Musdes merupakan salah satu bentuk demokrasi deliberatif yang menjadi wadah bagi pengembangan dialog untuk mencapai mufakat bersama. Peserta musdes adalah pemdes, BPD, dan unsur masyarakat desa. Kepesertaan yang mencakup semua pemangku kepentingan di desa menjanjikan berlangsungnya demokrasi secara inklusif.





Kedudukan musdes sangat kuat karena merupakan forum tertinggi pembuatan keputusan di desa. Hasil musyawarah juga menjadi pegangan bagi pemdes dan lembaga lain di desa dalam melaksanakan tugasnya.


Kekuasaan yang melekat pada musdes sesungguhnya merupakan cerminan pelaksanaan self-governing community dan setiap keputusan yang dihasilkannya mengikat semua warga dan lembaga di desa. Mandat yang diberikan kepada musdes juga kuat, yaitu sebagai forum pengawasan dan pembuatan keputusan strategis. Mandat yang melekat di dalam musdes menjanjikan diakuinya kuasa warga atas hal-hal strategis terkait dengan desa dan penghidupan mereka.


Terkait dengan pengawasan terhadap pemdes, UU Desa menyatakan bahwa musdes merupakan sarana bagi masyarakat desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa (Pasal 85 Ayat 2). Hal ini juga ditegaskan dalam PP No. 43/2014 dalam Pasal 121 Ayat 5. Ini berarti bahwa masyarakat sesungguhnya diberi kesempatan untuk berperan dalam pengawasan terhadap pemdes.


Sebagai sarana pembuatan keputusan strategis, peran untuk memaksimalkan fungsi musdes sebenarnya ada di tangan BPD. Ini berarti bahwa walaupun secara hukum posisinya dalam pemerintahan tidak seimbang, BPD bisa menggunakan forum musdes untuk menjadi saluran pengorganisasian kepentingan masyarakat agar terserap dalam kebijakan pemerintahan desa. Namun, secara umum BPD belum memahami peran penting tersebut. Sebagian besar musdes dilaksanakan hanya untuk keperluan perencanaan pembangunan desa. Itu pun pada umumnya dilaksanakan oleh pemdes, sedangkan BPD hanya menjadi pihak yang diundang. Padahal, musdes seharusnya diselenggarakan oleh BPD.


Sementara itu, unsur-unsur warga desa ternyata juga belum memiliki pengetahuan yang cukup akan haknya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Secara umum, warga masih beranggapan bahwa pengaturan dan pengurusan desa merupakan urusan pemdes. Tidak banyak warga yang memahami bahwa mereka memiliki hak untuk menyampaikan dan memperjuangkan kebutuhannya agar bisa diwujudkan bersama dengan pemdes. LKD (termasuk lembaga adat) sebagai wadah partisipasi warga belum beranjak dari statusnya sebagai pelaksana kegiatan. Padahal, LKD memiliki ruang untuk mengusulkan program dan kegiatan kepada pemdes.

 

Secara umum, pengaturan struktur dan prosedur pelaksanaan demokrasi yang memuat tugas dan fungsi tiap pemangku kepentingan di desa sudah cukup banyak. Namun, agar hal itu bisa dijalankan dengan baik, diperlukan kesetaraan perlakuan terhadap semua lembaga. Kesetaraan tersebut bukan dalam arti kedudukan formal, tetapi keseimbangan dalam kapasitas dan akses atau penguasaan terhadap informasi, pengetahuan, dan sumber daya.


Namun dalam praktiknya, sejauh ini kesetaraan belum tampak merata di semua desa. Lembaga-lembaga yang semestinya bisa menopang demokrasi di desa cenderung menjadi subordinasi pemdes. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai fungsi dan peran mereka sesuai dengan semangat UU Desa, yaitu mengedepankan kemandirian dan peran aktif semua pemangku kepentingan dalam pemerintahan dan pembangunan. 


Oleh sebab itu perlu adanya upaya dan kesadaran dari semua pihak untuk mengoptimalkan Musyawarah Desa sebagai Forum pengawasan dan pembuatan keputusan strategis.  




Disarikan dari sumber : Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Endline, yang diterbitkan oleh The SMERU Research Institute***