Edisi Nostalgia Zaman KuLi aH hehehe.........




Oleh : Asep Jazuli
( Mantan Aktifis Keder !!!!! ????, sekaligus sebagai Aktivis Facebook sampai usum kiwari )


Kehidupan kampus identik dengan suatu kebebasan, aktivitasnya jauh berbeda dengan kehidupan sewaktu dibangku sekolah, apalagi ditambah kebebasan dari keluarga yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Salah satu contoh bisa kita lihat dari keputusan-keputusan yang diambil untuk menentukan masuk atau tidaknya kedalam suatu perkuliahan. Dan kebebasan itu jelas tampak nyata, namun hal yang terpenting dan perlu dicermati adalah bagaimana memanfaatkan kebebasan tersebut menjadi suatu nilai yang positif bagi diri pribadi dan lingkungan yang ada.




Disinilah permainan antara kebutuhan dan keinginan sering terjadi, disuatu sisi kita menganggap kebutuhan itu adalah suatu keharusan, dan disisi lain suatu keinginan itu juga sering kita anggap menjadi suatu keharusan. Dalam hal ini, perlu kedewasaan dan pertimbangan yang matang bagi seorang mahasiswa dalam menentukan kebutuhan dan keinginannya. Tak bisa dipungkiri memang, bahwa masih banyak dari mahasiswa itu sendiri yang menyamakan livestyle-nya persis dengan masa-masa SMAnya. Padahal waktu terus berjalan dan perubahan terus terjadi, namun kesadaran akan masa depan jarang merubah paradigma yang ada.
Oleh karena itu, tidak sedikit dari golongan mahasiswa itu yang turut membangun masa depannya dibangku-bangku kampus, contoh konkretnya yaitu, mereka yang turut bergabung dalam organisasi, baik yang berbau nuansa ruhani, kiri, kanan, profesi hingga sosial dan politik. Ini adalah bentuk kepedulian mereka dalam memaknai hari-harinya dengan suatu nilai yang positif dan bermanfaat.
Dan yang perlu dipahami ialah, bahwa dunia organisasi adalah dunia yang tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Hidup ini tidak akan berarti tanpa orang lain, dan akan lebih bermanfaat jikalau kita memposisikan diri dalam suatu kelompok serta memberi sumbangsih yang bermanfaat.
Dalam bingkai kehidupan seorang aktivis, antara buku, pesta dan cinta sudahlah tidak asing lagi, tentunya aktivis disini bukanlah aktivis-aktivisan. Hari-hari mereka selalu disi dengan segala hal yang bisa menambah wawasan, bukan sekedar diskusi tanpa hasil, tetapi diskusi penuh solusi. Buku menjadi teman pribadi yang tidak pernah lepas dari genggaman tangan dan fikiran. Dengan buku, kita bisa menguasai ilmu dan juga menguasai dunia. Dari buku-buku pemikiran Marx, Tan Malaka, Hamka, Nurcholis Majid ( Caknur ),  hingga Hasan Al-Banna, intinya dari buku berbelok kekiri maupun buku berbelok ke kanan sudahlah tidak asing baginya.



Tak bisa dipungkiri, bahwa buku-buku wajib bagi seorang aktivis adalah buku-buku politik, sosial, pergerakan dan lainnya, dan buku tambahan adalah buku-buku perkuliahan. Ini telah menjadi realita, karena kampus atau perkuliahan tidaklah menjamin masa depan diri seseorang, semuanya hanyalah proses. Disamping kesibukan kuliah, rapat
( diskusi ), dan aksi ( demonstrasi/unjuk rasa ) adalah pesta yang tak asing lagi bagi diri seorang aktivis. Hari-harinya tidak terlepas dari pesta-pesta yang terkadang bisa membosankan dan juga menyenangkan, namun pestanya bukanlah pesta hura-hura ataupun pesta hedonis. Pesta-pestanya selalu dihidupi dengan diskusi dua arah untuk menghasilakn solusi dan makna yang terarah. SKS untuk rapat sudah melebihi SKS suatu praktikum ataupun perkuliahan. Dalam satu hari pestanya bisa dua hingga tiga kali, namun semua itu dianggap sebagai suatu investasi untuk masa depan.
Dalam konteks mahasiswa, cinta bisa menggugurkan segala-galanya ( matak oyag mastaka ), fikiran bisa bertekuk lutut, dan kalau ga kuat mental idealisme bisa menjadi hanyut dan terkalahkan. Itu adalah fakta dan juga realita yang bisa kita perhatikan. Telah banyak orang yang mengaku-ngaku dirinya tergabung dalam suatu barisan aktivis, tetapi telah banyak juga mereka yang turut berguguran hanya dengan sepucuk surat cinta. Ini adalah fenomena yang terkadang bisa diterima ataupun tidak, yang pasti, mereka bukanlah aktivis sejati. Dalam hal kado untuk seorang aktivis, “buku, pesta dan cinta” sudah menjadi suplemen dalam hidupnya. Yang semua itu sudah menjadi kebutuhan ruh. Bukunya adalah buku-buku kontemporer bukan hanya sebatas buku perkuliahan, pestanya adalah rapat,diskusi dan aksi, bukan hanya sekedar duduk ngobrol dan ngegosip, dan cintanya adalah cinta sejati yang tidak diobral dengan janji-janji murahan, cinta kepada sesama dan cinta kepada Pencipta.

Itu adalah kado untuk seorang aktivis, “buku, pesta dan cinta”. Tanpa buku mereka akan merasa kehausan, tanpa pesta mereka tidak akan menemukan solusi, dan tanpa cinta hidupnya serasa tidak berarti ( Hampa bro, hampa !!! ). Inilah kado yang tidak semua orang dapat meraihnya dan juga merasakannya. Ini adalah paket kado yang hanya bisa kita dapatkan jika kita mau bergabung. ……masing-masing diri akan diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya……