Covid-19, yang kedatangannya tak diundang apalagi memberikan unjuk salam, menjadi salah satu penyebab mengapa tahun 2020 menjadi tahun yang akan dikenang sepanjang masa.


Bagaimana tidak, kehadiran pandemi covid-19 ini telah mengubah berbagai tatanan baik yang sudah berjalan maupun yang masih direncanakan. Covid-19 ini tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan, tetapi juga berdampak pada perekonomian.


Selain itu, yang lebih parah lagi adalah Covid-19 juga berdampak multisektor, multidimensi. Pandemi Covid-19 telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan, baik pada aspek politik & Pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, maupun nilai-nilai kehidupan. Berbagai dampak tersebut terjadi secara berkaitan dan tidak terprediksi sebelumnya, sehingga menyebabkan krisis multidimensi di seluruh dunia. Kondisi tersebut menjadi tantangan kompleks bagi semua negara di dunia agar dapat bertahan dan melampauinya. Hal ini memaksa banyak negara menyusun strategi, teknik, taktik yang berbeda dari pola sebelumnya, tidak terkecuali Indonesia.


Pandemi Covid-19 hadir menjadi teguran sembari menyiratkan pesan yang kuat bagi manusia untuk melihat kembali seperti apa dirinya selama ini dan bagaimana harus menghadapi situasi. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara hidup, relasi sosial, tata pemerintahan, dan perilaku pribadi akan diwujudkan selama pandemi? Bagaimana pula setelah pandemi? Apakah pola-pola hidup akan kembali ke masa sebelum pandemi ?.


Covid-19 telah membuat peradaban manusia modern dikoyak-koyak. Kehidupan manusia modern yang dibangun berdasarkan pada kecepatan gerak, linearitas berpikir, ketajaman rasio, kemenangan cara pandang individualis, dan teknologi kini hampir lumpuh dihantam virus yang tak kasat mata (Gaib) ini.


Setelah mencermati, mengalami, dan berjibaku dengan Covid-19 dan hari ini kita belum bisa keluar darinya maka tidak ada kata menyerah di dalamnya: perjuangan harus berumur panjang. Maka siasat-siasat baru perlu dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi.


Pandemi mengajarkan sisi positif bahwa manusia dengan segala daya, akal budi, dan kreativitasnya harus mencari ruang perlawanan yang lebih baik. Menyerah berarti mengantarkan kematian dan kehancuran kemanusiaan. Ruang perlawanan dimaksud tidak bisa hanya bertumpu pada aspek kesehatan, maupun ekonomi saja, melainkan harus secara konfrehensip. Karena pandemi ini juga berdampak pada aspek-aspek yang lainnya.  Oleh sebab itu tidak ada kata lain selain terus berjuang dan perjuangan itu harus dimulai dari desa.


UU Desa telah menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Dengan begitu, sistem pemerintahan di desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat dengan segala kewenangannya (authority). Desa juga tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.


Tahun 2015 adalah tahun pertama dilaksanakannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kedudukan desa tidak lagi bersifat subnasional, melainkan berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Desa juga tidak lagi berada di bawah struktur administratif terbawah, apalagi perpanjangan tangan dari pemerintah daerah. Desa juga mendapat rekognisi dan subsidiaritas kewenangan, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Selain itu,  Desa merupakan sebuah entitas politik dan pemerintahan yang paling dekat dengan warganya. Tidak ada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan warga selain desa.


Akan tetapi, kewenangan-kewenangan itu kini diuji oleh pandemi. Karena itulah perlu disusun serangkaian upaya untuk merumuskan tata nilai dan tata kehidupan baru bernegara dan bermasyarakat dimulai dari desa.


Pemerintah Kabupaten perlu hadir untuk melirik dan menguatkan kembali peran desa dengan mengembangkan strategi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang berpijak pada kebutuhan dan potensi aktual dari desa. Situasi krisis/pandemi dianggap sebagai momentum mengelaborasikan kearifan lokal untuk mendukung kapasitas adaptif menghadapi masalah.


UU Desa menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Pemerintah Kabupaten menjadi pihak yang paling dekat dengan desa untuk membina, mendampingi, memfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan subsidiaritas. Dengan menjadi subjek pembangunan, desa justru tidak lagi akan menjadi entitas yang merepotkan tugas pokok pemerintah kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Desa akan menjadi entitas negara yang berpotensi mendekatkan peran negara dalam membangun kesejahteraan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa, baik di mata warga negaranya sendiri maupun negara lain.


Oleh sebab itu perlu adanya roadmap serta arah kebijakan pembangunan desa yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten yang termuat dalam perencanaan kabupaten (RPJMD/RKPD) yang disesuaikan dengan kondisi kekinian (masa pandemi) serta proyeksi kedepan. Sebagai landasan bagi Pemerintah Desa untuk menyeleraskannya dalam penyusunan Perencanaan Desa (RPJMDesa/RKPDesa).


Dan dalam jangka pendek, perlu adanya formulasi kebijakan dan langkah-langkah strategis taktis dari Pemkab yang out of the box tetapi tidak dominatif. Melainkan harus bersipat penguatan, pengembangan, dorongan/dukungan bagi desa untuk berkreasi diruang kewenangannya dalam menata kehidupan baru di desa.


#MulaiDariDesa


Oleh : Asep Jazuli (Warga Desa dipinggiran Kabupaten Sumedang)



Daftar Rerensi :




  1. Buku Rumusan Hasil Kongres Kebudayaan Desa 2020, 1 Juni – 15 Agustus 2020.