Sebagian umat Islam sulit menerima bahwa rumusan yang dihasilkan lewat rapat alot Panitia Sembilan selama 21 hari, dan diperdebatkan selama sepekan dalam sidang BPUPKI, bisa diubah hanya dalam belasan menit. 


“Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka (umat Islam) diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka,” ujar tokoh Masyumi, M. Isa Anshari dalam sidang Konstituante 1957, seperti dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981). 

Kekecewaan Isa tertuju kepada Sukarno. Ia mempertanyakan peran Sukarno yang terkesan inkonsisten. Sebab, menurut Isa, Sukarno lah yang semula gigih mempertahankan Piagam Jakarta di sidang BPUPKI, tetapi Sukarno jugalah yang dianggapnya berkontribusi mengganti isi Piagam Jakarta. 

“Apakah sebabnya Ir. Soekarno yang selama sidang-sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta, kemudian justru memelopori usaha untuk mengubahnya? Penulis tidak tahu,” ujar Isa. 

Peran Sukarno dalam sejarah Piagam Jakarta barangkali menempati posisi paling ambigu dibanding para pendiri negara-bangsa lain. Sebagai Ketua Panitia Sembilan, ia berhasil membangun kompromi yang menjembatani perbedaan antara golongan nasionalis-sekuler dan golongan nasionalis-Islam tentang pembukaan dasar negara. 

Kompromi yang dihasilkan pada 22 Juni 1945 ini, oleh M. Yamin, diberi nama Piagam Jakarta. Prinsip komprominya adalah Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi umat Islam wajib menjalankan syariat Islam yang akan diatur dalam konstitusi. Hal itu tertuang dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 

Pada 10 Juli 1945, Sukarno menyampaikan rumusan Piagam Jakarta dalam sidang BPUPKI. Saat itu ia bersungguh-sungguh meyakinkan anggota sidang untuk menerima Piagam Jakarta sebagai rumusan terbaik pembukaan UUD 1945. 

“Panitia kecil penyelidik […] berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai,” kata Sukarno, seperti dilansir dari Risalah BPUPKI-PPKI karya M. Yamin. 

Saat Johannes Latuharhary, wakil dari Ambon, menyatakan keberatan terhadap Piagam Jakarta pada 11 Juli 1945, Sukarno jugalah yang tampil membela. Ia membantah kekhawatiran Latuharhary bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya akan menciptakan benturan dengan hukum adat di masyarakat. 

“Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini: jadi perselisihan terus nanti,” ujar Sukarno. 

“Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes.

” Pernyataan Sukarno pun didukung oleh Agus Salim dan Wahid Hasyim. 

Setelah dibahas secara maraton selama sepekan dari 10 Juli hingga 16 Juli 1945, Piagam Jakarta akhirnya disahkan sebagai Mukadimah UUD 1945. Para founding fathers sepakat mempertahankan kalimat: “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.”

Pengubahan secara Tiba-tiba 

Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta dan Sukarno menggelar rapat nonformal bersama sejumlah tokoh Islam, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan. Rapat membahas permintaan perwakilan Indonesia timur untuk menghapus kalimat yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluknya dalam Piagam Jakarta. Jika permintaan itu tidak dipenuhi, perwakilan Indonesia timur mengacam akan memisahkan diri dari Indonesia. 

Bagi sejumlah tokoh Islam, permintaan itu sulit diterima. Sebab, bagi sebagian mereka, menerapkan syariat Islam merupakan salah satu alasan mengapa perjuangan memerdekakan Indonesia dilakukan. Namun para tokoh Islam juga sadar membiarkan Indonesia timur berpisah akan melemahkan posisi diplomasi Indonesia di mata dunia. Sehingga Belanda bisa dengan mudah kembali menjajah. 


Akhirnya, satu persatu para tokoh Islam melunak, kecuali Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo. Ia bersikeras mempertahankan isi Piagam Jakarta. Di sinilah kemudian Sukarno memainkan peran dengan meminta Kasman Singodimedjo menjadi anggota tambahan PPKI bersama Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo. Alhasil, jumlah anggota PPKI menjadi 27 orang dari semula 21 orang.

Baca selengkapnya di artikel "Sukarno dalam Polemik Piagam Jakarta", https://tirto.id/cq7m