Notifikasi
General

Tasawuf Hamka: Mengembalikan Kebahagiaan Hidup pada Pangkalnya


Oleh : Bambang Galih Setiawan

KETIKA banyak manusia yang menyanjung kemajuan hidup di zaman baru –modern- secara berlebihan, dan ikut terbawa dalam pola kehidupan yang tinggi dalam pemenuhan kepuasaan badan. Serta gaya hidup yang bersendikan pada kepentingan kebendaan -materialis- yang menjadi kebanggan, adalah salah satu realitas yang digambarkan oleh Hamka pada fase baru perkembangan zaman dan kebudayaan modern diberbagai belahan wilayah bangsa.

Bom atom adalah puntjak daripada hidup kebendaan jang tengah mempengaruhi alam manusia di zaman ini. Kemadjuan, peradaban, kebudajaan dan segenap segi hidup di zaman sekarang telah dipengaruhi oleh kebendaan belaka. Kehidupan orang seorang, bahkan kehidupan seluruh masjarakat telah dimasuki oleh pengaruh kebendaan.( Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta: Pustaka Islam, 1953, hlm. 10)
Hamka sebagai salah satu tokoh masyarakat dan agama, yang hidup dan berinteraksi langsung bersama masyarakat di pusat ibukota, telah melihat realitas modernisme yang juga telah merasuki kehidupan masyarakat sejak di awal kemerdekaan Indonesia. Meskipun diakui bahwa modernisme ini telah memberikan kemudahan untuk menunjang kebutuhan dan kemajuan hidup manusia. Namun tata kehidupan yang kompetitif, berjalan begitu cepatnya dengan nilai-nilai kebebasan yang terbuka. Sehingga membawa manusia pada persaingan dalam mengejar syahwat dunia secara eksploitatif dan membabi buta. Ada unsur penting yang terkadang tidak diindahkan dari nilai moral dan hubungan diri manusia, sehingga membuat mereka selalu merasa kurang, dan mengalami kejenuhan serta kekosongan jiwa.
Sekarang ternjata bahwa memperturutkan hidup kebendaan sadja telah menimbulkan kedjemuan besar. Njata bahwasanja puntjak keindahan bukanlah terletak pada barang, pada lux dan elite, pada rumah bagus dan ketjepatan perhubungan belaka. Pada kemudahan-kemudahan hidup dan kepuasan nafsu kelamin. Sekarang mulai timbul sanggahan kepada kehidupan kebendaan jang demikian. (Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta: Pustaka Islam, 1953, hlm. 11)
Pola hidup yang materialis serta tujuan hidup yang berpangkal pada kebendaan seperti ini, bagi Hamka telah menjadi satu pandangan hidup manusia dalam kebudayaannya. Hidup yang berpangkal pada kebendaan menurut Hamka merupakan faktor yang dapat membawa “perpecahan”, dimana saat manusia berkembang ilmu pengetahuannya, tapi berkembang pula sifat-sifat kejahatannya, iri, dengki, tidak adil dan ingin menjatuhkan yang lainnya. Maka pengelolaan jiwa, memenuhi hati dengan ilmu agama dan kedekatan manusia dengan Tuhannya, merupakan jalan yang bagi Hamka selalu dicari dan menjadi kebutuhan manusia, meskipun mereka telah menguasai perbendaharaan dunia, kapal terbang, kecanggihan teknologi dan lainnya.
Pokok kehidupan manusia berpangkal pada apa yang ada dalam dirinya, sehingga Hamka dalam banyak karya-karyanya pun selalu mengaitkan setiap pembahasannya dengan hidup kerohanian, pembersihan hati, penggunaan akal dan keadilan manusia, melalui istilah Tasawuf atau suatu usaha manusia memurnikan jiwanya secara mandiri.
Sebagaimana dalam bukunya Tasauf Modern, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup dan banyak lainnya. Adapun Tujuan tasawuf ini sebagaimana yang disebutkan oleh Hamka untuk menjadi manusia yang sempurna “insan kamil”, manusia yang mendapatkan kematangan dan ketenangan dalam jasad dan ruhaninya, untuk mencapai bahagia.
Tetapi kekayaan dan kebahagiaan di dalam badan, itulah kekayaan sejati yang bertambah lama tidak bertambah usang, tetapi bertambah murni bercahaya, asal saja pandai menjaga, sebab dia pemberian khalik yang suci. Kalau kita pupuk, uratnya akan teguh, buahnya akan lezat sehingga kita jatuh kasihan melihat seisi dunia, sejak dari raja kepada menteri, orang kaya dan orang berpangkat lantaran tidak merasa nikmat dengan kelezatan ini. Inilah kekayaan dan kerajaan hakiki yang tidak lekang di panas dan tak lapuk di hujan.(Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 114).

Aktivitas dan perbuatan manusia dalam kehidupannya, memiliki ketergantungan terhadap pemikiran dan penerimaan hatinya, sehingga perasaan puas atau tidak, susah atau bahagia, merupakan penilaian dari akal dan hati yang bersih, yang dijiwai oleh ilmu-ilmu rohani –agama-.  Bagaimana ilmu dan penghargaan kita terhadap manusia dan benda, seperti itulah juga pandangan yang hadir dalam sikap kita terhadapnya. Hamka menjelaskan;
Sekarang mengertilah kita, bahwa segala sesuatu di dalam alam ini baik dan buruknya bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut tingi rendahnya akal kita. Apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga al Qur`an bagi seorang Vrijdenker? (tidak beragama). Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia disuruh membersihkan akal budi, supaya dengan dia kita capai bahagia yang sejati. (Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 16)
Cara hidup seorang yang menjaga kebersihan jiwanya dari benda –sufi- dalam agama Islam, bukanlah berarti harus menolak segala fasilitas dunia, menjauhi kehidupan, serta meninggalkan interaksi bersama manusia. Kemudian hanyut dalam kesenangannya sendiri dalam beribadah, tanpa mengerti tentang perkembangan zaman, kemajuan ilmu, dan kebudayaan disekitarnya. Sehingga orang-orang pun memandangnya sebagai manusia yang hanya tahu beribadah, terbelakang dan jauh dari kemajuan manusia.
Hamka menyalahkan pandangan demikian yang terjadi dalam beberapa kalangan yang memandang agama secara sempit dan berlebihan, seolah agama tidak ada kaitannya dengan dunia. Hamka justru menjelaskan bahwa agama merupakan jalan kemajuan manusia, yang dimana syariat Islam menuntun manusia menggunakan akal pikirannya dan berusaha untuk mengubah nasibnya dalam mendapatkan manfaat terbaik bagi kehidupannya. Kemajuan kehidupan dunia, merupakan tanda kemajuan manusia dalam menggunakan potensi akal dan alam yang diberikan Allah kepadanya. Hamka mengungkapkan;
… Mereka perbuat pelajaran-pelajaran zuhud, membenci dunia, padahal masih hidup dalam dunia, tidak peduli akan keadaan sekelilingnya atau di dalam alam sekalian. Sehingga kelihatan tiap-tiap orang yang telah berpegang dengan agama menjadi orang bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan kediamannya, tersisih dalam pergaulan. Padahal bukan begitu hakikat pelajaran agama yang hanya bikinan sempit faham kepala-kepala agama saja. Islam membantah dan menentang segala teori buatan kepala-kepala agama itu. Dengan bukti cukup ditunjukkannya bahwa agama itu bukan musuh kemajuan, bahkan agamalah penuntun kemajuan, menempuh tujuan untuk perdamaian segala bangsa. (Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 84)
Kebahagiaan yang dimaksud dengan Hamka dalam interaksinya terhadap kehidupan dunia, ialah mereka yang memiliki pandangan yang benar terhadap berbagai kedudukan, sifat dan perbendaharaan dunia. Meskipun mereka hidup dalam kekayaan harta, ketinggian jabatan dan kemudahan mendapatkan fasilitas hidup. Namun hati dan jiwa mereka senantiasa dikembalikan dalam pangkal kebahagiaan sesungguhnya. Pangkalnya bukan terletak pada kebendaan, namun kepada sumber pemberi nikmat benda itu sendiri, yaitu Allah subhanahu wa ta`ala, pada ketauhidan. Sehingga ia pun menjadi seorang yang ihsan, yang hati, pikiran dan pandangannya kembali pada pandangan Allah. Kebahagiaannya merupakan apa yang menjadi keridhoan Allah, dan kesesalannya ialah ketika ia zalim terhadap diri dan lingkungan kehidupan yang diamanahkan Allah kepadanya. Sebagaimana keteladanan dan kemajuan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak lantas membuat mereka buta dan salah dalam memandang benda meskipun pada puncak kekuasannya.
Apabila hidup kerohanian telah mendjadi kerinduan, dengan sendirinya nilai kebendaan jang ada ini tidaklah tinggi lagi pada pemandangannja. Dia mempunjai pandangan sendiri tentang arti kaja atau miskin, tinggi atau rendah, mahligai atau gubuk. Lantaran itu, maka orang-orang yang masuk dalam hidup kerohanian ini, tidaklah berobah baginja baik memakai pakaian jang terbikin dari bulu (shufi) atau lambing kekuasaan. Mereka mendjadi wara`, tawadu`, sederhana, ta`abbud (berbakti), zuhud (tidak terikat kemewahan
…. Dan semuanja itu amat mempengaruhi kepada pandangan hidup dan perbuatan dari kaum Muslimin. Djadi adalah hidup kerohanian itu suatu intisari dalam adjaran agama Islam dan bertemu tjontoh teladannja pada pembangun-pembangun agama Islam sendiri. (Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta: Pustaka Islam, 1953, hlm. 15)

Maka kehidupan dan kebahagiaan sejati seorang manusia, bukanlah ia yang menjadikan kebendaan atau materialisme usaha dan tujuan tertingginya. Namun ia yang menempatkan kemajuan hidup dan kebendaan di bawah kerohanian jiwa dan kebersihan hatinya dalam nilai agama, untuk memberi manfaat yang baik bagi manusia. Hal itulah yang bagi Hamka akan membawa pada “kesatuan” manusia untuk saling menghargai dalam kehidupan berbangsa, dan menjadi nilai kemanusiaan yang menjaga di dunia. Hamka menuturkan;
“Hidup jang ditegakkan atas kemurnian djiwa dan kebersihan hati. Tiangnja ialah memandang alam dengan pandangan KESATUAN, sehingga hilang dan rombak segala batas-batas negeri dan terkumpul mendjadi satu, jaitu KEMANUSIAAN. Dan tudjaunnya ialah ma`rifat (pengethuan), kejakinan dan kebahagiaan jang sedjati. (Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta: Pustaka Islam, 1953, hlm. 14).*

Alumni Ma`had Aly Imam Al Ghazali Surakarta

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar


Posting Komentar
Kembali ke atas