INSANDESA.ID - Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BPD dirancang sebagai lembaga legislatif desa. BPD memiliki kewenangan untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan mengawasi kinerja kepala desa. BPD memiliki kewenangan strategis untuk mengimbangi pemerintah desa dan berguna untuk wujudkan self governing di desa. Namun dukungan fasilitas, logistik dan insentif bagi BPD tidak sebanding dengan beban kerja menjalankan kewenangan yang strategis tersebut.




Baca Juga : Isu Utama Yang Harus Disikapi BPD

Pertama, BPD umumnya tidak mempunyai kantor. Dari beberapa desa yang saya amati, semua BPD tidak memiliki kantor secretariat sendiri hanya menumpang ke kantor Kepala Desa. Ketiadaan kantor membuat BPD tidak bisa leluasa menjalankan tugasnya, mulai dari rapat sesama anggota hingga bertemu warga desa. Karena tidak punya kantor maka warga sulit bertemu dengan para anggota BPD. Biasanya jika ada hal yang ingin diadukan, warga datang ke kantor desa untuk mengadukannya ke kepala desa. Selain itu masih ada desa yang tidak memiliki balai dusun untuk menjadi tempat musyawarah dusun. Ketiadaan balai dusun membuat warga tidak memiliki tempat memadai untuk melakukan musyawarah dusun.


Baca Juga : BPD Menurut Undang-undang Desa

Kedua, tidak seperti kepala desa dan perangkatnya, BPD tidak diberikan penghasilan tetap. Mereka hanya mendapat tunjangan yang besarannya ditetapkan berdasarkan Standar Biaya Umum (SBU) yang ditetapkan oleh peraturan/keputusan bupati. Dengan beban kerja yang berat, tunjangan tidak bisa membiayai kebutuhan kerja mereka dan kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mungkin untuk anggota BPD yang berprofesi PNS, Saudagar, Pengusaha, hal tersebut bukanlah masalah. Tetapi diluar semua itu anggota BPD perlu penghasilan tetap dan tunjangan untuk menunjang beban kerja mereka.


BPD : Kewenangan Strategis, Dukungan Fasilitas Minim

Ketiga, pada pasal 54 ayat 4 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara jelas dinyatakan bahwa musyawarah desa dibiayai APBDes. Ada dua persoalan terkait peraturan ini, pertama besaran alokasi APBDesa untuk penyelenggaraan musyawarah desa yang patut dipertanyakan apakah cukup untuk melaksanakan lebih dari sekali mengingat ada banyak hal strategis yang perlu dibahas dalam musyawarah desa untuk pengambilan keputusannya. Kedua, meski musyawarah desa diselenggarakan oleh BPD namun pengelola dana penyelenggaraan musyawarah desa adalah pemerintah desa (Pelaksana Kegiatan/PPKD). Hal ini berpotensi membuat musyawarah desa sebatas forum perencanaan saja. Seharusnya jika musyawarah desa diselenggarakan oleh BPD, pengelolaan anggaran musyawarah desa seharusnya dilakukan oleh BPD sebagai bagian dari anggaran operasional mereka.


Keempat, sering absennya Pemerintah Daerah dalam membina/melatih/melakukan peningkatan kapasitas terhadap anggota BPD menjadi persoalan tersendiri. Hal ini menyebabkan anggota BPD sering sekali menjadi Kurang Update terhadap situasi kekinian yang berkaitan dengan Penyelenggraan Pemerintahan Desa.


Download : Buku Panduan BPD