Desa dan Komunikasi
Oleh : Nurani Soyomukti
Komunikasi sangat penting … Diajak komunikasi yang intensif itu saja sudah membuat orang berbahagia. Merasa diajak ngomong saja orang sudah senang. Apalagi didengarkan pendapat dan curhatnya. Komunikasi berupa penyampaian pesan yang merupakan keinginan yang ingin dipenuhipun akan membuat si penyampai pesan akan bahagia bila ditanggapi—meskipun belum bisa dipenuhi keinginannya.
Rakyat butuh jalan, karena jalannya rusak itu iya. Tapi sudahkah rakyat menyampaikan keinginannya? Ataukah hanya “nggrundel” saja. Tiadanya komunikasi antara rakyat yang ingin dengan pihak yang diharap bisa menyelesaikan masalah, kadang juga menghasilkan suasana psikis tersendiri. Bisa salah paham, bisa marah dari jauh pada hal tak pernah mendapatkan informasi yang valid tentang kenapa sesuatu terjadi atau tidak terjadi dan kenapa suatu keinginan tidak tersampaikan.
Pemimpin seperti kepala desa, segenap perangkatnya, sebaiknya sering melakukan komunikasi terhadap masyarakat bawah. Karena tugas pemimpin dan pemerintah itu pada dasarnya adalah mendidik dan memintarkan rakyatnya. “Mencerdaskan kehidupan bangsa”—sebagaimana dalam preambule konstitusi kita yang dibacakan anak sekolah setiap hari senin itu harus menjadi tugas pemerintah (negara). Negara, salah satu tugasnya, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemimpin sebagai representasi negara harus hadir dalam bidang ini. Kepala desa, misalnya, harus aktif komunikasi dengan siapa saja. Tanpa membeda-bedakan masyarakatnya baik tempatnya atau kedudukannya. Tak harus berkomunikasi saja dengan elit atas atau sesama elit tingkat kabupaten, kecamatan, atau tingkat desa saja. Dusun dan dukuh, juga di bawahnya RW dan RT, adalah teritori tempat masyarakat bawah berada.
Masyarakat bawah inilah yang harus dididik, diberi informasi, diajak bicara, didengar keluhan-keluhannya, didengar permintaannya. Jika permintaan tidak bisa dipenuhi, ya tinggal dijelaskan. Siapapun pasti paham kenapa sesuatu bisa dipenuhi dan kenapa tidak. Dengan dasar hukum dan analisa terhadap situasi dan kondisi yang ada (termasuk kemampuan ekonomi dan kapasitas kekuasaan pemerintah desa), tentu masyarakat akan paham.
Masalahnya adalah jika masyarakat tak pernah didekati dan diajak bicara. Maka lahirlah ketidakpuasan yang sering tak tidak njalur. Karena prasangka saja yang dikembangkan. Karena tak ada isian dari proses komunikasi yang menjembatani antara dua pihak yang seharusnya berkomunikasi. Saat jalan rusak sekian lama, dan tak punya penjelasan, yang muncul kadang hanya prasangka. Apalagi untuk dusun atau dukuh yang memang masyarakatnya masih tertinggal dan terpencil.
Jalinan komunikasi di desa, terutama antara pemimpin dan pemerintah desa, dengan rakyatnya ini amat penting. Untuk menghasilkan situasi yang kondusif bersama, untuk pembangunan demokrasi dan kebersamaan—bahkan juga situasi keamanan. Sudahkah jalinan komunikasi ini dipikirkan oleh pemerintah?
Undang-Undang tentang Desa menginginkan partisipasi masyarakat, juga transparansi. Ini sebenarnya adalah bidang kegiatan komunikasi. Bagaimana informasi dibuka dan muncul interaksi antara komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan) itu dikelola dengan baik, sesungguhnya hal itu akan memberi kontribusi pada kemajuan.
Jamaknya yang paling mudah adalah strategi menghidupkan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi pada tingkat desa. Tetapi organisasi ini juga harus hidup, tidak hanya ada di atas kertas yang namanya muncul saat menyusun pertanggungjawaban (SPJ). Organisasi-organisasi ini harus mewadahi banyak orang. Semakin banyak komunitas dan organisasi yang tumbuh dan dekat dengan pemerintahan desa, maka desa akan maju. Misal, karangtaruna—tempat berkumpulnya anak-anak muda dalam kegiatan-kegiatan. Yang sebenarnya juga bukan sekedar kegiatan seni dan olahraga saja, tapi juga mekanisme organisasi yang sehat (tidak elitis, demokratis, partisipatif, dan punya daya untuk mengembangkan diri tiap anggotanya dalam berbagai bidang).
Selain itu juga ada forum tradisional semacam yasinan yang seharusnya bisa dimanfaatkan. Forum-forum seperti ini hanya jadi tempat rutin yang sejak jaman dulu sampai sekarang hanya jadi ajang ritual tanpa menumbuhkan kesadaran maju dan partisipasi. Kenapa? Sebab di dalamnya tak ada isian. Misalkan pemerintah desa mau masuk ke kelompok-kelompok yasinan ini, minimal sebulan sekali, digilir antar dusun atau RT/RW, tampaknya akan bisa menjadi wadah yang edukatif, informatif, dan tercipta respon-respon untuk mengetahui isu-isu apa yang terjadi di masyarakat bawah.
Media juga penting, terutama untuk kalangan anak muda yang melek media sosial. Beberapa terobosan pemerintah desa untuk bikin website, facebook, misalnya, akan bisa efektif untuk menjadi ajang komunikasi. Tetapi tentu saja, kalau bicara media, kembali lagi pada banyak hal, baik konten (isinya) maupun kualitas-kualitas yang lainnya.
Banyak hal yang perlu diperbaiki di desa dalam hal komunikasi ini. Mulai cara pemimpin berkomunikasi hingga bagaimana menciptakan strategi-taktik penyampaian dan interaksi informasi. Bukankah harapan dari komunikasi adalah menjelaskan masalah dan membuat kedua belah pihak yang saling komunikasi sama-sama menjadi termanusiakan?
Ketika masyarakat di sebuah dusun atau dukuh, misalnya, mulai merasa diabaikan (tidak diperhatikan), maka mereka butuh diajak komunikasi. Ketika mulai ada suara-suara begini, “Dari dulu dukuh sini itu selalu dianaktirikan dan gak pernah diperhatikan”, sebenarnya pihak pemerintah desa atau pemimpin desa memang harus mulai banyak memberikan perhatian.
Komunikasi intensif dan efektif adalah kunci kesuksesan bersama!***
(Kaki Gunung Jabung, Subuh-hari, 2017)
Sumber : kampusdesa.id
http://kampusdesa.or.id/desa-dan-komunikasi/