ISU UTAMA YANG HARUS DISIKAPI BPD DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Undang-undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan perubahan besar dalam tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan desa. Salah satunya adalah tentang kelembagaan di
desa termasuk didalamnya BPD. Dalam kedudukannya sebagai lembaga desa yang
menjalankan fungsi Pemerintahan Desa, BPD memiliki peran dan fungsi serta tugas
yang strategis dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya, ada beberapa isu yang harus disikapi dan menjadi perhatian BPD, diantaranya :
Kewenangan Desa
Dalam konteks implementasi UU Desa, kewenangan desa
menjadi ruh atau inti dalam penyelenggaraan desa. Penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan desa harus berdasar pada
kewenangan desa. Dengan kata lain kewenangan desa merupakan alas hukum bagi
penyelenggaraan pemerintahan desa. Peraturan Menteri Desa PDTT RI Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa merupakan Pengaturan
mengenai kewenangan desa telah dibuat di tingkat nasional yang selanjutnya
diatur lebih lanjut dengan peraturan di daerah serta peraturan desa.
Karena kewenangan
Desa pada akhirnya ditetapkan dengan peraturan Desa, maka sesuai dengan fungsi
dan tugasnya, BPD terlibat dalam pembahasan dan penetapannya. Dalam membahas
Peraturan Desatentang kewenangan Desa, hendaklah BPD benar-benar memperhatikan
kondisi dan potensi desa, agar kewenangan yang ditetapkan dapat dijalankan
dengan baik di Desa.
Prioritas Program dan Kegiatan Pembangunan
Pasal 78 UU Desa
menyatakan bahwa Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan
melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan.
Tujuan pembangunan
tersebut perlu tercemin dalam program dan prioritas pembangunan. Pasal 80 UU
Desa menyatakanPerencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa. Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan
musyawarah perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah perencanaan Pembangunan
Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa
yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat
Desa, dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Prioritas, program,
kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa selanjutnya dirumuskan berdasarkan
penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
- Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;
- Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
- Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif; d. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
- Peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.
Perencanaan
pembangunan juga harus tercermin dalam Belanja Desa yang menyatakan bahwa
Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang
disepakati dalam Musyawarah Desa dan memperhatikan prioritas Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah. Kebutuhan
pembangunan desa, sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kebutuhan primer,
pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pemberdayaan Masyarakat
UU Desa
mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan
kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat
Desa. Dengan definisi ini pemberdayaan bukan hanya cara melainkan tujuan dari
penyelenggaraan desa. Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu azas dalam UU
Desa. Pemberdayaan masyarakat juga tersebar dalam berbagai pasal UU Desa yang
intinya menjadikan masyarakat sebagai subyek dari pembangunan. BPD adalah
perwakilan dari masyarakat. Karena itu setiap keputusan dan perbuatan harus
mencerminkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan selalu berupaya untuk
mendudukan masyarakat sebagai subyek pembangunan di desa.
Partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas sosial adalah salah satu prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Partisipasi merupakan salah satu asas dalam UU Desa
yang diartikan sebagai turut berperan aktif dalam kegiatan. Transparansi adalah
proses dan tujuan untuk menjadikan masyarakat luas mengetahui informasi
penyelenggaraan desa. Sedangkan akuntabilitas sosial adalah setiap usaha agar
penyelenggaraan desa dapat dipertangungjawabkan kepada masyrakat sebagai
pemberi mandat. UU Desa dengan tegas menyatakan agar partisipasi, transparansi
dan akuntabilitas sosial terwujud dalam isu-isu sttrategis di desa, misalnya:
- Pembangunan Desa
- Pengelolaan Keuangan dan aset desa
- Pembentukan BUM Desa
- Kerja sama antar Desa
Perwujudan penting
dari partisipasi, transparansi dan akuntabilitas sosial adalah Musyawarah Desa
yang penyelenggaraannya menjadi tugas BPD. Karena itu BPD perlu menyelenggarakan
forum ini dengan baik. Perwujudan lainnya adalah pengembangan sistem informasi
desa dan sistem penampungan, pengelolaan dan penyampaian aspirasi –termasuk
keluhan- dari masyarakat untuk disampaikan kepada penyelenggara pemerintahan
desa.
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Desa untuk
semua (inklusif)
Perencanaan dan
penganggaran pembangunan desa inklusif adalah perencanaan dan penganggaran yang
diperuntukan untuk semua lapisan masyarakat yang ada di desa. Salah satu tugas
BPD adalah memfasilitasi Musyawarah Desa. Untuk dapat memberikan masukan
terhadap perencanaan dan penganggaran yang inklusif, BPD perlu memahami
beberapa konsep kunci, persoalan dan pendekatan utama terkait kesetaraan gender
dan inklusi sosial. Pemahaman yang baik akan hal-hal tersebut diatas menjadi
prasyarat untuk dapat mengkaji dan menetapkan anggaran yang responsif terhadap
kebutuhan kelompok yang seringkali terabaikan dalam berbagai proses pengambilan
keputusan di tingkat desa seperti kaum perempuan, penyandang cacat/disabilitas,
masyarakat miskin, masyarakat adat dan kelompok minoritas lainnya. Dalam buku
panduan ini, fokus utama diberikan pada isu gender dan disabilitas sesuai
dengan prioritas utama pemerintah.
Gender Mengapa penting memahami isu gender?
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia menjamin hak setiap warga negaranya untuk menikmati
dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang. Namun demikian,
perolehan akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta kontrol
terhadap sumber daya antara warga desa/penduduk perempuan dan laki-laki belum
setara.
Untuk memperkecil
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, pada tahun 2000, dikeluarkan
Instruksi Presiden (lnpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Instruksi ini mengharuskan
semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah termasuk desa untuk
melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG dilakukan dengan
mengintegrasikan perspektif dan analisis gender ke dalam proses pembangunan di
segala bidang.
Dengan demikian,
perencanaan dan penganggaran pembangunan desa, menjadi ruang dan sarana yang
sangat strategis untuk penerapan PUG, karena merupakan ‘jantung’ pemerintahan
dalam mengelola sumberdayanya. Apabila dalam proses perencanaan dan
penganggaran dilakukan secara partisipatif, transparan, akuntabel dan
menggunakan analisis gender, hampir dapat dipastikan bahwa dokumen-dokumen yang
dihasilkan melalui proses tersebut juga akan responsif gender.
BPD sebagai lembaga
yang telah mempelopori keberpihakan terhadap perempuan melalui keberadaan unsur
perempuan dalam kelembagaan BPD, diharapkan dapat mendorong keterlibatan aktif
perempuan dalam rangka percepatan upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat di
desa.




