Oleh : Nandang Suherman

Posisi Desa adalah “Wilayah Otonomi Asli” yg sdh ada sebelum Republik ini berdiri. Segala persoalan/urusan masyarakat Desa bisa di musyawarahkan oleh warga desa untuk mencari solusinya.

Sejak lahir UU Desa, posisi Desa dikuatkan dan diakui sebagai wilayah otonom. Desa diberi Kewenangan plus Anggaran yang menjadi “Hak Desa”. Otonomi Desa adalah Otonomi “Asli” yg melekat krn sudah di praktekan sejak lama. Otonomi Desa berbeda dengan Otonomi Kab/Kota yg bersifat “pemberian” dari Pemerintah (Pusat), dimana kewenangan Kab/kota adalah kewenangan yg diserahkan/diberikan oleh Pemerintah (Pusat).

Bagaimana “praktek” pemerintahan Desa hari ini? Apakah sudah mencerminkan sebagai Pemerintahan yg Otonom? Nah, jawabannya bisa beragam. Untuk Kewenangan, sdh cukup jelas diakui dan dinyatakan secara eksplisit, bahwa Desa mempunyai kewenangan/diurus oleh Desa. Setiap Desa bisa merumuskan apa saja kewenangan yg menjadi urusan Desa. Dan biasanya menyangkut dengan urusan masyarakat, yg sdh biasa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. Sementara Anggarannya berasal dari hak keuangan Desa atau hasil “iuran” warga Desa.

Seiring perkembangan terjadi pergeseran peran pemerintahan Desa yg “menyerupai” Pemerintah Kab/Kota. Aparat Desa diberi seragam atau menunjukan “diseragamkan”. Tercermin dari Program-program Pemerintah (Kab/Kota/Prov/Pusat) hampir semua/banyak berujung di desa. Memang tidak salah, selama program tersebut diiringi juga dengan Anggaran dan sarana penunjangnya. Namun, seringkali tidak demikian dan menjadi “beban” Pemerintah Desa yg harus “membiayainya”. Nah ini yg membuat aparatur desa pusing tujuh keliling.

Anggaran Desa yang bersumber dari Dana Desa sudah diatur “rigid” dan dibuat pake standar pengelolaan keuangan/akuntansi seperti pemerintah diatas desa. Aparatur desa disibukan dengan pengisian format-format laporan keuangan berikut Program yg berasal dari pemerintah diatas desa. Akhirnya beban Pemerintah Desa lebih berorientasi “melayani” Pemerintah diatas Desa.

Jadilah Pemerintah Desa yang tadinya “Otonom” menjadi kepanjangan tangan Pemerintah diatas desa. Otonomi Asli menjadi “samar” dan berubah menjadi Otonomi Semu.

Bahkan, masih banyak Kepala Daerah yg punya mindset bahwa Kepala desa itu seperti “bawahannya”…Jadilah Desa menjadi Ujung tombak dan sekaligus Ujung Tombok dari “kepentingan” elit Pemerintahan diatas Desa…..

Pagi ini, saya baca berita di media online Sumedang, Kepala Desa dibikin pusing oleh seruan/perintah agar melaksanakan Pesantren Kilat dengan anggaran 2 juta per-Desa. Pesantren Kilat seperti ini sudah biasa dilakukan berbagai kelompok di masyarakat dengan biaya mandiri masyarakat, menjelang Ramadhan. Sementara Dana Desa belum bisa cair……Ada lagi Program “SEKOPER CINTA” itu program “isteri Gubernur” yg harus dilaksanakan di dan oleh Desa, dengan sasaran 100 warga Desa Perempuan setiap Desa dan anggarannhya harus ditanggung Desa….. Mengumpulkan 100 warga desa dengan diberi “pelatihan” kilat untuk menggapai harapan dan Cita-Cita Perempuan di desa….

Dengan potret Program seperti itu, menunjukan bahwa desa masih diperlakukan sebagai ……… silahkan diisi saja titik-titiknya….