SAKIP DESA ANTARA SIP DAN SLIP
Ada pandangan yang cukup unik tentang penerapan sakip desa di Kabupaten Sumedang, hal ini ditulis oleh Bung Rian S, seorang aktifis yang ada di Kabupaten Sumedang, diakun facebooknya beberpa waktu yang lalu. Berikut uraiannya …………….
Sebagai sebuah lompatan inovasi, keberadaan Sakip Desa merupakan sesuatu yang bagus dan fundamental dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Sebagai sebuah terobosan tata kelola pemerintahan di desa, keberadaan Sakip Desa dapat dijadikan alat untuk manajemen pemerintahan didesa lebih efektif,efisien,berorientasi kinerja dan terukur ouput maupun outcomenya.
Akan tetapi, peroses aplikasi dilapangan menurut pandangan awam saya masih banyak permasalahan bukan dari sisi konsep dan sistemnya tapi lebih kepada aspek kesiapan para pelaksana Sakip Desa dalam hal ini aparatur pemerintah desa.
Konsep besar SAKIP Desa ternyata belum seimbang dengan kapasitas yang dimiliki oleh Pemerintah Desa baik dari sisi sumber daya manusia maupun sarana prasarana. Hal tersebut menjadi sebuah hal yang wajar karena konsep Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP) sejatinya diorientasikan untuk kementerian dan SKPD, dimana secara kualitas dan ketersedian SDM pelaksana lebih siap karena man power yang dimiliki kementerian dan SKPD merupakan orang – orang yang memiliki kualifikasi keahlian spesifik dan hanya mengerjakan satu bidang pekerjaan.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan ketersediaan SDM yang ada di pemerintah desa, dimana secara kualitas maupun kuantitas SDM di pemerintah desa masih jauh dari kondisi profesional maupun proporsional.
Faktor rekruitmen perangkat desa yang masih belum memiliki standar seperti rekruitmen ASN merupakan salah satu penyebabnya. Selain itu juga mandatori kinerja pemerintah desa lebih luas dan kompleks, dikarenakan desa harus melaksanakan semua urusan bidang pemerintahan dan pelayanan umum dalam kaitan layanan dasar bagi masyarakat, mulai dari urusan kependudukan,pendididkan,sosial,budaya,infrastruktur,ekonmi dan bidang layanan dasar lainnya yang dimana di tingkat kabupaten hal tersebut di leading oleh masing – masing SKPD/Dinas/Lembaga.
Ketika SAKIP Desa mensyaratkan efisensi sebagai parameter utama keberhasilan pengelolaan pemerintahan desa, dimana proses pengukurannya dari proporsi pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) desa berupa penurunan jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM), cakupan program/kegiatan stunting dan Indeks Kepuasaan Masyarakat (IKM) dengan penyerapan anggaran dalam satu tahun, maka dengan struktur APBDesa yang merupakan mandatori Musyawarah Desa RKPDesa sekaligus teknis operasional Visi Misi kepala Desa/Pemerintah Desa maka hal tersebut menyebabkan kesulitan tersendiri bagi Pemerintah Desa. Karena struktur penganggaran APBDesa sebagai pengejawantahan aspirasi dan kebutuhan warga tidak memungkinkan hanya fokus pada tiga indikator IKU tersebut.
Selain itu dalam hal parameter pencapaian IKU menurut kami masih terbatas pada konsep artifisal belum fundamental, masih sebatas angka – angka belum pada bertranformasi pada parameter yang berbasis manajemen proses dan didukung dengan evidence fundamental dilapangan.
Dalam hal penurunan RTM, dikarenakan setiap tahun pemerintah desa dibebani dengan target penurunan RTM yang mungkin secara proporsi angka tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan baseline RTM yang menjadi sasaran untuk penurunan jumlah RTM, kan tetapi berbicara kemiskinan sebagai atributasi dari RTM bukanlah hal sederhana yang bisa didekati dengan parameter yang dibuat oleh Kementerian Sosial ataupun Badan Pusat Statistik.
Merubah sebuah rumah tangga dari miskin menjadi tidak miskin untuk kemudian bisa menjadi ukuran penurunan jumlah RTM, merupakan sebuah proses panjang yang butuh waktu, konsep program yang matang dan pendampingan yang konsisten. Waktu satu tahun seperti yang menjadi periode pencapai target SAKIP Desa sepertinya sangat muskil, selain itu proses penyusunan konsep pemberdayaan sebagai inti kegiatan penurunan jumlah RTM perlu penyusunan yang komprehensif, berbasis analisas baseline yang fundamental, memiliki tool evaluatif yang berbasis ilmiah dan berkelanjutan serta pendampingan yang konsisten dari para praktisi yang punya kapasitas dan komitmen kuat baik yang ada di pemerintah desa maupun pihak luar pemerintah desa. Dan selama ini hal tersebut belum terlihat di lakukan,sehingga pendekatan program pemberdayaan masih sebatas crash program yang tidak memiliki minimal empat faktor yang dijelaskan diatas.
Sehingga hampir mayoritas program pemberdayaan di desa memiliki tingkat potensi kegagalan yang tinggi dan terbukti banyak gagal, akan tetapi kejadiannya terus berulang karena tidak ada pilihan bagi desa untuk terus membuatnya dikarenakan hal tersebut menjadi kewajiban sebagai syarat pemerintah desa sebagai mandatori wajib SAKIP Desa dari pemerintah kabupaten dalam hal penurunan jumlah RTM. Pertanyaannya bagaimana cara pemerintah desa untuk mencapai target penurunan RTM ketika program pemberdayaan yang dibuat tidak terbukti mampu efektif menurunkan jumlah RTM?, jawabannya pemerintah desa hanya bisa mengandalkan faktor force major berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa yaitu mengandalkan data RTM yang masuk dalam BDT tetapi karena sudah sunatulah meninggal dan atau pindah domisili dari desa yang bersangkutan. Ketika pun secara jumlah mencapai target sesuai dengan angka yang ditentukan dalam Perjanjian Kinerja, pertanyaannya apakah ini masuk kategori berhasil, saya rasa tidak karena dari sisi manajemen proses dan evidence fundamental bisa dipertanggungjawabkan. Karena kalau pencapaian penurunan RTM bisa tercapai hanya karena RTM meninggal dan pindah domisili, saya kira tak jua harus melalui proses yang disyaratkan oleh SAKIP Desa, itu mah secara otomatis juga akan tercapai.
Begitu pula dalam hal penurunan angka stunting, dimana parameter keberhasilan kinerja sesuai SAKIP hanya sebatas realisasi program/kegiatan pencegahan stunting dan hal ini menurut awan saya sedikit mis match, karena pencegahan stunting itu butuh upaya fundamental berupa program yang parameter manajemen proses dan outcome yang meansurable, bukan hanya output berupa dilaksankannya program/kegiatan. Karena setiap program yang sudah direncanakan dan masuk struktur APBDesa pasti akan dilaksanakan, berkaitan dengan penyerapan anggaran dan yang paling pokok syarat pencairan anggaran. Akan tetapi manajemen proses tentang bagaimana merumuskan program yang efektif, efisien dan berorientasi tujuan fundamental pencegahan stunting belum dilakukan,sehingga program/kegiatan terus dibuat dan dilaksanakan setiap tahun tanpa pernah diukur efektifitasnya.
Dikarenakan parameter di SAKIP Desa hanya berupa jumlah kegiatan. Sehingga setiap tahun program/kegiatan pencegahan stunting selalu ada di APBDes dan dilaksankan hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban mandatori SAKIP Desa, bukan merupkan kegiatan yang terintegrasi, berorientasi pencapain hasil yang fundamental dan mensureable.
Berkaca pada hal – hal diatas, bukan berarti SAKIP Desa tidak punya signifikansi bagi upaya optimalisasi kinerja pemerintah desa. Akan tetapi sebagai sebuah lompatan inovasi, maka pengaplikasiannya menurut hemat saya diperlukan sebuah periode transisi yang terukur. Hal ini menjadi penting karena sebagai sebuah sistem yang baru, untuk bisa efektif maka perlu proses adapatasi dan penyiapan dari aspek infrastrutur muapun suprastruktur yang ada pada pemerintah desa. Perlu persiapan yang bersifat holistik dan berbasis pada potensi yang dimiliki oleh pemerintah desa yang secara realitas objektif sangat heterogen.
Kondisi diatas menjadi sebuah keniscayaan, karena sejatinya sebelum desa dikenalkan dengan sebuah lompatan inovasi, masih terdapat banyak aspek fundamental tatakelola pemerintah desa yang harusnya lebih dulu dibenahi bersama, termasuk Pemerintah Kabupaten Sumedang. Dan prosesnya memerlukan sebuah pemetaaan data dasar yang terukur terkait aspek kualitas SDM para aparatur desa, kualitas pemahaman dan penguasaan tugas pokok dan fungsi aparatur desa maupun ketersediaan sarana yang ada didesa.
Ada banyak pembenahan yang sepertinya lebih urgent untuk dilakukan terkait tatakelola pemerintah desa dan hal tersebut merupakan faktor mendasar yang bisa menentukan kualitas tatakelola pemerintah desa seperti kemampuan pembuatan regulasi di desa yang rendah, rendahnya partisipasi lembaga desa dalam pemerintahan desa, kualitas perencanaan pembangunan dan program di desa yang masih belum optimal, tatakelola anggaran pemerintah desa yang masih belum memenuhi standar normatif sehingga menimbulkan potensi hukum dan masalah mendasar lainnya yang ada pada pelaksanaan pemerintah desa.
Sekali lagi SAKIP Desa secara konsep adalah sesuatu hal yang luarbiasa, hal ini merupakan sebuah lompatan inovasi yang bisa jadi fundamental bagi perbaikan tatakelola pemerintah desa kedepan. Sebagai sebuah benchmark sekaligus landmark Kabupaten Sumedang ini adalah pencapaian yang fundamental, sesuai dengan tagline dari “Sumedang untuk Indonesia “.
Akan tetapi tanpa didukung infrastruktur dan suprastruktur yang memadai maka dikahawatirkan hanya akan menjadi proyek mencusuar yang berujung ambyar. Jangan sampai SAKIP Desa hanya menjadi benchmark sekaligus landmark seperti tugu yang menjadi tanda tanpa menandai dan juga alih – alih menjadi terobosan malah menjadi beban bagi pemerintah desa yang akhirnya hanya menjadi serupa seremonial belaka, perlombaan mengklaim angka – angka.
Dikhawatirkan ketika beban pemerintah desa semakin bertambah kedepan sebagai konsekuensi mandatori regulasi, SAKIP desa bukanya menjadi alat kerja malah menjadi alat menambah beban pekerjaan.
Jangan sampai dengan SAKIP Desa, pemerintah desa di
Kabupaten Sumedang bukannya menjadi SIP malah menjadi SLIP, sehingga memaksa
kita semua untuk bertanya – tanya, Sakip Desa itu untuk apa dan untuk siapa
atau keinginan siapa, maaf bila ada yang kurang berkenan ini hanya sekedar
sumbang pikiran dan saran dari orang awam, wassalam.
Oleh : Rian S (Aktifis Pemuda Kabupaten Sumedang)
Sumber : Facebook