Notifikasi
General

Pengaturan Hubungan Kelembagaan di Desa


Struktur dan fungsi dalam penyelenggaraan demokrasi di desa yang diatur oleh UU Desa terdiri atas (i) pemdes sebagai penyelenggara pemerintahan desa; (ii) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang memiliki fungsi pemerintahan, yaitu legislasi, representasi aspirasi, dan pengawasan; (iii) lembaga kemasyarakatan desa (LKD) sebagai wadah pemberdayaan masyarakat desa yang sekaligus juga ikut serta dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan; dan (iv) musdes sebagai forum tertinggi pembuatan keputusan strategis di desa.



Agar penyelenggaraan pemerintahan di desa tertata sesuai dengan asas demokrasi, penerapan sistem checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga yang memiliki fungsi pemerintahan dibutuhkan untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada lembaga tertentu dan terjadinya penyimpangan dalam pemerintahan. Dalam konteks desa, lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan adalah pemdes, sedangkan lembaga yang bertugas menjalankan fungsi pengawasan, representasi aspirasi, dan legislasi adalah BPD.

Namun, posisi kedua lembaga tersebut belum seimbang. Pertama, kades tidak diwajibkan memberi laporan akhir masa jabatan kepada BPD. Padahal, evaluasi akhir masa jabatan perlu diberikan kepada BPD sebagai penilaian terhadap pencapaian RPJM Desa sekaligus pijakan untuk pembuatan RPJM Desa selanjutnya. Kedua, ketentuan yang mengatur hak BPD dalam menjalankan fungsi representasi dan pengawasan (Permendagri No. 110/2016) tidak menunjukkan aturan yang mengikat pemdes untuk mengakomodasi pendapat serta permintaan dan/atau rekomendasi yang disampaikan oleh anggota BPD. Ketiga, dalam melaksanakan pegawasan tersebut, BPD tidak memiliki wewenang atau hak untuk memberi sanksi kepada pemdes. Hal ini melemahkan posisi BPD dalam menjalankan fungsi-fungsinya, terutama dalam melekukan pengawasan kepada pemdes.

Konstruksi kelembagaan yang didesain dalam UU Desa memberikan posisi yang kuat kepada pemdes sebagai penyelenggara tunggal pengelolaan pembangunan dan urusan publik di desa. Kuatnya posisi pemdes didasari keinginan untuk memastikan proses pemerintahan dan pembangunan di desa berjalan lancar, tanpa banyak “diganggu” oleh dinamika perbedaan pandangan di desa. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa pemberian wewenang kontrol yang besar kepada BPD menimbulkan perselisihan antara pemdes dan BPD, yang pada akhirnya mengganggu proses pembangunan di desa.

Kuatnya posisi pemdes juga bisa dilihat dalam hubungannya dengan LKD. Regulasi turunan UU Desa cenderung menempatkan LKD sebagai sarana mobilisasi warga untuk melaksanakan program/kegiatan pemdes, bukan sebagai pemberdaya masyarakat desa. Sebagai akibatnya, LKD pun belum bisa diharapkan untuk memainkan peran strategis dalam memengaruhi proses pemerintahan karena hanya diposisikan sebagai pihak yang membantu pemdes.

Hubungan antara LKD dan BPD dijelaskan dalam dua regulasi. Permendagri No. 110/2016 Pasal 33 (2) tentang BPD yang menyebutkan bahwa LKD merupakan salah satu sumber bagi BPD dalam menggali aspirasi masyarakat. Namun, Permendagri No. 18/2018 tentang LKD hanya menyebutkan bahwa hubungan kerja antara LKD dan BPD bersifat konsultatif. Tanpa penjelasan yang lengkap, hubungan konsultatif ini terkesan tidak memberi ikatan apa pun bagi kedua pihak.

Peran BPD dan LKD yang terbatas dalam mengimbangi kuasa pemdes sebenarnya bisa dikompensasi dengan mengoptimalkan fungsi musdes. Semua regulasi teknis mengenai pelaksanaan kewenangan desa telah mengatur perlunya musdes dalam pengambilan keputusan strategis di desa. Rincian teknis penyelenggaraan musdes juga sudah disediakan dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 2/2015 yang kemuadian di diganti dengan Permendes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Musyawarah Desa. Namun, sejauh ini musdes belum banyak dimanfaatkan sesuai dengan kedudukannya itu, terutama oleh BPD yang menurut UU memiliki kewenangan sebagai penyelenggara.

 

Disarikan dari sumber : Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Endline, yang diterbitkan oleh The SMERU Research Institute***

 

Klik disini untukDownload




Posting Komentar
Kembali ke atas