Mengoptimalkan Musdes Sebagai Forum Strategis Desa
Insan Desa
Desember 22, 2019
Musdes merupakan salah satu
bentuk demokrasi deliberatif yang menjadi wadah bagi pengembangan dialog untuk
mencapai mufakat bersama. Peserta musdes adalah pemdes, BPD, dan unsur
masyarakat desa. Kepesertaan yang mencakup semua pemangku kepentingan di desa
menjanjikan berlangsungnya demokrasi secara inklusif.
Kedudukan musdes sangat kuat
karena merupakan forum tertinggi pembuatan keputusan di desa. Hasil musyawarah
juga menjadi pegangan bagi pemdes dan lembaga lain di desa dalam melaksanakan
tugasnya.
Kekuasaan yang melekat pada
musdes sesungguhnya merupakan cerminan pelaksanaan self-governing community dan
setiap keputusan yang dihasilkannya mengikat semua warga dan lembaga di desa.
Mandat yang diberikan kepada musdes juga kuat, yaitu sebagai forum pengawasan
dan pembuatan keputusan strategis. Mandat yang melekat di dalam musdes
menjanjikan diakuinya kuasa warga atas hal-hal strategis terkait dengan desa
dan penghidupan mereka.
Terkait dengan pengawasan
terhadap pemdes, UU Desa menyatakan bahwa musdes merupakan sarana bagi
masyarakat desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa (Pasal 85
Ayat 2). Hal ini juga ditegaskan dalam PP No. 43/2014 dalam Pasal 121 Ayat 5.
Ini berarti bahwa masyarakat sesungguhnya diberi kesempatan untuk berperan
dalam pengawasan terhadap pemdes.
Sebagai sarana pembuatan
keputusan strategis, peran untuk memaksimalkan fungsi musdes sebenarnya ada di
tangan BPD. Ini berarti bahwa walaupun secara hukum posisinya dalam
pemerintahan tidak seimbang, BPD bisa menggunakan forum musdes untuk menjadi
saluran pengorganisasian kepentingan masyarakat agar terserap dalam kebijakan
pemerintahan desa. Namun, secara umum BPD belum memahami peran penting
tersebut. Sebagian besar musdes dilaksanakan hanya untuk keperluan perencanaan
pembangunan desa. Itu pun pada umumnya dilaksanakan oleh pemdes, sedangkan BPD
hanya menjadi pihak yang diundang. Padahal, musdes seharusnya diselenggarakan
oleh BPD.
Sementara itu, unsur-unsur warga
desa ternyata juga belum memiliki pengetahuan yang cukup akan haknya untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Secara umum, warga masih beranggapan bahwa
pengaturan dan pengurusan desa merupakan urusan pemdes. Tidak banyak warga yang
memahami bahwa mereka memiliki hak untuk menyampaikan dan memperjuangkan
kebutuhannya agar bisa diwujudkan bersama dengan pemdes. LKD (termasuk lembaga
adat) sebagai wadah partisipasi warga belum beranjak dari statusnya sebagai
pelaksana kegiatan. Padahal, LKD memiliki ruang untuk mengusulkan program dan
kegiatan kepada pemdes.
Secara umum, pengaturan struktur
dan prosedur pelaksanaan demokrasi yang memuat tugas dan fungsi tiap pemangku
kepentingan di desa sudah cukup banyak. Namun, agar hal itu bisa dijalankan
dengan baik, diperlukan kesetaraan perlakuan terhadap semua lembaga. Kesetaraan
tersebut bukan dalam arti kedudukan formal, tetapi keseimbangan dalam kapasitas
dan akses atau penguasaan terhadap informasi, pengetahuan, dan sumber daya.
Namun dalam praktiknya, sejauh
ini kesetaraan belum tampak merata di semua desa. Lembaga-lembaga yang
semestinya bisa menopang demokrasi di desa cenderung menjadi subordinasi
pemdes. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai fungsi dan peran
mereka sesuai dengan semangat UU Desa, yaitu mengedepankan kemandirian dan
peran aktif semua pemangku kepentingan dalam pemerintahan dan pembangunan.
Oleh sebab itu perlu adanya upaya dan kesadaran dari semua pihak untuk mengoptimalkan Musyawarah Desa sebagai Forum pengawasan dan pembuatan keputusan strategis.
Disarikan dari sumber : Studi Implementasi
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Endline, yang diterbitkan
oleh The SMERU Research Institute***