesin pengering supaya kegiatan produksi masyarakat tidak terkendala pada musim hujan.

Sumber: inovasidesa.kemendesa.go.id