Desa harus semakin maju tetapi tidak meninggalkan tradisi, dan tetap merawat tradisi tetapi tidak ketinggalan jaman. Desa maju juga paralel dengan desa kuat dan desa mandiri. Desa kuat dan desa mandiri, keduanya menjadi visi-misi UU Desa, merupakan dua sisi mata uang. Di dalam desa kuat dan desa mandiri terkandung prakarsa lokal, kapasitas, bahkan pada titik tertinggi adalah desa yang berdaulat secara politik. Konsep desa kuat senantiasa diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan daerah kuat dan negara kuat. Negara kuat bukan berarti mempunyai struktur yang besar dan berkuasa secara dominan terhadap semua aspek kehidupan. Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat. Negara otonom adalah negara yang sanggup mengambil keputusan secara mandiri, sekaligus kebal dari pengaruh berbagai kelompok ekonomi politik maupun kekuatan global. Kapasitas negara terkait dengan kemampuan negara menggunakan alat-alat kekerasan dan sistem pemaksa untuk menciptakan law and order (keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya), mengelola pelayanan publik dan pembangunan untuk fungsi welfare (kesejahteraan), serta melakukan proteksi terhadap wilayah, tanah air, manusia, masyarakat maupun sumberdaya alam.


Desa kuat, maju dan  mandiri, merupakan sebuah kesatuan organik. Dalam Desa kuat terdapat kemandirian Desa, dan dalam Desa mandiri terdapat kandungan Desa kuat. Kapasitas Desa menjadi jantung kemandirian Desa. Secara khusus dalam Desa kuat terdapat dua makna penting. Pertama, Desa memiliki legitimasi di mata masyarakat Desa. Masyarakat menerima, menghormati dan mematuhi terhadap institusi, kebijakan dan regulasi Desa. Tentu legitimasi bisa terjadi kalau Desa mempunyai kinerja dan bermanfaat secara nyata bagi masyarakat, bukan hanya manfaat secara administratif, tetapi juga manfaat sosial dan ekonomi. Kedua, Desa memperoleh pengakuan dan penghormatan (rekognisi) dan kepercayaan dari pihak negara (institusi negara apapun), pemerintah daerah, perusahaan, dan lembagalembaga lain. Jika mereka meremehkan Desa, misalnya menganggap Desa tidak mampu atau Desa tidak siap, maka Desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, tetapi juga diikuti dengan sikap dan tindakan konkret yang tidak meremehkan tetapi memercayai.


Rekognisi dan subsidiaritas merupakan solusi terbaik untuk menata ulang hubungan Desa dengan negara, maka demokrasi merupakan solusi terbaik untuk menata ulang hubungan antara Desa dengan warga atau antara pemimpin Desa dengan warga masyarakat. Rekognisi, subsidiaritas dan demokrasi merupakan satu kesatuan dalam UU Desa. Rekognisi dan subsidiaritas, seperti halnya desentralisasi, hendak membawa negara, arena dan sumberdaya lebih dekat kepada Desa; sementara demokrasi hendak mendekatkan akses rakyat Desa pada negara, arena dan sumberdaya. Tanpa demokrasi, rekognisi-subsidiaritas dan kemandirian Desa hanya akan memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke Desa. Sebaliknya, demokrasi tanpa rekognisi-subsidiritas hanya akan membuat jarak yang jauh antara rakyat dengan arena, sumberdaya dan negara.



Daftar Pustaka


Daftar Pustaka Soetoro Eko., dkk. (2015). Regulasi Baru Desa Baru: Ide, Misi dan Semangat UndangUndang Desa. Jakarta: Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.


Soetoro Eko., dkk. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)