Mengukur Kemandirian Desa
Dari era kolonial sampai sekarang posisi desa tidak lebih dari sekedar
obyek pembangunan. Berbagai regulasi telah memosisikan desa tidak lebih dari
sekedar pelaksana kebijakan dan program pembangunan pemerintah di atasnya.
Hal ini menyebabkan posisi desa menjadi terpojok. Tidak berdaya membangun
dirinya sendiri. Lebih banyak membangun dengan modal pihak luar daripada
kekuatan sendiri.
Ketergantungan
Secara historis ketergantungan desa terhadap pemerintahan di atasnya
bermula pada era kolonial. Hal ini ditandai dengan keluarnya
Regeeringsreglement, sebuah aturan mengenai desa pada 1854. Aturan tersebut
mengatakan bahwa pemerintah desa punya hak mengurus rumah tangganya sendiri,
mengacu pada aturan gubernur jenderal.
Namun, aturan tersebut dianulir oleh aturan Desa Ordonannantie pada 1941.
Aturan ini menyatakan bahwa desa mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya
sendiri tanpa harus mengacu pada aturan di atasnya.
Akan tetapi, sebelum aturan ini berjalan menyeluruh, penjajahan Belanda
digantikan oleh penjajahan Jepang. Pada penjajahan Jepang, semua aturan desa
tersebut tidak berlaku. Desa tidak lebih dari sekedar kepanjangan tangan dalam
upaya memenangi peperangan.
Semangat untuk mengurangi ketergantungan desa muncul kembali di era
kemerdekaan, melalui UU No.1/1945 dan UU No.22/1948. Kedua UU ini spesifik
menyatakan bahwa desa merupakan bentuk otonomi paling bawah dan berwenang
mengatur dirinya sendiri tanpa harus mengacu pada aturan di atasnya. Ini merupakan
sinyalemen positif bagi desa.
Namun, belum juga UU tersebut dilaksanakan secara menyeluruh dan merata,
lahir Dekrit Presiden 1959. Menindaklanjuti dekrit tersebut, lahir Penpres
No.6/1959 yang secara substantif mengatur desa melalui pemerintah daerah dengan
cara yang sentralistik. Peran Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang dominan
menjadi salah satu ciri menonjol. Tentu saja, hal ini menyebabkan desa kembali
tak lebih sekedar kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya.
Pada prosesnya, semangat sentralistik tersebut dianulir oleh UU No.19/1965
tentang Desa Pradja. UU tersebut mengatakan bahwa desa praja adalah suatu
kesatuan masyarakat hukum yang dibatasi oleh teritori berhak mengurus rumah
tangganya sendiri, memilih penguasanya dan memiliki harta bendanya sendiri.
Secara semangat UU ini mencoba memberikan kepada desa keleluasaan untuk
mengurus dirinya tanpa harus terlalu terikat dengan pemerintahan di atasnya.
Melalui UU ini posisi desa kembali menguat.
Namun, setelah itu serangkaian regulasi tentang desa cenderung menempatkan
desa dalam posisi yang lemah. Pada periode 1969-1979, lahir UU No.6/1969 yang
membekukan UU sebelumnya, yang disusul dengan UU No.5/1974 dan UU No.5/1979.
Dalam UU tersebut posisi pemerintah desa adalah bagian dari pemerintah daerah
yang dikendalikan secara sentralistik oleh presiden dan pejabat setingkat
menteri secara langsung. Melalui UU ini posisi desa tidak lebih dari
kepanjangan tangan pemerintah di atasnya.
Lalu pada periode 1999-2014 lahir beberapa UU yang berkaitan langsung
dengan desa. UU No.22/1999 mendefinisikan desa sebagai “sebuah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan
berada di daerah kabupaten.” UU ini memang sama sekali tak berbau sentralisme
yang kuat, tetapi desa sifatnya tetap hanya memperoleh kewenangan sisa dari
pemerintah kabupaten dan kecamatan. Desa dalam bingkai UU ini pun tak lebih
dari kepanjangan tangan pemerintah di atasnya.
Begitu juga dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.6/2014
tentang Desa. Kedua UU ini punya napas yang sama, yaitu antisentralisme dengan
memosisikan desa sebagai kesatuan hukum yang punya kewenangan untuk mengurus
kepentingan masyarakat dan rumah tangganya sendiri.
Namun, tetap saja, dalam dua UU ini desa secara mendasar hanya mendapatkan
kewenangan sisa dari pemerintah di atasnya. Posisi desa tetap menjadi
kepanjangan tangan dari pemerintah di atasnya.
Pemandu
Akibat dari regulasi yang subordinatif dan konsekuensi logis atas berbagai
regulasi tersebut, dapat terlihat jelas pada beberapa dimensi yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat desa.
Pertama, dimensi kelembagaan pemerintah desa. Pada dimensi ini akan
diketahui bagaimana tingkat kemandirian kelembagaan pemerintah desa terhadap
pemerintah di atasnya. Semakin besar ketergantungan kelembagaan pemerintah desa
dalam melaksanakan kewenangannya, ini adalah bentuk ketergantungan yang
negatif. Namun, semakin kecil ketergantungan kelembagaan pemerintah desa terhadap
pemerintah di atasny, ini adalah bentuk ketergantungan yang positif.
Kedua, dimensi kelembagaan ekonomi masyarakat desa. Pada dimensi ini akan
diketahui bagaimana tingkat kemampuan kelembagaan ekonomi masyarakat dalam
upaya memajukan kondisi perekonomian. Semakin berjalan fungsi-fungsi
kelembagaan ekonomi dalam menjawab semua kebutuhan material masyarakat,
kelembagaan ekonomi itu semakin mandiri. Namun, semakin tidak berjalan fungsi
kelembagaan ekonomi masyarakat itu, berarti semakin tidak mandiri kelembagaan
ekonomi tersebut. Tentu saja ini adalah hal negatif.
Ketiga, kelembagaan sosial masyarakat. Pada dimensi ini akan tergambar
dengan jelas bagaimana fungsi-fungsi kelembagaan sosial ini berjalan. Berbeda
dengan dua dimensi lainnya yang cenderung material, dimensi ketiga ini
cenderung abstrak. Bagaimana nilai-nilai kearifan local, nilai-nilai universal
dianut dan dijalankan oleh masyarakat dalam kelembagaan social akan sangat
menentukan bagaimana keberhasilan kelembagaan social ini berperan di masyarakat.
Melihat karakteristik bangsa Indonesia yang begitu luas dan plural,
gambaran mengenai kondisi desa dalam tiga dimensi tersebut akan sangat beragam.
Dalam bayangan penulis, akan banyak muncul tipologi desa dengan kondisi yang
berbeda di setiap dimensi tersebut.
Gambaran kondisi desa yang sebenarnya berdasarkan tiga dimensi tersebut
secara langsung akan menjadi pemandu bagi siapa saja untuk melaksanakan semua
program di desa. Semakin patuh program yang masuk dengan kondisi tiga dimensi
tersebut, semakin tepat pula program yang masuk ke desa. Sebaliknya, semakin
tidak patuh guliran program yang masuk ke desa dengan kondisi tiga dimensi
tersebut, semakin tidak tepat pula program tersebut.
Dalam konteks demikian, desa tidak lagi dikendalikan oleh berbagai guliran
program dari luar, tetapi program dari luar tersebut justru dikendalikan oleh
desa melalui gambaran dari ketiga dimensi tersebut.
Dengan demikian, desa akan lebih mandiri dalam mengurus dirinya sendiri.
Desa akan punya daya tawar dalam mengurus, membangun dirinya sendiri terhadap
pihak lain. Seharusnya pemikiran ini menjadi salah satu bahan diskusi menarik
di antara semua penggiat desa selain ingar-bingar mengenai pembagian uang yang
besar ke desa.
Harian KOMPAS cetak, Jumat, 8 Mei 2015
Sumber : http://inisiatif.org/