Laku Spiritual Pak Harto (4): TEMPAT-TEMPAT KERAMAT
Perihal tempat-tempat yang
dipakai untuk menyepi, berkontemplasi, beruzlah menyatu dengan
alam sekaligus menghambur dalam dekapan kasih sayang Gusti Allah, masyarakat
luas menyebut sebagai tempat keramat.
Cukup lama penulis mencoba
menyusuri jejak perjalanan spiritual Pak Harto ke tempat
keramat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terutama di masa mudanya. Selain
sebagaimana laporan khusus Majalah Tempo yaitu Gunung Lawu,
Dieng, serta Gunung Srandil dan gua-gua di pantai Cilacap, juga ada beberapa
tempat lagi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Satu tempat yang dipercaya
masyarakat memiliki aura gaib besar dan sering dikunjungi baik Pak Harto maupun Ibu Tien
semasa muda adalah Dlepih, atau lengkapnya Khayangan Ndlepih, yang terletak di
Kecamatan Tirtomoyo, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Wonogiri. Dlepih
sangat popular bagi masyarakat Wonogiri, wilayah di mana Pak Harto dan Ibu Tien
tumbuh menjadi remaja, serta merupakan daerah pertanian subur yang sebagian
besar aktivitas warganya bertani. Di daerah ini ada satu area di perbuktian
yang dari penampakan berupa hamparan dari bongkahan-bongkahan batu raksasa
dengan sejumlah mata air, beberapa air terjun, danau atau sendang kecil tapi
dalam, serta sungai-sungai kecil yang menyatu ke dalam satu sungai yang agak
besar yang merupakan salah satu hulu sungai Bengawan Solo. Amat mempesona
sebagai daerah wisata.
Pada tahun 1980-an, Dlepih masih
merupakan desa yang dikelilingi hutan-hutan kecil dengan banyak monyet yang
tidak takut dengan pengunjung. Pada waktu itu jalan masih berupa jalan tanah
yang harus menyeberangi sebuah sungai dangkal. Listrik pun belum ada. Suasana
terasa alami. Penulis beberapa kali berkunjung ke sana, sekali mendirikan tenda
dan beberapa kali hanya dengan duduk serta tiduran di atas batu besar di tengah
sendang untuk beberapa hari. Pernah juga di dalam sebuah batu besar berlubang,
yang hanya cukup untuk duduk dua orang, yang dipercaya sebagai gua pertemuan
pendiri Mataram, Sutawijaya dengan Ratu Gaib Laut Selatan atau Samudera Hindia,
yakni Nyi Ratu Roro Kidul. Pernah pula di bawah salah satu air terjun, dan
beberapa kali mencoba batu pasalatan yang seukuran
sajadah dan menjorok ke dalam sendang dengan tebing depan, kiri dan kanan,
lurus tajam setinggi belasan meter. Batu pasalatan ini
dipercaya masyarakat sebagai tempat salat Sultan Agung setelah pasukannya tidak
berhasil mengalahkan Belanda di Batavia. Penulis tidak berani lama di batu
pasalatan tersebut, hanya salat sunah dua rekaat, karena tebing dalam
di sekitarnya. Dlepih selain dipercaya sebagai tempat beruzlah Sutawijaya dan
Sultan Agung, juga Sunan Kalijaga dan Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi
Sultan Hamengkubuwono I, demikian pula Soeharto muda.
Pada awal 2000-an, jalan tanah
sudah diaspal dan ada penerangan listrik. Meskipun area yang dikeramatkan tidak
berubah, rasa dan suasana sudah jauh berbeda, lebih kental nuansa wisatanya
dibanding tempat beruzlah ataupun berkhalwat. (B.Wiwoho, TONGGAK-TONGGAK
ORDE BARU buku ke 2, Penerbit Buku Kompas. Bersambung: TEMPAT
KERAMAT GUA LANGSE)
Penulis : B.Wiwoho
Sumber : panjimasyarakat.com