Kolaborasi dapat dipahami sebagai proses bekerja sama untuk menelurkan gagasan atau ide dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama menuju visi bersama. Di sebuah organisasi yang saling tergantung, kolaborasi menjadi kunci pemikiran kreatif. Kolaborasi itu penting untuk mencapai hasil terbaik saat menyelesaikan berbagai permasalahan. 

Begitupun dalam pengelolaan Pemerintahan dan Pembangunan Desa, pemerintah desa tidak bisa mengandalkan pada kapasistas internalnya saja dalam penerapan sebuah kebijakan dan pelakasanaan program. Keterbatasan kemampuan, sumber daya maupun jaringan yang menjadi faktor pendukung terlaksananya suatu program atau kebijakan, mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama atau kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta dan komunitas masyatakat lainnya sehingga dapat terjalin kerjasama kolaboratif dalam mencapai tujuan program atau kebijakan pembangun desa.

Jauh sebelum masa sekarang, konsep kolaborasi sudah dilaksanakan oleh para leluhur dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks budaya sunda pembagian peran, kerjasama dan partisipasi terorganisir dalam konsep atau falsafah Tritangtu.    

Tritangtu dalam Budaya Sunda  dicetuskan oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan merupakan ciri utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok dilakukan bukan untuk membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati diri setiap individu. Resi, Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi  tiga lembaga, berperan dalam mensejahterakan masyarakat; Ngaping, Ngajaring, Ngaheuyeuk. Ngasah, Ngaasuh, dan Ngaasih.

Setiap komponen desa dapat memerankan tugas yang diembannya dan berkolaborasi secara optimal. Dalam konteks ini juga perlu dikembangkan nilai “Ulah pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian” yaitu setiap komponen desa tidak berebut kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan, melainkan berebut perjuangan dalam medan pengabdian. Pembagian perannya berdasarkan prinsip “Tri Tangtu Di Bumi”, yaitu :  Rama = Masyarakat umum.  Resi = Kaum berilmu, cerdik pandai, alim ulama. Prabu = Pemimpin, aparat, birokrat atau penyelenggara negara.

Menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, dan kemasyarakatan  sebagai media untuk mengoperasionalkan apa yang sudah direncanakan, akan berjalan efektif dan akan memberikan manfaat optimal apabila dilakukan secara gotong royong serta dengan penuh semangat kebersamaan (Kolaboratif). Orang Sunda berujar : 

“Kudu silih asah, silih asih, jeung silih asuh”, “Kacai jadi saleuwi, kadarat jadi salogak”, “Sareundeuk saigel, sabobot sapihanean”, “Sabilulungan”, “Rempug jungkung sauyunan”, “Kaluhur jujur ngabantu, kagigir ngais tarapti, ka handap cekas ngabina”.

Melalui spirit ini diharapkan akan tumbuh pemahaman bahwa modal sosial masyarakat merupakan modal utama dalam pembangunan desa, sementara modal finansial yang bersumber dari bantuan pemerintah hanya merupakan modal stimulan.

“Ngahiji Ngurus Desa, Pacantel Keur Pangwangunan”

Bersmabung ke Artikel Kolaborasi PembangunanDesa Berbasis Budaya (Bag II)..................