Dana Desa Bisa Saja Dicabut
INSAN
DESA INSTITUTE - Jika kita memflasback latar belakang berlakunya Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). UU tersebut adalah
undang-undang pertama pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui
pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanya
diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah (PP 72 Tahun
2005).
Setidaknya
ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa, yaitu; demokratisasi
desa, jenis desa yang beragam, kewenangan berdasarkan rekoqnisi dan
subsidiaritas, perencanaan yang terintegrasi, dan konsolidasi keuangan dan aset
desa. Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki
kualitas kehidupan warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia.
Selain itu, Undang-Undang Desa juga
mengatur tentang Kedudukan dan Jenis Desa; Penataan Desa; Kewenangan Desa;
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa;
Keuangan Desa dan Aset Desa; serta Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan. Point penting itu harus dielaborasi oleh seluruh komponen yang ada
di Desa baik itu dari unsur Pemerintah Desa, BPD, dan masyarakat. Juga tidak
kalah penting peran dan pemahaman dari supra desa dalam melakukan pembinaan
terhadap desa.
Namun pada umumnya kita baru
menangkap sepotong-sepotong, misalnya soal adanya transfer dana desa yang besar
langsung dari pemerintah pusat (APBN). Selain itu, warga mulai paham bahwa masa
jabatan kades menjadi 6 tahun, dan berhak dipilih selama tiga
kali. Kendala lain yang tak kalah serius ada anggapan UU Desa sama dengan
dana desa.
Memang benar dana desa merupakan salah satu
isi dari undang-undang desa dan dana desa tentu sangat penting, sebagai modal
awal yang sipatnya stimulan bagi desa untuk mengimplementasikan kewenangannya.
Tetapi duit yang namanya dana desa itu bukanlah yang paling utama, melainkan
menjadi bagian kecil dari ruang besar besar yang bernama UU Desa. UU Desa tidak
memberikan mandat khusus tentang persentase berapa dari APBN untuk di
distribusi kepada desa. Undang-undang desa hanya memberikan mandat pengaturan
keuangan desa dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 75 ayat (3) menegaskan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Sementara Dana Desa hanya menjadi salah satu sumber dari tujuh
sumber pendapatan desa.
Hal ini mengisyaratkan bahwa
pengaturan pengalokasian besaran Dana Desa itu tergantung kebijakan
kepemimpinan nasional katakanlah Presiden dan DPR. Pemerintahan Jokowi jilid
II, masih meletakkan pembangunan desa sebagai salah satu prioritasnya.
Jika dilihat dari keberpihakan pemerintah tersebut desa masih bisa bernapas
lega. Tetapi tidak menutup kemungkinan kedepannya hal itu berubah bisa
terus bertambah, bisa berkurang, bahkan bisa saja dicabut apabila negara
menghadapi situasi-kondisi genting katakanlah krisis ekonomi, perang, dan lain
sebagainya yang menyebabkan kondisi keuangan negara kritis.
Sebagai bagian dari desa, berbagai
kemungkinan tersebut harus kita antisipasi salah satunya adalah dengan cara
merubah/mengembangkan paradigma berpikir, mengembangkan perekonomian desa,
mengembangkan dan memperkuat gotong royong, mengembangkan/meningkatkan
kapasitas desa secara mandiri, dan memperkuat jejaring sosial.
Oleh : Asep Jazuli (PLD, Warga Desa
Penikmat Kopi).