Melihat Catatan Satgas Dana Desa: Celah Korupsi Berawal dari Lemahnya Dokumentasi Administrasi
Menginjak usia 4 tahun, pemerintah pusat menggulirkan triliunan dana desa (DD) ke seluruh pemerintah desa (pemdes) di Indonesia. Berbagai capaian positif dalam pembangunan di perdesaan pun menggeliat pesat. Di sisi lainnya, persoalan-persoalan hukum pun satu demi satu mencuat ke permukaan.
Hal tersebut yang membuat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melakukan berbagai MoU (nota kesepahaman) dalam meminimalisasi kebocoran DD yang sumbernya dari APBN. Salah satunya adalah membentuk satuan tugas (satgas) DD.
Satgas DD bertugas melakukan pengawasan pengelolaan DD, baik melalui monitoring maupun sidak langsung ke desa-desa yang diadukan atau dilaporkan pihak-pihak tertentu. Dari adanya aduan tersebut, satgas DD turun untuk melakukan pengecekan atas dugaan penyalahgunaan DD. Apabila dugaan tersebut terindikasi di ranah administrasi, maka satgas DD akan menyerahkannya ke inspektorat. Jika masuk ke ranah pidana, bakal digiring ke wewenang para penegak hukum yang sekarang ini juga turut mengawasi DD.
Tugas lain satgas DD juga melakukan kajian regulasi terkait pengelolaan DD. Kajian tersebut menjadi penting dalam upaya meminimalisasi adanya ‘kriminalisasi’ kepala desa (kades). Sebab, kata Ketua Satgas DD Bibit Samad Rianto, ada banyak kasus kades dituding melakukan penyalahgunaan wewenang. Setelah ditelisik, ternyata akar persoalannya adalah tidak memahami regulasi yang ada.
Hal inilah yang kemudian menjadi guide line satgas DD saat menindaklanjuti berbagai laporan yang masuk. Seperti yang dilakukannya di wilayah Kabupaten Malang dalam beberapa hari kemarin.
Satgas DD melakukan pemantauan di dua desa, yaitu di Desa Sumbermanjing Wetan dan Desa Pandanlandung, Wagir. Dari hasil pamantauan tersebut, satgas DD menekankan mengenai celah-celah korupsi dalam pengelolaan DD serta mengenai regulasi-regulasi desa yang sangat banyak serta kerap membuat pemdes kebingungan dan akhirnya terjebak pada kesalahan yang disebabkan ketidakpahaman atas regulasi yang ada.
“Niat baik diperlukan cara yang baik. Cara yang baik itu mengikuti regulasi yang mengaturnya. Karenanya pemahaman regulasi menjadi penting. Niat baik kalau caranya salah, maka akan menjadi salah,” kata Budi Harsoyo, tim Satgas DD dari Kemendes PDTT yang didampingi oleh rekannya, Fathurrohman.
“Jadi, apa pun harus sesuai aturan. Kalau belum ada aturan yang menjelaskannya, maka silakan dirembuk bersama-sama dalam musyawarah desa untuk membuat aturan yang akan dijadikan dasar hukumnya,” lanjut Budi menyikapi celah-celah regulasi dalam pengelolaan DD serta ketidakpahaman pemdes dalam banyaknya aturan yang ada.
Pemahaman regulasi bagi pemdes juga bisa menutup celah-celah bagi terjadinya korupsi. Atau tahapan-tahapan yang rawan korupsi. Karena itu, Budi juga menegaskan, bukan hanya pemdes yang harus mengetahui regulasi. “Tapi juga masyarakat desa secara luas. Sehingga akan ada dialog dua arah dalam proses pengelolaan DD. Tidak terjebak pada laporan-laporan sepihak saja nantinya,” imbuh Budi.
Dari data satgas DD, laporan masyarakat sampai November 2018 sudah mencapai 25 ribu aduan dari seluruh Indonesia. Dari puluhan ribu aduan yang dilakukan pemantauan oleh satgas DD sebanyak 9 ribu laporan terkait dengan ekses politik pilkades. “Sebanyak 5 ribu terkait ekses ketidakharmonisan hubungan antara badan permusyawaratan desa (BPD) dengan kepala desa,” ucap Budi.
Hal-hal inilah yang membuat satgas DD terus melakukan berbagai penguatan sekaligus melakukan kajian-kajian regulasi yang ada. Agar antara satu regulasi dengan yang lainnya tidak tumpang tindih. “Ini yang terus kami kaji agar sinkron satu sama lainnya. Jangan sampai celah-celah regulasi ini jadi celah bagi oknum untuk bermain-main dengan DD,” ucap Bibit Samad.
Fathurrohman menyampaikan, beberapa temuan selama melakukan pengawasan di berbagai desa di Indonesia mengenai celah rawan korupsi dalam pengelolaan DD.
Pertama, adalah lemahnya dokumentasi administrasi dalam dokumen perencanaan desa. Eksesnya adalah saat pihak tertentu atau masyarakat melakukan protes dan melakukan pelaporan. Pemdes tidak bisa menjelaskannya secara tertulis. “Dokumen desa tidak bisa menjawabnya karena memang tidak ada. Selain itu lemahnya dokumentasi juga rawan dengan adanya program titipan dari kegiatan supradesa,” ujar Fathurrohman yang menegaskan pentingnya pemdes melakukan dokumentasi administrasi, seperti dokumen berita acara musyawarah dusun, pramusdes, musdes, dan seterusnya.
Celah rawan korupsi kedua adalah proses perencanaan pembangunan terkadang tidak disesuaikan dengan kondisi di desa atau wilayah sekitar. Fathurrohman mencontohkan satuan harga material sebagai basis penyusunan rencana anggaran belanja (RAB) per kegiatan.
“Harga semen di Malang tentu berbeda dengan di Maluku atau luar pulau Jawa, misalnya. Ini yang juga bisa membuat pemdes terjebak dalam korupsi,” urainya.
Satgas DD yang hadir di Kabupaten Malang juga meminta kepada pemdes untuk lebih cermat dalam proses administrasi pengadaan barang dan jasa. Kecerobohan dalam pengadaan barang dan jasa akan membuat kades rawan terkena persoalan hukum. Karena itu, satgas DD meminta pemdes melakukan pengadministrasian dengan cara membuat surat perjanjian kerja sama antar tim pelaksana kegiatan (TPK) dengan penyedia barang.
“Untuk hal lain tentang nota dan kuitansi dan tandatangan para pihak. Ini harus benar-benar riil. Jangan main-main dengan nota dan tandatangan,” tegas Fathurrohman.
Selain hal tersebut, proses penyusunan laporan kegiatan pun ternyata menjadi bagian temuan dari pengawasan satgas DD. Satgas DD mengatakan, laporan kegiatan yang dijadikan satu sehingga begitu tebalnya menjadi salah satu modus untuk mengaburkan ketidakjelasan dalam laporan yang dibuat. “Jadi, ini biasakan buat laporan per kegiatan. Jangan seluruh laporan, misalnya 30 kegiatan dijadikan 1 dan akhirnya menjadi campur aduk dan kacau,” ucap Fathurrohman.
Satgas DD yang juga mengapresiasi desa di wilayah Kabupaten Malang atas praktek pengelolaan DD, tetap menegaskan agar jangan main-main dengan DD. “Ini dana masyarakat, bukan milik Kades atau perangkat desa,” pungkas Fathurrohman.
Sumber : www.malangtimes.com