Sejak Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disahkan, pemerintah menggenjot isu pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Banyak desa sukses mengembangkan BUMDes, sebaliknya tak sedikit yang gagal. Sulitnya akses permodalan menjadi faktor penyebab BUMDes layu sebelum berkembang.



Saat ini BUMDes masih sulit mengakses permodalan, terutama pada lembaga perbankan. Pihak perbankan sendiri masih terbentur pada regulasi untuk menyalurkan modal kepada BUMDes. Kondisi itu mengakibatkan kebuntuan, baik pihak BUMDes maupun perbankan, akibat kebijakan yang masih tumpang-tindih.

Sebagai contoh, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) hanya membolehkan penyaluran kredit pada dua kategori, yakni perorangan dan badan usaha berbadan hukum. Sementara BUMDes tidak masuk kategori keduanya.

Permasalahan tersebut dapat dipecahkan melalui pendekatan kerjasama dan kemitraan yang melibatkan berbagai pihak. Setidaknya ada lima pelaku yang dapat bekerja secara kolaboratif untuk pengembangan BUMDes, yaitu masyarakat, akademisi, dunia usaha, pemerintah, hingga media massa. Pendekatan ini disebut model pentahelix.

Model pentahelix mengandaikan kelima aktor di atas dapat bekerjasama secara sinergis dan saling menguatkan demi tercapainya percepatan usaha. Pada dasarnya, pembentukan usaha musti mendapatkan dukungan market (pasar), jejaring, regulasi, hingga sosialisasi lewat media massa.
Pendanaan melalui pemanfaatan dana CSR (corporate social responsibility) sangat dimungkinkan. BUMN/BUMD dapat bekerjasama dan bermitra dengan BUMDes untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.

Tak dipungkiri, tiga tahun terakhir, kehadiran BUMDes telah mendongkrak ekonomi masyarakat sehingga mereka mampu meraih kehidupan yang lebih baik.

Oleh :  Gedhe Foundation 
Sumber :