BUAH PIKIR KANG DEDI MULYADI BAGIAN 1; BIROKRASI RIBET YANG HARUSNYA SIMPLE
dangiangkisunda.com –
Salam pembaca setia dangiangkisunda.com. Dalam beberapa tulisan kedepan, tim
redaksi dangiangkisunda.com secara khusus akan menyajikan beberapa tulisan yang
mengemas buah-buah pemikiran Kang Dedi Mulyadi yang dalam beberapa sajian yang
di nukil dari Buku-buku kang Dedi Mulyadi yang sudah dicetak dan beredar.
(selanjutnya disebut kang Dedi).
Pada Bagian 1 ini, Kang
Dedi secara khusu pernah menyoroti tentang Birokrasi. Nah secara sederhana,
Arti Birokrasi dari berbagai literatur menyebutkan birokrasi berasal dari kata
bureaucracy (bureau + cracy) yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando
bentuk piramida dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah dari pada
tingkat atas. Biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun
militer. Ada juga yang menyebutkan berasal dari kata Yunanu, biro: meja dan
kratein: pemerintahan, sehingga diartikan pelayanan yang diberikan pemerintah
dari meje ke meja.
Kita mungkin pernah
mendengar jika saat ini kerap didengung-dengungkan istilah reformasi birokrasi
di kalangan pemerintahan. Pencetusnya adalah karena sistem birokrasi dan
birokrat (manusia) dihampir semua lembaga pemerintahan dipandang mengalami
degradasi. Mulai dari moral, perilaku, kualitas, kempetensi, dan kinerja.
Faktor itulah yang menjadi penyebab tumbuh suburnya kolusi yang menjadi cikal
bakal hadirnya korupsi, dan Nepotisme di hampir semua institusi di negeri ini.
Berbagai Peraturan dibuat
untuk mengerem perilaku buruk para birokrat dalam menjalankan roda
birokrasinya. Bahkan Pemerintahpun harus membentuk lembaga Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK) pada 2003 yang mengacu kepada UU RI No.30/2002. Hal itu dimaksudkan
untuk memberangus praktik kolusi khususnya korupsi yang tumbuh subur
pascareformasi.
Walaupun menampakkan hasil
yang luar biasa dengan berbagai pengungkapan kasus korupsi. Harus diakui pula
bahwa peraturan dalam dunia birokrasi di negara ini masih dipandang lieur
ngalieurkeun (Pusinh jeung musingkeun/ memusingkan). Semestinya peraturan
dibuat untuk menciptakan keteraturan pada sebuah sistem yang melahirkan produk
yang sehat dan menyehatkan, disebut efisien dan kompetitif. Saat ini, justru
sering timbul adanya pejabat eksekutif maupun legislatif di daerah yang
terjerat pasal korupsi perjalanan dinas.
Paling menjadi sorotan
adalah berbagai kasus yang menjerat para legislator di insstitusi DPRD. Mereka
banyak tersandung masalah hukum karena melakukan perjalanan ganda pada waktu
yang bersamaan. Seperti manipulasi hotel, manipulasi biaya travel, biaya makan,
minum, tiket pesawat atau menggunakan surat perjalanan dinas boong. Para
anggots dewan itu dengan sengaja dan sadar melakukannya karena ingin mendapatkan
penghasilan tambahan untuk kantung pribadinya yang terkesan tidak pernah cukup.
Berdasarkan kalkulasi,
anggaran perjalanan dinas itu sangat besar bahkan nilainy bisa mencapai 30%
dari total anggaran DPRD. Contohnya, jika DPRD diberi alokasi anggaran Rp.20
Milyar setrahun, maka sekitar Rp6 Milyar dipergunakan untuk biayaperjalanan dinas
atau tugas para wakil rakyat yang terhormat. Sungguh uang yang luar biasa besar
bukan? Tak Heran, banyak anggota DPRD yang plesiran berbungkus studi banding,
mulai antar kota dalam provinsi, antarkota luar provinsi, bahkan perjalanan ke
luar negeri. Bahkan, setiap jenis kegiatan untuk menghasilkan produk legislatif
dibuat dalam ruang lingkup perjalanan dinas.
Bagi Kang Dedi, yang juga
tidak dimengerti secara rasional oleh logika dalam pola birokrasi di Indonesia,
setiap daerah juga harus mengeluarkan biaya jamuan tamu. Pasalnya setiap hari
mendapat kunjungan para anggota dengan yang studi banding atau kunjungan kerja.
Ujung-ujungnya hanya untuk sekedar mendapatkan stempel bukti perjalanan dinas
atas nama formalitas. Sungguh sebuah ironis yang dipaksakan demi kenikmatan
sesaat yang tidak hanya terjadi di daerah tapi juga ditingkat pusat.
Birokrasi kemudian menjadi
panjang dan berliku. Tugas legislator berputar mengelilingi seluruh Nusantara,
bahkan dunia, hanya untuk mendapatkan satu istilah “tambahan penghasilan” Watu
yang dibutuhkan untuk melahirkan sebuah kebijakan menjadi berputar-putar
seperti pesawat yang akan mendarat, sangat lama. Disisi lain masyarakat justru
menanti produk peraturan daerah yang bisa dengan cepat dihasilkan sebagai
produk huku,. Akibatnya ada ketidak singkronan antara negara/daerah yang ingin
berlari mengejar ketertinggalan, akan tetapi harus terkekang oleh lamanya
produk undang-undang yang dibuat.
Para anggota dewan pun
dibuat ikut-ikutan pusing dan bingung. Bukan karena harus berfikir menghasilkan
peraturan daerah apalagi, namun merencanakan ke daerah mana lagi mereka harus
berkunjung. Sebab samudera yang luas dilewati, gunung tinggi dilampaui,
berbagai provinsi, kabupaten/kota sudah terjamah mulai dari Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Kute, Jimbaran, Makasar, Bunaken, Jayapura,
Raja Ampat, Danau Toba, Singkarak, Senggigi, Batan nyebrang dikit Singapura dan
masih banyak lagi daerah lainnya, hotel-hotel berbintang disambangi demi target
penghasilan.
Walaupun pada praktiknya
perjalanan dinas seringkali alah tekor ketika dalam perjalanan dinas istri yang
ditinggalkan harus dibekali, uang di dompet harus terisi, di tempat tujuan
harus rekreasi tambah lagi dengan “biaya kenakalan“ yang lebih besar daru uang
saku yang diterima. Pusing lah pokoknya! Ujung-ujungnya harus cari tambahan
lagi untuk kecukupan perjalanan dinas.
Kegiatan perjalanan dinas
tidak hanya membuat “riweuh” para legislator, tapi juga penanggung jawab
keuangan. Padahal pengurusan birokrasi itu semua tidaklah mudah, apalagi harus
lintas daerah dan kewenangan. Terlebih jika iu lintas negara. Alhasil jangankan
berharap kahirnya produktivitas yang tinggi, ujungnya justru banyak pejabat dan
pelakuyang terjerat hukum karena lalai karena lupa, bahwa setahun ada 365 hari,
dikurangi libur. Tapi tidak sedikit orang yang lupa membuat laporan perjalanan
dinas setahun menjadi 400 hari.
Apa yang dilakukan oleh
para anggota dewan bisa jadi salah. Jujur saja mereka terpaksa melakukan itu
karena tidak ada piliha lain untuk mendapatkan uang tambahan. Tapi jika
ditelaah lagi justru yang musingkeun itu yang membuat peraturan.
Dalam point solusi dan
buah pikirnya mengenai contoh permasalahan ini. Kang Dedi mengungkapkan; Kalau
ingin anggota dewan produktif dan sejahtera, caranya gampang. Tambahan
penghasilan jangan dari perjalanan dinas, jangan rapat di luar kota, tapi buat
saja uang saku rapat, pasti anggota dewan senang rapat. Toh itu adalah tugas
wajib dan pekerjaan utama dari wakil rakyat. Akhirnya meerka betah di kantor dan
lebih efisien. Rapat-rapat cukup di ruang komisi, tidak usah cari hotel. Berapa
tuh uang yang bisa di hemat.
Kalau ingin lebih
produktif lagi, tambahan penghasilan diberikan kepada setiap produk. Satu
undang-undang perda diberi nilai berapa yang harus diterima. Pasti anggota
dewan produktif, karena semakin rajin di kantor, semakin besar pernghasilan
diterima. Ditambah lagi kalau terus di kantor, kan nggak perlu memikirkan yang
di rumah, kaena nggak ditinggalin. Juga godaan kenaklan semakin sedikit. Irit
deh duit. Gampangkan?
Kemudian tidak ada
manipulasi administrasi keuangan karena alat ukutnya jelas, yakni produk yang
dihasilkan. Yakin deh DPRD terbebas dari Korupsi karena perjalanan dinasnya
sudah tidak diperlukan lagi. Memang di Negara ini kerap memunculkan kebijakan
aneh, membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit, perjalanan dekat menjadi jauh,
waktu yang pendek menjadi bertele-tele dan dibuat ribet. Nggak tahu harus
menyalahkan siapa, yang jelas semua terbawa menjadi oon oleh peraturan yang
dibuat sendiri. Selain pemborosan juga memusingkan..!!! (red. dinukil dari Buku
Kang Dedi Republik Bodor)