Notifikasi
General

Memaknai Kewajiban Berpuasa Ramadan





BincangSyariah.Com – Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah [2]: 183,

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu

agar kamu bertakwa.

(QS Al-Baqarah [2]: 183)

Perintah dan kewajiban berpuasa, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt., terdapat dalam kitab su­­ci Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai­ma­na diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu ber­­takwa. Ini merupakan ayat yang sering dikutip oleh para mu­­baligh dan khatib sepanjang bulan puasa.

Dari ayat tersebut, kalau saja mau diteliti dan direnung­kan maknanya, akan dapat ditemukan sebuah pengertian bah­­­wa ibadah puasa sesungguhnya hanya diwajibkan ke­pa­da orang yang beriman. Dengan menggunakan idiom ushûl fiqh—yakni mafhûm mukhâlafah—dalam ayat tersebut ada penega­san bahwa orang yang tidak beriman tidak perlu berpuasa. Namun di sisi lain, kita juga dapat mengambil asum­si dari ayat tersebut bahwa dalam pengertian berislam be­lum tentu di dalamnya meliputi pengertian beriman.

Hal yang demikian juga dibenarkan oleh kitab suci Al-Qur­an lewat sebuah ayat yang mengilustrasikan keimanan se­orang Badui yang meskipun sudah mengaku dirinya ber­islam, oleh Al-Quran kemudian disangkal dan dinyatakan bah­wa sesungguhnya dia belum beriman. Seba­gaimana di­se­butkan dalam kitab suci Al-Quran, Orang-orang Badui itu ber­kata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Ka­­mu belum beriman, tetapi katakan­lah ‘Kami telah Islam.’ Ka­­rena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta­at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi se­­di­kit pun (pahala) amalmu; sesungguhnya Allah Maha Peng­am­­pun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurât [49]: 14).

Dengan demikian, ayat di atas juga dapat menjelaskan ada­nya perbedaan antara pengertian islam dan iman, yang di­­gam­barkan bahwa berislam—yang arti generiknya adalah pas­­­rah atau tunduk—boleh saja berimplikasi lain, seperti hal­­­­­­­­nya seseorang berislam karena alasan politik. Merujuk ke latar belakang turunnya ayat (asbâbu ’l nuzûl), adalah sa­ngat logis—bersamaan dengan semakin kuatnya peng­aruh agama Islam secara politis di wilayah Jazirah Arab pada saat itu—apabila tidak ada alasan dan alternatif lain untuk tidak berislam.

Juga perlu dipahami bahwa penyebutan kata islam dan iman dalam satu kalimat (single word) pada Al-Quran—seperti tersebut dalam ayat di atas—dalam bahasa Arab menyirat­kan bahwa haki­kat islam dan iman sesungguhnya memiliki dimensi yang berbeda. Atau dengan kata lain, ada tingkatan-tingkatan tertentu apakah seseorang sudah dikategorikan ber­iman atau baru pada tingkatan berislam.

Namun sebaliknya, apabila kata islam dan iman dise­but­kan secara terpisah (infirâd), itu mengindikasikan bahwa pengertian berislam sudah mencakup pengertian beriman. Artinya, berislam tidak saja menunjuk kepada hal-hal yang ber­­sifat lahiriah, seper­ti ucapan atau perbuatan, tetapi juga me­liputi hal-hal yang bersifat batiniah, yakni masuknya iman ke dalam hati, yang perwu­judannya adalah penghambaan yang tulus.

Pengertian kata “islam”—yang dalam arti generiknya pe­nye­ra­han, tunduk, dan pasrah namun dibarengi ketulusan dan keju­juran—adalah pengertian Islam sebagaimana yang di­gambarkan dalam Trilogi Ajaran Islam. Ini dinyatakan pu­la dalam sebuah hadis Jibril yang sangat masyhur di kalangan kita bahwa Trilogi Ajaran Islam—islam, iman, dan ihsan—ada­­lah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan sa­tu dengan yang lain dan menjadi bagian organik, saling me­lengkapi.

Adapun kata “puasa”, yang sering kita pakai, diambil dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti yang sama dengan ka­ta shawm, yang diambil dari bahasa Arab, yakni pengen­dali­an diri. Pengenda­lian diri yang dimaksud adalah dalam pengertian dasarnya, yakni pengendalian diri atas dorongan ber­laku tamak. Pemahaman semacam itu erat kaitannya de­ngan Drama Kosmis atau peristiwa kejatuhan Adam dari sur­ga ke bumi. Peristiwa tersebut dalam Al-Quran diis­tilah­kan dengan al-hubûth.

Dikisahkan bahwa Adam, sebagai simbol manusia per­tama, dike­luarkan dari surga, tempat yang digambarkan di dalamnya dipenuhi berbagai macam kenikmatan dan kemu­dah­an, di antaranya berbagai macam makanan dari jenis buah-buahan. Sebagaimana direkam dalam Al-Quran, se­telah Adam bersama Hawa—sebagai nenek moyang manu­sia—diciptakan, mereka berdua kemudian diizinkan tinggal di dalam surga. Dikisahkan bahwa Allah Swt. berfirman ke­pada mereka berdua, Hai Adam, ambillah oleh kamu dan istri­mu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang ba­nyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah ka­mu dekati pohon ini (Al-Baqarah [2]: 35). Meski Adam dan Hawa, seperti yang dikisahkan Al-Qur­an, telah diberkahi kenikmatan yang banyak dan melimpah serta dilengkapi segala kemudahan, di antaranya kelapang­an memakan buah-buahan apa saja, pada akhirnya mereka, se­bagai simbol manusia tersebut, ternyata tidak mampu me­nahan dorongan dan godaan berlaku tamak untuk tidak me­­makan hanya satu macam buah yang dilarang oleh Allah Swt.

Menurut penafsiran beberapa ulama salaf, buah yang di­maksud­kan dalam ayat tersebut adalah buah kekekalan. Da­lam Al-Quran disebut syajarah khuld—yang kalau dima­kan justru akan menging­kari ha­kikat kemanusiaannya sen­diri—sehingga, akhirnya, kedua­nya di­ge­lincirkan dan dija­tuh­kan oleh setan dari surga ke muka bumi ini sebagai hu­kum­an atas pe­lang­gar­­an tersebut.

Dari kasus tersebut, dapat di­­­­pahami bahwa sesungguh­nya pa­da diri manusia—sebagaimana disimbolisasikan dalam diri Adam dan Hawa yang mengalami keja­tuh­an dari surga—terdapat do­rong­an dan kecenderungan ber­laku tamak. Po­ten­si ini jika ti­dak dapat dikendalikan secara ba­ik dan benar akan dapat meng­­­­­­arah­kan dan mendorong manu­sia pa­da ke­hancuran, yak­ni ke­han­­cur­an moral dan spi­ri­tual.

Berkenaan dengan ilustrasi ketamakan manusia, amat me­na­rik untuk direnungkan, sebagai­ma­na diingatkan oleh Nabi Mu­ham­mad Saw., bahwa ketamak­an manusia itu tiada ba­tas. Kalau saja diberi satu ladang yang berisi emas, niscaya manusia akan terus mencari ladang emas yang kedua. Dan kalau ma­nusia diberi dua ladang emas, dia tetap akan mencari la­dang emas yang ketiga dan seterusnya. Hal ini meng­gam­­bar­kan betapa ketamakan manusia itu tidak akan per­nah terpenuhi kecuali kalau dia sudah makan ta­nah atau mati.

Perintah ibadah puasa, sebagaimana dapat dipahami dari ayat yang mewajibkan berpuasa di awal tadi, juga memi­liki implikasi lain. Yakni adanya kesinambungan atau konti­nui­tas ajaran Islam yang berpijak pada ajaran masa lalu, ke­­mudian diwujudkan dalam bentuk keimanan pada ajaran-ajaran para nabi sebelum Nabi Muham­mad Saw.

Kiranya perlu diingat bahwa pemahaman ajaran agama Islam sesungguhnya sudah dimulai sejak ajaran Nabi Adam a.s., Idris a.s., Nuh a.s., Musa a.s., dan Isa a.s., yakni ajaran pa­­­ra nabi dan rasul Allah Swt. yang berjumlah 25 orang seba­gai­­mana difatwa­kan oleh para ulama salaf. Meskipun demi­kian, perlu dipahami bahwa jumlah nabi itu bisa saja men­ca­­pai ribuan, seperti yang diklaim oleh Al-Quran sendiri, Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah kami kisah­kan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu (QS Al-Nisâ’ [4]: 164).

Kata “nabi” dalam bahasa Arab berarti orang yang mem­bawa atau menyampaikan warta atau berita. Kata nabâ’un, turunan kata na-ba-a, seperti yang kita ketahui artinya, ada­­lah khabârun yang berarti kabar. Adapun misi para nabi iden­tik dengan yang diter­angkan dalam Al-Quran, Dan se­sung­guh­­­nya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk me­­­nyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi pe­tun­­­juk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang te­­­lah pasti kesesatan baginya (QS Al-Nahl [16]: 36).

Kata “nabi” yang berasal dari kata naba’un, sesuai de­ngan misinya, mengandung pengertian orang-orang yang mem­­­berikan atau menyampai­kan kabar yang berupa ajaran kebenaran (teaching of rightness) kepada umat manusia. De­ngan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa di Pu­lau Jawa atau di India, misalnya, juga pernah diutus seorang nabi pada zaman dahulu kala, yakni orang yang mengajar­kan kebenaran, meskipun mungkin penamaannya bisa saja berbeda. Berkaitan dengan dimensi masa lampau, seperti dikutip dalam ayat Al-Quran di atas, ajaran ibadah puasa juga telah diperintah­kan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Mu­ham­mad Saw. meskipun bentuk puasa itu mungkin berbe­da. Hal seperti itu, sekali lagi, menegaskan adanya implikasi bahwa ajaran Islam, di antaranya perintah puasa, merupa­kan kelanjutan dari ajaran para nabi Islam sebelum Nabi Mu­hammad Saw.

Dimensi masa lampau, yang berarti adanya dimensi ke­si­nam­bun­gan itu, memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman ajaran Islam. Dengan demikian, barang siapa ber­islam namun kemu­dian menolak untuk beriman pada sa­­lah seorang nabi sebagaimana yang disebutkan para ulama salaf—nabi dan rasul yang wajib diyakini berjumlah 25 orang—maka orang tersebut dimasukkan ke dalam golong­an orang kafir.

Agama Islam dengan keseluruhan ajaran yang dirang­kum dalam kitab suci Al-Quran juga telah menjelaskan bah­wa sesungguhnya Al-Quran adalah kitab suci mushaddiq, yang membenarkan kitab-kitab suci yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Al-Quran juga berfungsi sebagai mubayyin, yang menjelaskan isi kitab-kitab suci sebelumnya, dan Al-Quran sekaligus juga berperan sebagai furqân, yang ber­arti datang sebagai koreksi terhadap kitab-kitab suci yang ada, membedakan antara ajaran yang benar dan aja­r­an yang sudah menyimpang.

Dalam kasus seperti tadi, Al-Quran sebagai furqân, pe­nger­­tian kata yang benar mungkin akan lebih tepat kalau dipahami dengan pengertian ajaran yang autentik, keaslian atau kemurnian, karena setelah berselang sekian abad, ajar­an para nabi, yang sesungguhnya adalah ajaran tauhid, meng­­alami penyimpangan dan pemalsuan. Dan inilah di an­ta­ra­nya yang dikoreksi dan dikritik olah Al-Quran.

Berkaitan dengan keimanan terhadap ajaran yang di­kan­dung oleh kitab-kitab sebelum Al-Quran (Zabur diturun­kan kepada Nabi Dawud a.s., Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s., dan Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s.), kitab suci Al-Quran dengan pengungkapan dirinya sebagai furqân (yang membedakan) dengan sendirinya mengandung pengertian sebuah anjuran agar umat Islam juga mempel­ajari dan mengadakan penelitian untuk dapat mengetahui pe­nyimpangan-penyimpangan tersebut sehingga dapat me­laku­kan koreksi.

Sikap para ulama salaf, seperti Ibn Taimiyyah, berkena­an dengan ajaran para nabi dan rasul sebelum Nabi Muham­mad Saw., adalah memahami ajaran tersebut sebagai anjur­an dan dorongan kepada umat Islam untuk melakukan peng­­­kajian dan penelitian. Dalam hal ini, Ibn Taimiyyah sendiri telah mencontohkan dengan membuat sebuah karya yang sangat bagus, yang tidak saja dikagumi oleh kalangan ulama Islam tetapi juga oleh ilmuwan Barat, seperti Thomas Michel—seorang ahli keislaman yang pernah bertugas meng­a­jar di Yogyakarta. Buku Ibn Taimiyyah yang sangat monu­men­tal itu berjudul Al-Jawâb Al-Shahîh li man Baddala Dîn Al-Ma­sîh (Jawab yang benar atas orang yang telah meng­ubah agama Kristen).

Ajaran Islam yang berdimensi pada masa lampau, seba­gai bukti sebuah proses kesinambungan, juga diwujudkan da­lam bentuk periba­datan yang lain, seperti berziarah ke Ta­nah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Da­lam ajaran yang terkandung dalam ibadah haji tersebut, se­sung­guhnya terdapat pesan bahwa kita disuruh melihat kem­bali tempat-tempat bersejarah, seperti maqâm Ibrahim (tempat berpijak Nabi Ibrahim), Hijr Ismail, serta Bukit Sha­fa dan Marwah. Tempat-tempat itu lebih tepat diistilahkan de­ngan monumen-monumen Allah, sebagaimana dalam Al-Quran juga diistilahkan dengan sya‘âir, bentuk jamak syi‘âr (monumen).

Oleh karena itu, bisa saja pengertian berziarah paralel de­­ngan mengunjungi museum bersejarah yang pengertian po­koknya adalah untuk mengkaji dan mempelajari mo­nu­men-monumen bersejarah tersebut. Dan tentu, sejalan de­ngan ajaran tauhid, harus dihin­darkan dan dibersihkan mun­­­­­cul­nya sikap penyembahan terhadap tempat-tempat ter­­se­but, seperti makam rasul, yang justru tanpa disadari akan dapat menjerumuskan ke kekafiran. Tadi juga disinggung bahwa ibadah puasa berdimensi masa depan pula, yakni pada akhirat, yang dalam Al-Quran diistilahkan dengan al-âkhirah, lawan al-ûlâ (kehidupan du­nia). Dengan demi­kian, menjalankan ibadah puasa merupa­kan refleksi keimanan terha­dap hari akhirat, seperti adanya sur­ga dan neraka yang seluruhnya berada di masa depan.

Pemahaman eksistensi kehidupan akhirat atau masa depan kemudian memang menjadi hal yang sangat sulit ka­re­na akhirat berdimensi ruhaniah yang tak seorang pun da­pat mengalami atau mengetahui kecuali ia sudah meninggal. Itulah sebabnya hal utama yang dapat dijadikan asumsi atau pi­jak­an dasar kita adalah, sudah barang tentu, keimanan. Ke­imanan akan adanya hari akhir tersebut.

Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi, tanpa disadari, dapat membantu kita memahami gambaran kehidupan akhi­­­rat—lanjutan kehidupan yang sekarang ini—yang me­tafisik atau nonempiris itu. Kehidupan akhirat, sebagai salah satu ajaran Islam, sudah pasti tidak bertentangan dengan akal atau rasio kalau kita mau memi­kirkannya. Itu karena ha­kikat ajaran Islam—seperti yang menyang­kut keyakinan terhadap kehidupan akhirat—adalah hal yang suprar­asional, bukan tidak rasional. Artinya bahwa intelektual kita belum mam­pu memahami untuk saat ini dan tidak mustahil dapat memahami pada suatu waktu.

Problem akhirat sebenarnya mirip dengan pemaham­an kita tentang matematika empiris, dengan m yang menjadi simbol meter, m2 yang berarti meter persegi, kemudian m3 yang berarti meter kubik. Simbol-simbol m, m2, m3 adalah di­­mensi empiris, artinya keberadaannya dapat dilihat atau di­indra. Namun juga harus diakui bahwa tidak tertutup kemungkinan dimensi empiris m4, m5, dan seterus sudah di­pasti­kan ada, namun keberadaannya bersifat abstrak. Itulah sebabnya dalam kaitan ini m3, m4, m5, dan seterusnya kemu­dian termasuk dalam kategori matematika abstrak, yang sebenarnya adalah supraempiris—bukan berarti tidak ada—se­perti problem akhirat tadi.

Kembali pada problem dimensi masa yang akan datang. Ek­si­stensi kehidupan akhirat yang supra-rasional di antara­nya digam­barkan atau diperoleh dari berita melalui wahyu atau firman Allah Swt., seperti bahwa di akhirat nanti ta­ngan, kaki, dan anggota tubuh kita yang lain akan bicara ten­­tang semua perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, Pada hari ini Kami tutup mu­lut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan mem­beri kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang da­hu­lu mereka usahakan (QS Yâ Sîn [36]: 65).

Ajaran semacam itu mungkin saja pada zaman dahulu sa­ngat sulit dipahami, namun untuk sekarang ini tidak sulit dengan dibantu kemajuan ilmu dan teknologi, seperti yang di­kenal dengan ilmu genetika. Menurut temuan ilmu gene­tika diungkapkan bahwa, ternyata, di dalam tubuh manusia dan setiap makhluk hidup lain, terdapat jutaan mikrofilm yang dapat merekam dan menginformasi­kan keseluruhan ke­hi­dupannya di masa lalu. Hal ini, seperti juga yang digam­­barkan dalam sebuah film fiksi-ilmiah (science-fiction) yang sangat spektakuler, yakni Jurassic Park, karya sutradara Spiel­berg, yang menceritakan bahwa tidak mustahil seekor dino­saurus yang hidup ribuan tahun lalu dapat dilahirkan kem­bali lewat kemajuan rekayasa ilmu genetika.

Dengan memahami pesan dan makna seputar kewajib­an berpuasa secara benar, sesungguhnya ibadah puasa me­rupa­kan gerakan go to basic yang memiliki implikasi ke ma­sa lampau dan masa depan. Dan menjalankan perintah pua­sa diharapkan akan menjadikan kita seba­gai pribadi yang muttaqî, sebagaimana yang difirmankan dalam kitab suci Al-Quran pada awal pembicaraan.[]

Disadur dari buku 30 SAJIAN RUHANI RENUNGAN DI BULAN RAMADLAN Karya Nurcholish Madjid

Sumber : bincangsyariah.com


Posting Komentar
Kembali ke atas