Kolaborasi Pembangunan Desa Berbasis Budaya (Bag I)
Kolaborasi dapat dipahami sebagai
proses bekerja sama untuk menelurkan gagasan atau ide dan menyelesaikan
masalah secara bersama-sama menuju visi bersama. Di sebuah
organisasi yang saling tergantung, kolaborasi menjadi kunci pemikiran kreatif. Kolaborasi itu penting untuk mencapai hasil
terbaik saat menyelesaikan berbagai permasalahan.
Begitupun dalam pengelolaan Pemerintahan dan Pembangunan Desa, pemerintah
desa tidak bisa mengandalkan pada kapasistas internalnya saja dalam penerapan
sebuah kebijakan dan pelakasanaan program. Keterbatasan kemampuan, sumber daya
maupun jaringan yang menjadi faktor pendukung terlaksananya suatu program atau
kebijakan, mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama atau kolaborasi
dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah, masyarakat maupun pihak
swasta dan komunitas masyatakat lainnya sehingga dapat terjalin kerjasama
kolaboratif dalam mencapai tujuan program atau kebijakan pembangun desa.
Jauh sebelum masa sekarang, konsep kolaborasi sudah dilaksanakan oleh
para leluhur dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks budaya sunda pembagian
peran, kerjasama dan partisipasi terorganisir dalam konsep atau falsafah Tritangtu.
Tritangtu dalam Budaya Sunda
dicetuskan oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan
merupakan ciri utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok
dilakukan bukan untuk membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati
diri setiap individu. Resi, Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi tiga lembaga,
berperan dalam mensejahterakan masyarakat; Ngaping, Ngajaring, Ngaheuyeuk. Ngasah,
Ngaasuh, dan Ngaasih.
Setiap komponen desa dapat memerankan tugas yang diembannya dan berkolaborasi secara optimal. Dalam konteks ini juga perlu dikembangkan nilai “Ulah pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian” yaitu setiap komponen desa tidak berebut kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan, melainkan berebut perjuangan dalam medan pengabdian. Pembagian perannya berdasarkan prinsip “Tri Tangtu Di Bumi”, yaitu : Rama = Masyarakat umum. Resi = Kaum berilmu, cerdik pandai, alim ulama. Prabu = Pemimpin, aparat, birokrat atau penyelenggara negara.
Menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, dan kemasyarakatan sebagai media untuk mengoperasionalkan apa yang sudah direncanakan, akan berjalan efektif dan akan memberikan manfaat optimal apabila dilakukan secara gotong royong serta dengan penuh semangat kebersamaan (Kolaboratif). Orang Sunda berujar :
“Kudu silih asah, silih asih,
jeung silih asuh”, “Kacai jadi saleuwi, kadarat jadi salogak”, “Sareundeuk
saigel, sabobot sapihanean”, “Sabilulungan”, “Rempug jungkung sauyunan”,
“Kaluhur jujur ngabantu, kagigir ngais tarapti, ka handap cekas ngabina”.
Melalui spirit ini diharapkan akan tumbuh pemahaman bahwa modal sosial
masyarakat merupakan modal utama dalam pembangunan desa, sementara modal
finansial yang bersumber dari bantuan pemerintah hanya merupakan modal
stimulan.
“Ngahiji Ngurus Desa, Pacantel Keur
Pangwangunan”
Bersmabung ke Artikel Kolaborasi PembangunanDesa Berbasis Budaya (Bag II)..................