Desa Cerdas, Tata Kelola Kuat: Menyelami Peran Kelembagaan dalam Membangun Masa Depan
Tata kelola desa adalah sebuah konsep yang berhubungan erat
dengan bagaimana desa diatur, dikelola, dan diawasi untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam pengertian yang lebih luas, tata kelola ini merujuk pada cara
organisasi — dalam hal ini, Desa — diatur dan dikelola. Tidak hanya melibatkan
struktur pemerintahan desa, tetapi juga proses, kebijakan, dan praktik yang
digunakan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan tugas, serta kewajiban dan
hak warga desa.
Namun, di balik itu semua, ada satu aspek yang sangat
penting dan tidak boleh diabaikan, yaitu kelembagaan. Kelembagaan adalah elemen
yang mendasari tata kelola desa, karena ia mencakup norma, aturan, serta
struktur yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat. Dalam konteks desa,
kelembagaan mengacu pada lembaga-lembaga spesifik yang ada dan berfungsi di
dalam desa, seperti Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga
Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat. Lalu, apakah hanya lembaga-lembaga
tersebut yang cukup untuk menciptakan tata kelola yang baik?
Kelembagaan dalam perspektif sosiologis merujuk pada sistem
norma dan aturan yang membentuk perilaku individu dalam kehidupan sosial,
seperti halnya keluarga, agama, atau pendidikan. Dalam hal ini, lembaga sosial
tersebut memiliki peran penting dalam menciptakan tatanan sosial yang harmonis.
Namun, ketika berbicara tentang kelembagaan desa, kita tidak hanya berbicara
tentang lembaga formal yang ada di desa, tetapi juga tentang bagaimana hubungan
antar lembaga ini terbentuk dan dijalankan.
Menurut UU Desa, kelembagaan desa terdiri dari empat lembaga
utama: Pemerintah Desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat.
Meski begitu, apakah keberadaan empat lembaga ini sudah cukup untuk memastikan
tata kelola desa yang ideal? Jawabannya, tentu saja tidak. Untuk mencapainya,
peran serta masyarakat desa juga sangat penting.
Forum tertinggi di desa, yaitu Musyawarah Desa (Musdes),
menjadi ruang yang sangat penting untuk memastikan partisipasi aktif dari
berbagai unsur di desa. Musdes bukan hanya sekadar forum untuk pemerintah desa
dan BPD, tetapi juga untuk unsur masyarakat yang lebih luas. Masyarakat desa,
yang terdiri dari berbagai tokoh dan kelompok, memiliki hak untuk menyuarakan
pendapat dan aspirasi mereka dalam forum ini. Ini adalah inti dari demokrasi
desa yang seharusnya dijalankan.
Penting untuk dipahami bahwa Musdes bukan hanya untuk
menyuarakan pendapat warga secara umum, tetapi lebih dari itu, Musdes harus
menjadi tempat bagi pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam merancang
keputusan-keputusan strategis yang memengaruhi kehidupan desa. Pemangku
kepentingan ini terdiri dari berbagai kelompok, mulai dari tokoh agama,
pendidikan, hingga kelompok profesi seperti petani, nelayan, hingga kelompok
perempuan. Semua pihak ini harus terlibat dalam Musdes untuk memastikan keputusan
yang diambil mewakili kepentingan seluruh warga desa.
Keberagaman ini menjadikan Musdes sebagai sebuah tempat yang
tidak hanya mengakomodasi kepentingan individu atau kelompok tertentu, tetapi
lebih sebagai upaya bersama untuk membangun desa yang lebih baik. Musyawarah
antar kelompok masyarakat, seperti kelompok tani, perajin, perempuan, dan
penyandang disabilitas, akan menjadi dasar untuk menciptakan kebijakan yang
lebih inklusif dan merata.
Dalam pelaksanaannya, partisipasi yang luas ini mencerminkan
kualitas tata kelola desa. Tata kelola yang baik tidak hanya mengandalkan
pemerintah desa sebagai pengelola, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif
dari masyarakat. Dalam hal ini, setiap pemangku kepentingan, baik individu
maupun kelompok, memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan
keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan desa.
Sementara itu, hubungan antara berbagai unsur kelembagaan
desa perlu diatur dengan jelas dalam regulasi, termasuk dalam Permendesa PDTT
No. 16 Tahun 2019. Di sini, aturan yang jelas mengatur peran dan kewajiban
setiap unsur, baik itu Pemerintah Desa, BPD, maupun masyarakat, dalam
merencanakan dan mengelola pembangunan desa. Proses ini tentunya memerlukan
peran aktif Pendamping Lokal Desa (PLD), yang diharapkan mampu mengenali
dinamika hubungan antar unsur kelembagaan dan masyarakat di lapangan. Dengan demikian,
PLD dapat membantu memfasilitasi terbentuknya tata kelola desa yang lebih
efektif.
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa
hubungan antar kelembagaan desa ini seringkali tidak berjalan mulus. Ada
kalanya hubungan antar lembaga di desa bersifat konfliktual, sementara di sisi
lain bisa juga bersifat kolaboratif. Di sinilah kemampuan untuk memahami
karakteristik hubungan antar lembaga ini menjadi sangat penting. Untuk itu, PLD
harus memiliki keterampilan untuk melihat hubungan faktual di lapangan, yang
bisa saja berbeda dari yang tertera dalam regulasi formal.
Intinya, tata kelola desa yang baik bukanlah sesuatu yang
bisa tercapai hanya dengan mengandalkan satu atau dua lembaga saja. Semua unsur
kelembagaan yang ada, baik pemerintah, BPD, lembaga masyarakat, maupun tokoh
dan kelompok masyarakat desa, harus saling bekerja sama dan berkolaborasi.
Keberhasilan pembangunan desa terletak pada bagaimana semua pihak ini mampu
saling mendukung dan bekerja menuju tujuan yang sama, yaitu meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa.