Banjir Darah di Cibugel
Kesaksian orang-orang yang selamat dari teror paling mengerikan oleh gerombolan DI/TII.
|
TUGU itu menjulang seolah menantang langit. Tingginya lima meter. Ia berada persis di depan Kantor Desa Cibugel. Kendati tanpa keterangan apapun, warga Cibugel tahu tugu itu merupakan pengingat atas suatu peristiwa mengerikan yang pernah melanda desa mereka sekitar 60 tahun lalu.
“Waktu itu ratusan kolot urang (sesepuh kita) tewas
akibat kekejaman gerombolan,” ujar Agus (42), ketua Rukun Tetangga (RT) di Desa
Cibugel, menyebut Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin
Kartosuwirjo.
Cibugel merupakan desa yang terbilang cukup tua di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Menurut dokumen yang dibuat pemerintah desa,
Cibugel terdaftar sebagai nama desa sejak 1875 dan masuk dalam wilayah
Kecamatan Darmaraja, berbatasan langsung dengan Kecamatan Balubur Limbangan,
Kabupaten Garut.
Pada 7 Februari 1992,
Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet secara resmi menabalkan desa tersebut
sebagai kecamatan baru. Selain wilayahnya terlalu luas untuk sebuah desa,
pemekaran Cibugel bisa disebut sebagai bentuk rasa terimakasih pemerintah atas
kesetiaan mereka.
Sejak era Perang Kemerdekaan
(1945-1949), Cibugel dikenal sebagai basis terkuat pejuang pro-Republik di
kawasan Priangan Timur. Tentara Belanda dan gerilyawan DI/TII jarang bisa
bertahan lama di desa tersebut.
Ketika pemberontakan
DI/TII dimulai secara resmi pada 7 Agustus 1949, kesetiaan warga Cibugel tak
berubah. Tidak seperti desa lain di wilayah Garut atau Tasikmalaya, mereka
secara tegas menolak memberikan bantuan apapun terhadap DI/TII.
“Jangankan harta
berharga seperti emas dan uang, nasi pun pantang kami berikan kepada mereka,”
ujar Tarsiyah (77), salah seorang sesepuh Cibugel.
Sikap keras kepala itu menjadikan Cibugel
diklasifikasikan sebagai darul
harbi (kawasan musuh) oleh DI/TII. Mengacu pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia, harta dan nyawa para
penghuni darul harbi halal untuk diambil.
Sekali pun melalui cara kekerasan.
“Istilahnya ada ghanimah, salab, dan fa’i,” ujar Makmur (93), eks komandan
TII di wilayah Ciamis.
Istilah ghanimah mengacu
pada semua benda (hidup dan mati) yang berhasil dirampas dari musuh lewat suatu
pertempuran. Salab adalah semua benda
(mati) yang dipakai musuh saat pertempuran.
Sedangkan fa’i adalah semua benda (mati)
yang didapat dari musuh bukan lewat pertempuran (bisa lewat pajak dll).
Dengan doktrin seperti
itu, wajar jika selama 12 tahun Cibugel selalu menjadi sasaran DI/TII. Menurut
Pinardi dalam buku Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo (1964), antara 1949-1962 Cibugel
mengalami tidak kurang dari 50 kali penggarongan dan pembakaran. Bahkan pernah
dalam masa enam bulan desa itu diserang sampai 16 kali.
Awal pertikaian antara
warga Cibugel dan DI/TII terjadi pada akhir 1949.
Tugu peringatan Peristiwa 23 November 1959 di Cibugel, Sumedang (Aryono/Historia) |
SUATU senja, Cibugel tetiba diserbu ratusan gerilyawan
DI/TII bersenjata lengkap. Satu regu Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang
baru saja pulang hijrah dari Jawa Tengah, tak bisa berbuat banyak. Cibugel
luluh-lantak. Menurut Pinardi, sebanyak 1.400 rumah habis terbakar. Tak ada
sebuah bangunan pun yang berdiri utuh. Untuk kali pertama warga Cibugel mengalami
peristiwa pahit akibat keganasan DI/TII.
Dalam kejadian itu,
tujuh warga desa yang dituding sebagai “pengkhianat
agama” ditangkap karena bekerjasama dengan “pemerintah kafir”. Mereka
adalah Eme, Tarwah, Darja, Anen, Askum, Sahlawi dan Otjid. Di sebuah kandang
kambing, satu per satu disembelih atau dipukul ruyung (gada
kayu) hingga kepala pecah.
“Semua warga dipaksa
untuk melihat itu, tidak terkecuali anak-anak dan perempuan, sebagai pengingat
bagaimana nasib manusia-manusia yang mendukung pemerintah RI,” ujar Rasadi
(92), kini ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cibugel. Nada suaranya
terdengar gemetar.
Sejak peristiwa itu,
alih-alih menjadi takut, warga Cibugel
bertekad untuk melawan. Mereka berkoordinasi dengan TNI. Maka terbentuklah Organisasi Keamanan Desa
(OKD), satu unit beranggotakan 30 pemuda desa. Sebagai
komandan diangkatlah Suparma, salah satu tokoh pemuda Cibugel.
Anggota OKD mendapat latihan militer dari
tentara. Selain baris-berbaris, mereka diajarkan menggunakan senjata
api. Namun dalam kenyataannya, mereka bersenjatakan golok, bambu runcing, dan
klewang. Mereka hanya diberikan tiga pucuk senjata api: sebuah pistol dipegang
komandan dan dua senjata api usang (stengun dan arisaka) dipakai bergiliran.
Masing-masing lengkap dengan 50 butir peluru yang diberikan setiap bulan.
“Biasanya dua senjata itu dipegang dua anggota yang kebagian piket dan
patroli keliling desa,” ujar Martono (90), salah satu eks anggota OKD Cibugel.
Selain OKD, Cibugel diperkuat 1-2 regu pasukan
TNI yang datang secara bergilir. Satu regu terdiri dari 11 prajurit. Mereka
ditempatkan di sebuah pos pertahanan di wilayah Jayamekar (sekarang sudah
mejadi desa), sebuah dataran tinggi di sebelah barat desa. Untuk mengantisipasi
penyerbuan, warga membuat pagar bambu setinggi 2 meter yang mengelilingi
desa. Pintu gerbangnya selalu dijaga ketat.
Kendati demikian Cibugel kerap kebobolan juga. Gerombolan DI/TII sering menyambangi
desa mereka. Selain merampok, tak jarang mereka membunuh
warga.
Salah satu kejadian yang cukup dikenang warga
Cibugel terjadi awal November 1959. Gerombolan DI/TII datang dan
merampok rumah Sukadma, seorang petani tembakau. Mereka mendapatkan perlawanan
sengit yang mengakibatkan seorang anggota tewas akibat hantaman pisau pencacah
tembakau.
“Meskipun Pak Sukadma terbunuh juga, tidak urung
kejadian itu akan menimbulkan balas dendam,” ujar Darmi (75), salah seorang
saksi sejarah kejadian itu.
Apa yang ditakutkan Darmi kemudian terjadi.
SENIN, 23 November 1959. Menjelang tengah malam, gelap gulita membekap
Cibugel. Udara dingin terasa menggigit pori-pori. Tak seperti biasanya, suara
binatang malam seolah libur bernyanyi. Padahal beberapa jam sebelumnya baru
saja hujan rintik-rintik turun.
Di sebuah rumah, Rasadi yang sedang tak mendapat
giliran jaga tengah tergolek. Tapi dia tak bisa menutup mata sepenuhnya. Merasakan ada sesuatu
yang janggal. Sesekali dia terbangun lalu berdiam diri. Angin dingin bertiup
menembus bilik-bilik kamarnya ketika dari arah utara terdengar suara senjata
api menyalak.
“Tar! Tar!
Tretetetetetetet…..”
Tanpa pikir panjang, Rasadi meraih sarung dan
klewang. Secepat kilat dia keluar rumah dan berlari kencang ke arah pos tentara
yang terletak di Jayamekar. Jalan menanjak dan basah tak ayal membuat napasnya
terengah-engah. Beberapa puluh meter menjelang pos, sebuah tembakan menghantam
tanah yang dipijaknya. Rasadi terguling namun segera bangkit dan kembali berlari.
Begitu melewati sebuah kolam besar, dia
terhenyak sejenak. Dilihatnya dua pemuda kampung mengambang. Seperti Rasidi,
mereka sepertinya hendak menuju pos tentara. Tapi mujur tak dapat diraih malang
tak dapat ditolak, keduanya menjadi sasaran peluru hingga tewas seketika.
Rasidi akhirnya sampai ke pos tentara. Alangkah terkejutnya ketika dia
menemukan hanya dua prajurit Regu Keamanan (RK) dari Batalyon 323 Kodam
Siliwangi yang bertahan di pos. Yang satu tengah memegang M1 Garand sedangkan
satunya lagi menembakkan tekidanto
(mortir kecil bekas tentara Jepang).
“Rupanya sembilan prajurit lainnya tengah
berpatroli mengelilingi pagar pembatas desa, termasuk pimpinannya Letnan
Koesnadi,” kenang Rasadi.
Rasadi panik. Terlebih saat prajurit pemegang
mortir terjerembab terkena hantaman peluru persis di depannya. Bersama prajurit
yang masih hidup, dia bergerak mundur ke arah selatan desa. Di jalan dia bertemu Zuhdi
dan Uder, sesama anggota OKD Cibugel, yang tengah siaga di dekat sebuah pohon.
“Sedang apa kalian di sini? Ayo mundur!” teriak
Rasadi dalam bahasa Sunda.
“Kami sedang menunggu pasukan dari pos,” jawab
Zuhdi.
“Pasukan tidak tahu di mana, asrama kosong!”
ujar Rasadi.
Mereka bergerak ke arah selatan, melintasi pagar
pembatas desa, dan bertahan di sebuah hutan kecil hingga pagi datang.
Sementara itu pos tentara yang kosong dibakar gerilyawan DI/TII.
Cibugel lalu dikepung dari empat jurusan.
Rasadi (Aryono/Historia) |
MARTONO, anggota OKD, sedang menemani komandan Suparma dan Lurah Cibugel
Wikartapradja berpatroli di sekitar pagar desa. Begitu mendengar suara brengun dari arah pos tentara, mereka
bergerak ke arah desa. Di pertigaan jalan mereka berserobok dengan
ratusan gerilyawan DI/TII yang datang dari arah barat.
“Karena merasa kalah jumlah, kami berbalik ke wahangan Legok Cibiru,” kenang
Martono (90). Legok Cibiru adalah sebuah lembah sungai yang membelah Desa
Cibugel.
Diburu gerilyawan DI/TII, mereka
melakukan gerakan zigzag hingga
memasuki kebun pisang menjelang Legok Cibiru.
Pada saat
yang hampir bersamaan, Tarsiyah baru saja
menidurkan Acin, bayi lelakinya yang berusia delapan bulan. Belum sempat
memejamkan mata, terdengar suara rentetan senjata menggema di seantero kampung.
Karsita, suaminya, terbangun dari tidur dan
langsung meloncat. Setelah berpakaian seperlunya, dia meraih sepucuk bedil yang
kebetulan sedang dipinjamkan kepadanya.
“Kang! Bagaimana ini? Ke mana saya harus membawa
bayi ini?” teriak Tarsiyah setengah histeris.
“Cepat bawa anak itu ke wahangan (Legok Cibiru)!” jawab
Karsita. Sejurus kemudian, dia sudah menghilang dalam kegelapan.
Tanpa menunggu waktu, Tarsiyah menggendong Acin
menuju lembah sungai. Dalam kegelapan malam, beberapa kali kakinya terantuk
akar dan batu. Untung bayinya tetap anteng dalam dekapannya.
Di tengah jalan, dia bertemu Darmi, adiknya yang
baru duduk di kelas tiga sekolah dasar. “Saya
langsung menuntunnya ke arah wahangan,”
kenang Tarsiyah.
Begitu sampai di dasar wahangan Legok Cibiru, mereka berlindung
di balik sebuah batu besar.
Legok Cibiru sudah dipenuhi
ratusan warga Cibugel;
sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka berlindung di balik batu dan
pepohonan. Jerit dan tangis memenuhi seisi lembah begitu melihat api melalap rumah-rumah
yang dibakar para gerombolan.
“Seluruh lembah menjadi terang-benderang karena
cahaya dari kobaran api di sekelilingnya,” ujar Martono.
Martono (Aryono/Historia) |
SEKIRA pukul 1.30,
gerombolan DI/TII mengepung
lembah dari ketinggian. Mereka berteriak dan memaki dalam bahasa Sunda yang
kasar. Sejurus kemudian terdengar senjata-senjata dikokang secara bersamaan.
Lalu… Teretetetetetetet! Teretetetetetet! Teretetetetetet!
“Rasakeun
siahhhhhhh!”
“Sok arek
menta tulung ka saha ayeuna, heh!”
Gerombolan DI/TII terus
berteriak sambil menghujani lembah dengan ribuan peluru tajam dari berbagai
arah.
Korban pun berjatuhan. Di tengah desingan peluru, para perempuan dan
anak-anak terjerembab bermandikan darah. Puluhan bocah sekarat di atas
batu-batu sungai dengan usus memburai. Para ibu menjerit dan mengapai-gapai.
Sebagian tewas dalam kondisi menyusui bayi. Banjir darah melanda Cibugel.
“Saya tak kuasa melihat pemandangan itu. Sebelum
bisa bertindak, belasan mayat menimpa tubuh saya hingga saya terkubur dalam
tumpukan mayat,” ujar Martono dalam nada getir.
Peluru berhamburan hingga berjam-jam. Para gorombolan mengamuk. Mereka
menembak sambil berteriak-teriak histeris, memuaskan hawa nafsu membunuh.
“Tidak ada ampun buat kalian! Waktu kemarin ke
mana saja kalian? Sekarang minta-minta tolong kepada kami? Sudah terlambat!”
teriak seorang gorombolan dalam
bahasa Sunda.
Martono pelan-pelan kehilangan kesadaran, hanyut dalam
aliran air sungai yang berbau anyir darah.
Di balik
batu besar, Tarsiyah dan Darmi merasakan ketakutan yang luar
biasa. Sambil terus mendekap Acin, Tarsiyah berjongkok setengah tiarap. Sedang
Darmi menjatuhkan diri di aliran sungai. Mulut mereka tak henti memanjatkan doa.
Di kanan-kiri mereka, satu demi
satu orang berjatuhan. Suara
jerit ketakutan para bocah bersanding dengan teriakan sakralmaut
perempuan-perempuan yang terkena peluru.
Ijoh, yang berlindung di balik batu
sebelah kanan Tarsiyah, terjengkang dihantam peluru kaliber besar. Sebelum meregang nyawa, dia
merintih-rintih meminta seseorang membawakannya minuman.
“Dia bilang tolong, tolong, tolong… Tapi siapa
yang berani menolong dalam kondisi seperti itu?” kenang Tarsiyah.
Hari mulai mendekati
subuh. Suara tembakan masih terdengar satu dua. Beberapa gerilyawan
DI/TII mulai
melepas lelah. Sebagian menjarah barang-barang berharga dan makanan dari
puing-puing rumah warga.
Sebuah peluit panjang
berbunyi. Kode dari pemimpin gerombolan yang
memerintahkan anak buahnya segera menyingkir dari Cibugel.
“Hayu
balik! Balik! Balik!”
“Balik
euy! Sakeudeung deui beurang yeuh!” demikian teriakan para
gerombolan mengajak kawan-kawannya untuk
pulang ke markas.
Tarsiyah (Aryono/Hsitoria) |
KENDATI gerombolan
DI/TII sudah
meninggalkan Cibugel, warga yang masih hidup belum berani keluar dari
persembunyian. Baru sekitar jam 6.30, beberapa lelaki memberanikan diri untuk
keluar.
Darmi dan Tarsiyah yang
masih terdiam dalam kubangan darah di wahangan Legok
Cibiru sempat mendengar teriakan seorang lelaki: “Ibu-Ibu! Bapak-Bapak! Silakan
keluar! Situasi sudah aman, ayo jangan takut. Mereka sudah benar-benar
pergi.”
Tarsiyah bangkit.
Setengah histeris, dia memandang sekitarnya. Di balik bebatuan sungai
dilihatnya ratusan mayat bergelimpangan. Air sungai sudah berubah warna merah.
Bau anyir bersanding dengan bau kayu terbakar dan sisa-sisa kepulan mesiu yang
menyengat hidung.
Tak kuasa menahan
kegetiran, Tarsiyah hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil mendekap sang bayi.
Terbayang olehnya orang-orang yang bergelimpangan itu menyapanya belasan jam
yang lalu. Maut memang tak mengenal waktu. Ia bisa datang kapan saja dan di mana
saja.
Sekitar jam 9, TNI mulai berdatangan dari Sumedang.
Diiringi Lurah Wikartapradja, Suparma, Karsita, Rasadi, dan beberapa anggota
OKD lainnya yang berhasil lolos dari buruan gerombolan DI/TII. Mereka kemudian mengangkut
jenazah-jenazah dari wahangan dan
mengobati orang-orang yang terluka di balai desa.
Martono satu dari beberapa anggota OKD yang berhasil diselamatkan.
Menurut Lurah Wikartapradja kepada
Pinardi, saking banyaknya korban meninggal, mereka mendatangkan tenaga dari
desa lain, yakni Desa Antara, untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut
keesokan harinya. Mereka juga terpaksa menggunakan papan dari bangku-bangku
tempat duduk di pendopo kelurahan untuk keperluan
penguburan.
Darmi masih ingat dia
sempat berkeliling
kampung untuk melihat situasi. Dia baru sadar bahwa pembantaian tak hanya
terjadi di wahangan Legok
Cibiru. Mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah, halaman rumah, dan bewak (lubang perlindungan di
bawah kolong rumah). Osih, salah seorang kawan sepermainannya, ikut terbantai.
“Saya masih ingat dia
anak yang manis dan baik. Wajar jika kemudian ibunya menjadi gila karena
kehilangannya,” ujar Darmi.
Suratkabar Pikiran Rakyat edisi 26 November
1959 melansir, akibat penyerbuan DI/TII itu, sekitar 120 warga Cibugel tewas
dan 60 lainnya menderita luka-luka.
“Bagian terbesar yang tewas adalah kaum
wanita, anak-anak dan para balita yang sengaja ditembak mati, bukan terjebak
peluru dalam tembak menembak.”
Lurah Wikartapradja
menyebut 122 orang tewas dan 64 orang luka-luka. Sebanyak
418 rumah dibakar gerombolan.
Sementara warga Cibugel sendiri hari ini meyakini
warga yang tewas berjumlah 123 orang. Itu belum termasuk yang meninggal dalam
perawatan di Sumedang, Bandung, dan Garut. Rasadi dan Martono malah menyebut
jumlahnya melebihi angka 200.
Ratusan jenazah itu
kemudian dimakamkan secara massal di depan Balai Desa Cibugel, tepatnya di
kawasan yang sekarang bernama Juru Tilu.
“Saat dimakamkan, saya
masih ingat kebanyakan disatukan dalam satu lubang. Yang dimakamkan
sendiri-sendiri hanya orang-orang penting seperti sesepuh desa dan perangkat
desa,” ujar Rasadi.
Untuk
mengenang peristiwa itu didirikanlah Tugu Suhada di depan Balai Desa.
Darmi (Aryono/Historia) |
USAI Peristiwa 23 November
1959, seluruh warga Cibugel (kecuali para anggota OKD
dan kaum laki-laki yang masih kuat) mengungsi ke Sumedang selama kurang lebih
setahun. Mereka baru kembali ketika pemerintah setempat menyatakan wilayah
Cibugel sudah aman, menyusul mulai menyerahnya sebagian gerilyawan DI/TII pada
akhir 1960.
“Sejak itu saya baru
merasakan hidup aman dan tak terancam hingga kini,” ujar Tarsiyah ketika
saya mengunjungi rumahnya di kawasan Juru Tilu.
Gerakan DI/TII sendiri
berakhir secara resmi pada 1962 setelah 13 tahun berjuang mendirikan sebuah negara berasaskan hukum
Islam dengan
korban nyawa yang tidak sedikit.
Pinardi menyebut Peristiwa Cibugel sebagai yang paling menyedihkan
dalam sejarah teror gerombolan Kartosuwirjo dan salah satu peristiwa terhebat
sebagai akibat Perang Semesta (Perintah
Perang Tanpa Kembali) yang dimaklumatkan Kartosuwirjo pada 11 Juni
1961. Dengan maklumat Perang Semesta, para pengikut DI/TII diperbolehkan
membunuh semua orang, tak peduli perempuan maupun anak-anak, yang tak mau
membantu perjuangan Kartosuwirjo.
Bagi Tarsiyah, Peristiwa
23 November 1959 adalah mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Dia
bukan saja kehilangan orang-orang yang begitu baik kepadanya. Jiwanya
juga terus terpaku pada peristiwa mengerikan di Legok Cibiru.
“Awal-awal saya selalu
menangis terus jika ingat kejadian itu. Tapi kalau sekarang, sudah tidak
begitu, walaupun karasana
teh tetap we ketir (terasa masih begitu menggetirkan),” ujar Tarsiyah.
Acin, bayi kecil yang
dulu dipangkunya saat kejadian, sekarang sudah menjadi seorang kakek dan
tinggal di Pasar Minggu, Jakarta. Beberapa kali, dia mengajak Tarsiyah pindah ke Jakarta dan tinggal bersamanya,
namun selalu ditolak. Alasannya, Tarsiyah ingin mati di tumpah
darahnya.
Masjid Assyuhada, bekas lahan pemakaman massal korban keganasan DI/TII (Aryono/Historia) |
Darmi merasakan hal yang sama seperti kakak pertamanya. Dia masih ingat detail Peristiwa Cibugel 23 November
1959, termasuk kondisi mayat orang-orang yang dibantai.
“Ada yang kepalanya hancur,
otaknya keluar. Ada yang punggungnya berlubang besar dan isi perutnya terburai.
Ihhh, pokoknya saya kadang tak bisa tidur jika ingat semua itu,” ujar Darmi
sambil bergidik.
Rasadi dan Martono sedikitnya juga mengalami trauma.
Ketika berkisah tentang peristiwa itu, sesekali mereka tampak emosional,
menghela napas atau tetiba terdiam. Kepada saya, mereka mengatakan heran bagaimana bisa
orang-orang yang mengaku beragama Islam itu bisa berlaku sadis dan bengis.
“Mereka memperlakukan
kami tidak selaiknya seperti saudara seagama, main sembelih, main bunuh
seenaknya sendiri,” kata Rasadi. Ada nada marah dalam ungkapannya.
Kehidupan
terus berjalan. Desa Cibugel pun mengalami perubahan. Makam korban Peristiwa Cibugel 23 November 1959 sudah tak ada lagi. Sebagian dipindahkan keluarga masing-masing,
sebagian lainnya sudah berganti bangunan. Sebagai penanda atas
pengorbanan warga Cibugel, di lokasi kompleks pemakaman itu didirikan sebuah masjid bernama Assyuhada (artinya: para martir). Sementara
korban Peristiwa Cibugel dikenang sebagai Pahlawan Tanpa
Pusara.
Penulis : Hendi
Johari
Riset arsip: Aryono
Riset
foto : Fernando Randy
Disalin
Oleh Asep Jazuli, dari sumber
historia.id