Kedudukan Desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi antara negara, Desa dan warga merupakan jantung persoalan UU Desa. Jika regulasi sebelumnya menempatkan Desa sebagai pemerintahan semu bagian dari rezim pemerintahan daerah, dengan asas desentralisasi-residualitas, maka UU Desa menempatkan Desa dengan asas rekognisi-subsidiaritas.


Rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman Desa, kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat, serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural. Di sisi lain redistribusi uang negara kepada Desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakailan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU Desa juga melakukan proteksi terhadap Desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga proteksi Desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan oleh supradesa, politisi dan investor.


Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai dengan asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas berlawanan dengan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004. Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas itu, Desa ditempatkan dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.


Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah memberikan bantuan kepada organisasi yang lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas (Alessandro Colombo, 2012; Soetoro Eko ). Dengan kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas lebih tinggi pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri (Christopher Wolfe, 1995; David Bosnich, 1996; Andreas Føllesdal, 1999).


Sotoro Eko (2015) memberikan tiga makna subsidiaritas. Pertama, urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal ini Desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan kalimat lain, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat kepada Desa.


Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa melalui undang-undang. Dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas desentralisasi maupun dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal-usul Desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batasbatas yang jelas tentang kewenangan Desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.


Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal Desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap Desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tindakan ini sejalan dengan salah satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni memperkuat Desa sebagai subyek pembangunan, yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset Desa untuk kesejahteraan bersama.



Daftar Pustaka


Daftar Pustaka Soetoro Eko., dkk. (2015). Regulasi Baru Desa Baru: Ide, Misi dan Semangat UndangUndang Desa. Jakarta: Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.


Soetoro Eko., dkk. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)