Tuah Kepala Desa
Oleh : Ahmad Erani Yustika
Salah satu titik tumpu penyelenggaraan pembangunan desa
adalah perangkat desa, dari mulai Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bendahara Desa,
Kepala Urusan (Kaur) Desa, dan lain-lain.
Desa yang maju punya korelasi dengan
kualitas perangkat desa. Semakin bagus kapasitas dan daya inovasi perangkat
desa akan mendorong percepatan pembangunan desa, demikian sebaliknya.
Jika itu ditambah dengan topangan
mutu warga yang juga baik, maka dipastikan kemajuan desa menjadi sebuah
keniscayaan. Kapasitas manusia itu melampaui kepentingan kelebihan pada
sumber-sumber pembangunan lain, misalnya ketersediaan sumber daya alam dan
akses terhadap pasar.
Ragam desa yang sekarang melesat
perkembangannya karena didukung oleh aparat desa yang cakap tersebut, bukan
semata karena adanya Dana Desa. Keberadaan Dana Desa hanyalah stimulan,
sedangkan partisipan gerakan tetap berhulu kepada perangkat dan warga desa yang
berdaya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 11 Januari 2019, saya
berkunjung dan berdiskusi di Desa Punggul, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung, Bali. Saya berbincang dengan Kades (Pak Kadek Sukarma); Kepala Dinas
Kabupaten Badung; dan dengan sahabat baik saya, Pak I Ketut Lihadyana (yang
sekaligus juga sebagai Kepala Dinas PMD Provinsi Bali), dan banyak lainnya.
Desa ini istimewa karena telah memiliki layanan publik yang unggul.
Desa Punggul menjadi rujukan tiap
kali perbincangan mengarah kepada isi pelayanan publik desa di Bali. Jika warga
ingin mengurus sesuatu, misalnya surat keterangan domisili, cukup buka aplikasi
di HP (mobile phone) dan pilih menu yang diinginkan. Begitu tiba di kantor
desa, maka surat itu tak sampai 5 menit sudah di tangan: tanpa antre. Kecepatan
dan kemudahan pelayanan kepada warga desa menjadi ideologi kerja.
Di luar itu, Desa Punggul punya jejak
yang tangguh dalam membangun literasi warga. Sekujur wilayah desa telah dialiri
sinyal internet sehingga penduduk bisa mengakses informasi secara gratis untuk
aneka keperluan. Warga yang tamat sekolah dan belum berkarya difasilitasi
pelatihan yang dikerjasamakan dengan perusahaan sampai bisa bekerja.
Angka pengangguran dan kemiskinan
sangat rendah di desa itu karena pemerintah desa ada di tengah-tengah persoalan
warga. Demikian pula, Balita masuk ke PAUD secara leluasa. Sekolah ini bukan
cuma tanpa bayar, tapi anak-anak juga dapat fasilitas antar-jemput gratis.
Kualitas warga telah dourus sejak kecil (Balita).
Gabungan dari aneka cara itulah yang
menyebabkan di Desa Punggul saat ini tinggal 18 warga saja yang tergolong
miskin. Lebih dari itu, seperti halnya desa-desa (pakraman/desa adat) di Bali
pada umumnya, desa ini juga merawat tradisi adat: budaya menyala.
Tak lama setelah berkunjung ke Desa
Punggul tersebut, saya memenuhi undangan dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
(PusteK) UGM pada 30 Januari 2019 untuk mendiskusikan isu strategis, yakni
pembangunan kawasan perdesaan. Saya antusias hadir ke sini setidaknya karena
dua hal: sejarah lembaga studi PusteK dan topik bedah buku ini.
PusteK merupakan lembaga kajian lama
yang dulu hampir melekat dengan nama Prof. Mubyarto, yang sejak saya kuliah
hampir seluruh bukunya saya beli dan baca. Prof. Mubyarto nyaris identik dengan
ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila. Keduanya jadi identitas beliau.
Ekonomi kerakyatan merupakan jantung
ekonomi negara yang sejak sebelum proklamasi sudah banyak dikupas oleh para
pendiri bangsa, khususnya Bung Hatta. Pembangunan desa tentu saja amat dekat
persinggungannya dengan ekonomi kerakyatan.
Sementara itu, pembangunan kawasan
perdesaan merupakan bahasa baru pembangunan desa. Desa-desa mesti dipandu
melakukan kolaborasi untuk meninggikan derajat gerakan pembangunan dan
pemberdayaan, khususnya di bidang ekonomi. 4-5 tahun ini desa masih fokus untuk
membangun kedaulatan dan menegakkan pembangunan, namun pada tahap berikutnya
mesti memperdalam pembangunan pada level kawasan (perdesaan).
Di forum ini saya bersama dengan
sahabat lama, Prof. Catur Sugiyanto; Prof. Heddy Shri Ahimsa (Guru Besar
Antropologi UGM); suhu statistik/matematika yang bukunya wajib kami pegang
semasa mahasiswa, Pak Dumairy; Dr. Ambar Pertiwiningrum; dan Bupati Kulonprogo
yang amat visioner dan ideologis, dr. Hasto Wardoyo. Diskusi selama kurang
lebih 2,5 jam berjalan dengan bening dan memberikan banyak pijar untuk
pendalaman pembangunan kawasan perdesaan tersebut.
Acara tak berhenti di situ. Usai diskusi saya langsung
menuju Desa Panggungharjo (Bantul) untuk bertemu dengan Mas Wahyudi Anggoro
Hadi (Kades) dan warga desa berbagi cerita tentang pemanfaatan Dana Desa dalam
4 tahun terakhir.
Desa Panggungharjo pada akhir 2017
pernah menjadi tuan rumah acara “Rembug Desa Nasional” dengan menghadirkan
ribuan kepala desa, pegiat desa, pejabat pemerintah, akademisi, dan lain
sebagainya. Pemilihan desa ini sebagai tuan rumah acara tentu bukan tanpa
pertimbangan yang masak, salah satunya adalah keberdayaan desa dalam
menggerakkan warga untuk terlibat penuh dalam pembangunan desa.
Peran Kades amat vital di desa itu
karena kecakapan pengetahuan, keluasan jaringan, dan komitmen pemberdayaan.
Tiga perkara tersebut menjadi pusat pergerakan pembangunan desa, di samping
keterlibatan penuh warga desa.
Desa Panggungharjo merupakan
salah satu teladan dalam pembangunan karena telah membangun sistem data dan
informasi yang lengkap (kependudukan, ekonomi, dan lain-lain), aplikasi
pelayanan publik, kinerja Bumdes yang gemerlap, dan menjadi salah satu dari 157
desa “unicorn” (memiliki PADesa di atas Rp 1 miliar). Bumdes di desa ini telah
menyerap lebih dari puluhan tenaga kerja, yang sebagian adalah warga difabel,
lansia, pemuda putus sekolah, perempuan kepala keluarga, dan lain-lain.
Orientasi Bumdes bukan semata mencari
laba, namun menjalankan misi sosial bagi kepentingan warga. Salah satu unit
usaha Bumdes adalah “Kampoeng Mataraman” yang hendak menghadirkan budaya dan
sumberdaya lokal sebagai identitas desa, khususnya sandang, pangan, dan papan.
Makanan yang disuguhkan adalah khas desa, demikian juga rumah/bangunan yang
disediakan (baca: limasan). Mereka juga punya Bundes Panggung Lestari yang
fokus kepada usaha pengolahan sampah. Bahkan usaha ini sudah dirintis sebelum
ada Dana Desa.
Desa Punggul dan Panggungharjo
menjadi inspirasi bagi desa-desa di seluruh Nusantara tentang pentingnya faktor
kepemimpinan (perangkat desa) dalam pembangunan desa. Saya sebut saja realitas
ini dengan istilah: Tuah Kepala Desa.
Kadek Sudarma di Desa Panggul
memimpin langsung pembangunan manusia dari sejak kecil hingga dewasa. Bahkan,
pekerjaan warga turut dipikirkan agar mereka bisa hidup bermartabat, bukan
sekadar tidak melarat. Foto besar Pak Jokowi (dengan latar hitam dan kutipan
ucapan yang bertenaga) ditaruh di banyak ruang kantornya sebagai motivasi
kerja.
Sementara itu, Wahyudi berdiri di
depan untuk menggerakkan warga membangun desa dengan segala sumber daya yang
dipunyai. Aneka potensi pangan dan budaya desa dikembangkan
menjadi komoditas yang punya nilai ekonomi, bahkan sampah sekalipun. Seluruh
warga marjinal dilibatkan secara utuh. Hasilnya adalah pembangunan yang
inklusif, desa nyaman dan tenteram. Buku karya Wahyudi yang diberikan ke saya
di ujung pertemuan menjadi bukti tentang pengetahuan dan cintanya kepada desa.
Sumber
: https://geotimes.co.id/kolom/tuah-kepala-desa/