UU Desa mensyaratkan adanya Tenaga Pendamping
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa atau dikenal sebagai UU Desa memandatkan bahwa Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan Desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis telah diatur dalam UU Desa bahwa desa merupakan subyek yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat. Desa dapat menyusun dan menetapkan peraturan desa sebagai dasar untuk mengurus urusan masyarakat khususnya hal-hal yang menjadi kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul maupun kewenangan lokal berskala desa. Pengelolaan kewenangan desa ini dilakukan dalam kerangka tata pemerintahan desa yang dikelola sendiri oleh masyarakat itu sendiri (self governing community). Prakarasa dan partisipasi rakyat dalam pengelolaan desa menjadi kata kunci proses demokratisasi desa, utamanya sebuah dinamika politik lokal yang melahirkan para pemimpin desa yang amanah dan berdedikasi bekerja untuk rakyat desa. Sebagai upaya untuk mewujudkan desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis tersebut dalam UU Desa Pasal 112 ayat (3) telah dimandatkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan : (a) menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa; (b) meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan (c) mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
Selanjutnya dalam UU Desa Pasal 112 ayat (4) disebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 telah memandatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan masyarakat Desa secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga. Yang dimaksud pendamping masyarakat dari pihak ketiga adalah antara lain, adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, atau perusahaan, yang sumber keuangan dan kegiatannya tidak berasal dari anggaran Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan/atau Desa.
Berdasarkan mandat UU Desa Pasal 112 maupun PP No. 43 Tahun 2014, tampak jelas bahwa pemberdayaan masyarakat desa mensyaratkan adanya tenaga pendamping. Artinya bahwa pendampingan masyarakat dan desa dalam rangka mewujudkan keberdayaan masyarakat desa menjadi prasyarat mutlak.
PENGUATAN DESA MANDIRI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Intisari pemberdayaan masyarakat dalam konteks perwujudan desa-desa Indonesia yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis adalah memperkuasakan rakyat untuk mampu merencanakan dan memutuskan sendiri kegiatan pembangunan di desanya sekaligus mampu mengelola pelaksanaan kegiatan tersebut secara swadaya gotong royong. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan cita-cita kita membangun desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis dibutuhkan adanya para pendamping-pendamping masyarakat yang mampu untuk :
mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan Desa yang dilaksanakan secara swakelola oleh Desa;
mengembangkan program dan kegiatan pembangunan Desa secara berkelanjutan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di Desa;
menyusun perencanaan pembangunan Desa sesuai dengan prioritas, potensi, dan nilai kearifan lokal;
menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal;
mengembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa;
mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat;
mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa;
menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat Desa;
melakukan pendampingan masyarakat Desa yang berkelanjutan; dan
melakukan pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa.
Pendampingan masyarakat desa merupakan bagian utama dari proses pengembangan kapasitas masyarakat desa. Core business pemberdayaan masyarakat Desa adalah penguatan dan pemberkuasaan rakyat sebagai proses belajar sosial yaitu learning by capacity dan learning by doing yang menyatu dalam seluruh praktek pembangunan di tingkatan komunitas. Pemberdayaan masyarakat merupakan varian dari proses reformasi tatanan ekonomi-politik melalui sebuah proses transformasi sosial;
Pendampingan masyarakat merupakan sebuah proses kaderisasi desa. Sebuah upaya menciptakan kader-kader desa sebagai orang-orang kunci yang mampu menggerakkan dinamika kehidupan di desa yang berwatakan Trisakti : berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Kader desa ini juga mampu hadir sebagai agen-agen perubahan (the agent of changes) yang terdidik dan terlatih untuk mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita normatif;
Melalui kaderisasi desa diupayakan lahir para pemimpin desa yang amanah. Pemimpin desa adalah seorang bijaksana yang mengedepankan musyawarah (syura), kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Pemimpin desa, sebagai produk pemberdayaan masyarakat Desa, dilahirkan oleh kehendak rakyat, dipilih secara sukarela dalam semangat swadaya gotong royong dari mayoritas rakyat yang akan dipimpinnya. Intinya, pemimpin desa sebagai wujud kehendak kolektif rakyat adalah pemimpin yang berdaya dalam mengajak atau menganjurkan warga desanya untuk menjalankan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk (amar maruf nahi munkar). Sebab, dalam diri pemimpin Desa itu sejatinya mampu menghadirkan ketauladanan secara nyata bagi warga desanya. Kepala Desa adalah seorang pemimpinan rakyat;
Kaderisasi desa ini diharapkan menjadi sebuah upaya merevitalisasi kehidupan demokrasi kerakyatan yang bermartabat serta melahirkan kader-kader politik lokal yang berjiwa negarawan. Menjadi desawan (orang yang peduli dan terlibat aktif dalam kehidupan desanya) yang sekaligus adalah negawaran (orang yang peduli dengan kehidupan bangsa dan negaranya);
Pendampingan masyarakat dalam konteks implementasi UU Desa berada dalam ranah pembelajaran politik. Karenanya, tidak dimungkinkan lagi adanya pola-pola pendampingan desa yang bersifat apolitis sebagai sekedar urusan penyelesaian urusan