Notifikasi
General

Jalan Panjang Pembangunan SDM Indonesia

 


Oleh: Prof. Dr. H. R. Agus Sartono, MBA.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama/Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM 

BRAFOPMK - Proyeksi kualitas SDM dapat dilihat pada tingkat pendidikan angkatan kerja kita. Data BPS per Februari 2020 menggambarkan bahwa Angkatan Kerja pada rentang 35-60 tahun didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD dimana angka tersebut sebagian besar ada pada rentang usia 45-60 tahun.

Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan never ending process yang hasilnya baru dapat kita petik pada jangka waktu yang panjang. Bangsa yang maju adalah bangsa yang melakukan investasi besarbesaran dibidang pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM warga negaranya. Dalam bidang pendidikan, pemerintah senantiasa melaksanakan amanat UUD Negara 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran pendidikan setidaknya 20% dalam APBN.

Pembangunan SDM melalui jalur pendidikan merupakan proses panjang dimana dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan dalam perjalanannya. 

Proyeksi kualitas SDM dapat dilihat pada tingkat pendidikan angkatan kerja kita. Data BPS per Februari 2020 menggambarkan bahwa Angkatan Kerja pada rentang 35-60 tahun didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD dimana angka tersebut sebagian besar ada pada rentang usia 45-60 tahun. Mengapa demikian? Ketika kita flash back, program SD Inpres dimulai pada tahun 1974/1975 sebagai perhatian pemerintah atas banyaknya anak usia sekolah di pedesaan yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan.

Untuk mendukung program SD Inpres tersebut, pemerintah juga mencangkan Program Keluarga Berencana pada tahun 1975 untuk menekan angka kelahiran karena penduduk yang makin padat kala itu.  Sebagai akibat dari kedua program tersebut, anak-anak usia sekolah yang lahir di awal 1970-an dapat mengenyam pendidikan setidaknya hingga bangku SD. Hal ini dapat dimaklumi karena pada era tersebut, sarpras pendidikan dan kesehatan masih minim. Kondisi ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan waktu panjang dengan program yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas SDM.

Selama setengah abad terakhir, profil pekerja kita masih belum mengalami perbaikan. Perubahan signifikan baru terlihat pada rentang usia 25-30 tahun, yaitu anak-anak yang lahir di tahun 1990an atau yang biasa disebut generasi Z, dimana sebagian besar mereka saat ini menjadi pekerja yang berpendidikan SMA. Proporsi pekerja yang merupakan lulusan perguruan tinggi juga meningkat di rentang 25-30 tahun. Pekerja pada rentang usia 25-30 tahun ini lahir ditahun 1990-an dan merupakan generasi pertama dari keluarga yang menikmati program SD Inpres dan KB sehingga secara kualitas dan akses pendidikan yang semakin baik.

Dari tahun ke tahun, pemerintah terus mengeluarkan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM. Mulai dari Wajib Belajar 9 Tahun hingga Wajib Belajar 12 Tahun. Dalam rangka mendukung program Wajib Belajar tersebut, sejak 2005 pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dimana program tersebut dinikmati oleh anak-anak yang saat ini berada pada rentang usia 20-35 tahun. Oleh sebab itu, nampak sekali lonjakan angkatan kerja yang berpendidikan SMP dan SMP pada rentang usia tersebut.

Bagaimana kondisi SDM saat puncak bonus demografi tahun 2035? Lima belas tahun mendatang, akan terjadi pergeseran dimana pekerja usia dibawah 50 tahun akan didominasi mereka yang berpendidikan SMA dan Pendidikan Tinggi meskipun dominasi pekerja dengan pendidikan SD di rentang usia 50-60 tahun masih besar. Bahkan di saat merayakan Indonesia Emas 2045, profil pekerja dengan pendidikan SMA dan Pendidikan Tinggi akan semakin mendominasi angkatan kerja.

Tetapi ada satu aspek yang perlu diperhatikan bahwa pergeseran profil pendidikan juga akan berdampak pada sektor pertanian. Saat ini, 90% pekerja yang berpendidikan SD bekerja disektor pertanian. Pada puncak bonus demografi 15-20 tahun mendatang, komposisi pekerja dengan pendidikan SD akan semakin kecil. Persoalan akan muncul karena bisa jadi tidak ada lagi yang mau menggeluti sektor pertanian. Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah dengan menyiapkan transformasi pertanian menuju mekanisasi pertanian. Inovasi disektor pertanian dan pengolahan hasil pertanian menjadi keharusan. Jika hal ini tidak dilakukan, swasembada pangan kita dapat terganggu.

Bagaimana dengan sektor Industri? Hingga 2035, nampaknya industri padat modal masih sangat diharapkan agar mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Alternatif lain adalah dengan menciptakan entrepreneur baru melalui pendidikan vokasi/politeknik. Hal ini penting agar tercipta pengusaha menengah baru dalam jumlah yang masif.

Jika ini tidak dilakukan secara sistematis, maka ancaman pengangguran menjadi semakin besar. Penciptaan Kawasan Ekonomi Khusus ataupun Kawasan Ekonomi Baru sangat mendesak untuk dilakukan. Setidaknya, tenaga kerja dalam jumlah yang besar dapat terserap selama masa konstruksi.

Pilihan agar tidak semata-mata memberikan karpet merah kepada investasi padat modal perlu dipertimbangkan. Mengapa demikian? Karena by nature, investasi padat modal sangat kecil menyerap tenaga kerja sementara kita dihadapkan pada tantangan menciptakan lapangan kerja mengingat besarnya jumlah penduduk di negara ini.

Pengembangan usaha mikro dan kecil harus mendapat prioritas utama. Setidaknya setiap Usaha Mikro dan Kecil (UMK) akan mampu menyerap 3-5 tenaga kerja dan menggerakan ekonomi. Model pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi di desa dapat menjadi alternatif lain untuk menjawab persoalan tersebut. Selain itu, pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi di desa melalui BUMDes juga akan menjawab ancaman urbanisasi supaya para pemuda usia produktif tidak berbondongbondong mencari pekerjaan di kota besar.

Kembali ke persoalan potret angkatan kerja Indonesia. Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah berapa lama lagi Indonesia dapat menikmati donus demografi dan apa yang harus dilakukan? Jika melihat kohort angkatan kerja yang telah diuraikan pada tabel di atas, kita harus optimis bahwa 25 tahun mendatang saat merayakan Indonesia Emas 2045, Indonesia akan memiliki profil angkatan kerja yang berkualitas. Nampak sekali tren peningkatan angkatan kerja berpendidikan tinggi dan Politeknik. Hal ini didukung lagi dengan program KIP Kuliah sebagai kelanjutan dari KIP di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Rancangan pembangunan 500 Politeknik perlu menjadi prioritas nasional. Pilihan memperluas akses pendidikan tinggi dengan membangun lebih banyak politeknik memberikan setidaknya lima alasan. Pertama, secara prinsip, kita ingin menciptakan entrepreneur baru yang berkualitas. Kedua, menyiapkan tenaga kerja siap pakai yang dapat meningkatkan produktivitas nasional. Ketiga, lulusan Politeknik memiliki daya tawar dengan gaji yang jauh lebih tinggi dibanding dengan lulusan pendidikan menengah.

Keempat, kelebihan pendapatan tadi akan menjadi tabungan nasional sehingga sangat bermanfaat untuk menopang aging population yang nantinya juga akan semakin besar. Terakhir, dengan mendorong dan memberikan akses kepada pendidikan Politeknik, secara tidak langsung kita “mencegah” pernikahan dini setidaknya 4-5 tahun. Hal ini penting juga untuk menurunkan potensi terjadinya ledakan penduduk.

Aspek pembangunan SDM yang tidak kalah penting adalah memastikan setiap generasi baru yang lahir harus berkualitas sehingga social cost bisa ditekan seminim mungkin. Kita patut bersyukur karena selama 10 tahun terakhir investasi infrastruktur sebagai prasyarat pembangunan sudah dilakukan. Hal ini benar-benar menjadi modal utama Indonesia melakukan lompatan. Kita semua harus optimis bahwa jika rancangan pembangunan SDM dilaksanakan secara berkesinambungan, maka Insya Allah pada 2045 Indonesia benar-benar akan menjadi negara maju. (*)

Sumber : kemenkopmk.go.id

 

Posting Komentar
Kembali ke atas