Permasalahan cukup serius bagi desa dalam melaksanakan perencanaan pembangunan saat ini adalah terdapatnya dualisme pada pola penyusunan dan penetapan rencana pembangunan yang cenderung menimbulkan kebingungan pada saat penyusunan dokumen rencana tingkat desa.



Akibatnya, pola penyusunan dan penetapan rencana pada masing-masing desa menjadi berbeda dan tidak terpadu dengan perencanaan pembangunan daerah. hal ini tentunya akan menimbulkan dampak negatif terhadap penyatuan arah dan konsistensi pembangunan antara desa dengan daerah sehingga keterpaduaan, sinergitas, dan efesiensi proses pembangunan secara keseluruhan menjadi sukar diwujudkan.

Dualisme dalam pola penyusunan rencana terjadi pada penyiapan dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Pada satu pihak, bappppeda sebagai otoritas perencanaan pada tingkat daerah mengeluarkan pola penyusunan rencana sebagaimana terlihat pada RKPD. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa RKPD disusun dengan mengacu pada RPJMD. Sedangkan Kementeriaan Dalam Negeri (Kemendagri) dipihak lain mengeluarkan  pola penyusunan rencana pembangunan untuk tingkat desa  sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa yang memuat terkait perencanaan pembangunan desa.

Dualisme ini terjadi karena kedua pola peyusunan rencana pembangunan ini cukup nyata perbedaannya dan muncul beberapa permasalahan, terutama dalam penyusunan dan Penetapan  RKP Desa.

Pertama, Desa kesulitan menyelaraskan arah kebijakan pembangunan desa dengan daerah dikarenakan  penyusunan RKP Desa berada pada rentang waktu yang berbeda dengan penyusunan perencanaan tahunan atau RKP Daerah sehingga ini menyebabkan target-target pembangunan yang ditetapkan pada dokumen RPJM Daerah akan sulit tercapai tanpa ditopang dengan perencanaan desa yang kurang realistis mempotret kondisi permasalahan lingkungan ekonomi sosial dan budaya. Faktanya, Sesuai amanat Permendagri 114 Tahun 2014 bahwa penetapan RKP Desa paling lambat bulan September melalui musrenbang, sedangkan untuk perencanaan pembangunan daerah akan dilaksanakan pada awal tahun berikutnya (januari-februari). Kondisi ini tentunya membuat desa harus sabar menunggu untuk usulan-usulan kegiatan yang akan disampaikan saat musrenbang kecamatan.

Kedua, tidak dapat memuat usulan-usulan kegiatan yang akan menjadi fokus pembangunan daerah setiap tahunnya dimuat pada tema pembangunan, karena kriteria atau petunjuk teknis perencanaan pembangunan tahuan berada pada otoritas perencanaan daerah yaitu Bappppeda bukan dinas pemberdayaan masyarakat desa.

Ketiga, Dalam dokumen RKP Desa tidak memuat target-target pembangunan secara kuantitatif dan jelas  berdasarkan identifikasi permasalahan di desa, diantarnya isu-isu pembangunan, prioritas pembangunan daerah, strategi dan kebijakan pembangunan, serta indikator kinerja program.

Tentunya masing-masing pola penyusunan rencana tersebut mempunyai kekuatan dan kelemahan sendiri. Namun, dualisme dalam penetapan rencana pembangunan desa juga muncul karena adanya dua perbedaan ketentuan dalam penetapan dokumen rencana sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN dengan Permendagri 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

 “Keselerasan dan Keserasian Perencanaan Desa Membantu Mewujudkan Target-target Pembangunan Daerah”


Oleh : Ari Arifin (Koordinator Kabupaten FDM Sumedang)