BUM Desa, atau nama lain, sebenarnya bukan makhluk baru meskipun nomenklatur itu baru diperkenalkan oleh pemerintah dalam satu dekade terakhir. Dulu kita mengenal berbagai institusi sosial dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: Badan Kredit Desa (BKD), Koperasi Unit Desa (KUD),Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, maupun berbagai nama dana bergulir yang dikelola kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti UPK dan Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP) dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Sebut saja ini adalah LKM korporatis, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen pemerintah untuk menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari jeratan rentenir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun swasta) tidak pro rakyat.

Tidak semua institusi LKM itu mati, tetapi sebagian besar institusi LKM telah mati, telah menjadi dinosaurus. Tentu pemerintah tidak pernah jera. Pemerintah selalu membikin nomenklatur LKM yang baru seraya mengalirkan bantuan dana yang tidak kecil kepada LKM baru. Studi kami di Dompu, Bima, dan Lombok Barat, sebagian besar BUM Desa bentukan Pemkab dan didukung Provinsi, yang bergerak di bidang LKM mengalami mati suri. Demikian juga di Kutai Kartanegara yang kaya raya, dimana proyek LKM melalui program Gerbang Dayaku, mewariskan kegagalan LKM sebagaimana ditunjukkan dengan kemacetan dana bergulir sebesar 78 milyar rupiah. Sementara institusi dana bergulir yang sekarang masih berjalan secara massif adalah SPP PNPM Mandiri Perdesaan.

Karena proyek masih berjalan, dana SPP terus bergulir menjadi besar dengan tingkat pengembalian pinjaman dari kelompok sebesar 92,7% pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 94,00% pada tahun 2009. Menurut laporan PNPM Mandiri Perdesaan 2009, dana yang bergulir sebesar Rp 1.247.881.145.008 dan kemudian meningkat menjadi Rp 2.399.196.471.301 pada tahun 2009. Banyak pihak bertanya, bagaimana nasib SPP kedepan ketika PNPM MP sudah berakhir? Mau dibawa kemana institusi SPP dan uang sebesar itu? Apakah institusi dan uang itu akan bernasib sama seperti institusi-institusi lain yang pernah dibentuk pemerintah? Ini adalah teka-teki serius yang sangat disadari oleh PNPM MP maupun oleh pemerintah. Di tengah-tengah banyak LKM masuk desa yang datang silih berganti, pemerintah dan masyarakat Bali sangat bangga akan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

LPD dibentuk secara serentak oleh Gubernur Ida Bagus Mantra pada tahun 1985, sebagai kelanjutan atas pemisahan dan pembentukan antara Desa Dinas dan Desa Adat (Desa Pakraman). LPD dibentuk khusus di setiap Desa Adat (Pakraman) dengan modal awal sebesar Rp 2 juta serta didampingi oleh BPD Bali. Setiap Desa Adat memiliki LPD dan LPD khusus melayani warga dalam satu Desa Adat, tidak boleh melayani warga Desa Adat lainnya.

Sebagian besar LPD berkembang pesat dan bertambah besar, yang memberikan dukungan bagi gerakan ekonomi lokal maupun dana sosial warga, tidak semata dengan mekanisme dana bergulir tetapi melalui mekanisme simpan pinjam. Ketika BUM Desa diperkenalkan Jakarta, banyak pejabat daerah dan kepala desa di Bali berujar: “Buat apa BUM Desa, kan kami sudah memiliki LPD”. Dari cerita singkat itu muncul pertanyaan. Mengapa sebagian besar LKM atau BUM Desa mengalami kegagalan, sementara sebagian kecil lainnya meraih cerita sukses? Pelajaran apa yang bisa ambil dari kisah kegagalan dan kesuksesan itu? Saya terus terang tidak banyak mengetahui tentang disain kelembagaan dan manajemen usaha BUM Desa. Padahal banyak pihak yakin bahwa kesuksesan BUM Desa tergantung pada ketepatan disain kelembagaan dan kecanggihan (akuntabilitas dan profesionalitas) manajemen BUM Desa.

Disarikan dari buku Pengelolaan Badan Usaha Desa