Oleh Fathoni Ahmad
Pertengahan Januari 2017 lalu,
tepatnya 15 Januari 2017 penulis dengan beberapa rombongan sowan di
kediaman ulama besar KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang,
Rembang, Jawa Tengah dalam kegiatan Anjangsana Islam Nusantara. Kebersahajaan
luar biasa senantiasa ditunjukkan kiai kelahiran 28 Oktober 2018 setiap
menerima tamu yang berkunjung ke Sarang.
Publik mungkin hanya mengetahui
ulama besar, pejabat, dan tokoh nasional saja yang kerap mengunjungi untuk
meminta restu dan doanya. Karena kunjungan tersebut mudah sekali mendapatkan
sorotan media, kemudian viral. Namun di balik itu, Mbah Maimoen yang merupakan
tokoh panutan masyarakat juga tidak jarang menerima kunjungan dari masyarakat
bawah. Mereka datang dari berbagai daerah.
Terkait pelbagai macam jenis tamu
tersebut, penulis teringat cerita KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Putra sulung
KH Wahid Hasyim itu merupakan salah seorang tokoh yang banyak disambangi tamu
setiap harinya. Tamu dari berbagai latar belakang semua diterima oleh Gus Dur.
Suatu ketika, Gus Dur bercerita bahwa tamu yang datang kepadanya ada dari
kalangan masyarakat kecil, menengah, dan atas. Ada juga dari kalangan politisi
dan pejabat.
Mereka datang sowan kepada
Gus Dur dengan berbagai maksud dan tujuan. Hebatnya, ketika rakyat kecil yang
datang, mereka justru memberi. Gus Dur mengungkapkan, hal ini berbeda ketika
para politisi yang datang. Mereka justru meminta.
“Kalau orang kecil yang datang,
mereka pasti akan memberikan doa panjang umur, memudahkan kesulitan, dan
lainnya. Tapi jika tokoh politik atau pejabat yang datang, mereka pasti meminta
jabatan,” ucap Gus Dur.
Begitulah kenyataannya, keteduhan
dan kesejukan yang memancar dari wajah Mbah Maimoen Zubair menjadi berkah
tersendiri bagi masyarakat umum yang berkesempatan menyambangi Sarang.
Keberkahan tersebut mendatangkan timbal balik berupa doa-doa dari masyarakat
bawah itu. Tentu saja hal ini menjadi harapan masyarakat secara umum agar
keberadaan Mbah Maimoen selalu menjadi penenteram dan penyejuk di tengah
kekisruhan sosial dan konflik politik kepentingan.
Politik tanah air merupakan dunia
yang tidak asing bagi Mbah Maimoen karena beliau sudah malang melintang dan
makan asam garam di bidang tersebut. Namun, tentu saja bukan semata politik
kepentingan, bukan pula politik kekuasaaan yang diperjuangkan Mbah Maimoen,
melainkan kemaslahatan politik. Ini menunjukkan bahwa walaupun dirinya seorang
‘alim, tetapi tidak anti terhadap politik. Justru dinamika politik harus diisi
oleh orang-orang yang baik dan benar, paham dan mengerti.
Politik bagi kiai yang saat ini
menginjak usia 91 tahun tersebut bukan tujuan, tetapi hanya perantara untuk
mencapai tujuan tersebut. Yakni tujuan menyejahterakan umat, memberikan rasa
keadilan, kenyamanan, dan keamanan, serta memajukan negara dan bangsanya.
Secara umum, Nahdlatul Ulama mempraktikkan politik kebangsaan, politik kerakyatan,
politik yang menjunjung nilai-nilai dan etika.
Sudah lazim di negeri ini dalam
setiap perhelatan pemilihan umum, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, ulama
besar menjadi tempat berkunjung meminta restu. Namun, Mbah Maimoen tidak ingin
membeda-bedakan para tamu yang berkunjung ke kediamannya. Karena ulama-ulama
kesohor yang pernah bertamu di rumahnya tak terhitung. Sebut saja Mufassir
Muhammad Quraish Shihab, almarhum Habib Mundzir Al-Musawa (Pendiri Majelis
Rasulullah), dan beberapa ulama-ulama mancanegara. Pertalian sanad tarekat
memang menjadikan ulama-ulama tersebut berkunjung kepada Mbah Maimoen selain
tentu menimba ilmu dari sang syaikhona.
Saat ini, bisa dikatakan bahwa
Mbah Maimoen Zubair merupakan ulama yang komplet. Beliau cukup tersohor di
antara ulama-ulama thariqah dunia. Pemandangan akrab dan hangat terlihat ketika
Mbah Maimoen berbincang dengan para mufti dunia dalam kegiatan konferensi ulama
internasional di Pekalongan pada 27-29 Juli 2016 lalu. Mereka berbincang
menggunakan bahasa Arab, bahasa yang juga digunakan oleh Mbah Maimoen ketika
kedatangan tamu ulama di rumahnya.
Kealiman Mbah Maimoen juga
ditunjukkan oleh karya-karya kitab yang telah berhasil ia tulis. Beliau
tercatat telah menulis sejumlah kitab di antaranya: Tuhfatul Ahbab,
Nushushul Akhyar, Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniyah bi Sarang Al-Qudama’,
Al-Ulama’ Al-Mujaddidun, Kifayatul Ashhab, Maslakuk Tanasuk, Taqrirat Badil
Amali, dan Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.
Meskipun usia boleh terbilang
senja, namun penglihatan, suara, dan pembicaraannya masih lantang. Di saat
orang-orang sebayanya memakai kaca mata tebal, beliau masih mampu membaca kitab
dengan mata telanjang, tanpa kacamata. Tentu saja ingatannya pun masih sangat
tajam. Termasuk membaca dan mengisahkan sejarah-sejarah masa lalu. Hal itu
ditunjukkannya ketika penulis dan rombongan Anjangsana Islam Nusantara
bermaksud menelusuri sanad dan jejaring keilmuan Islam di Nusantara melalui
Mbah Maimoen.
Mbah Maimoen masih terang dalam
berujar dan penuh dengan humor dalam beberapa penuturan dan obrolannya. Siapa
pun tamunya, yang tadinya agak sedikit kikuk seketika langsung mencair melihat
senyum dan tawa Mbah Maimoen yang khas.
Dalam persoalan menimba ilmu, Mbah
Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak
mendatangi. Sebab itu, kedatangan rombongan Tim Anjangsana dengan maksud
memperkokoh keilmuan merupakan langkah yang tepat. Apalagi sekaligus menelusuri
sanadnya sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu
Nabi Muhammad.
“Al-ilmu yu'ta wa la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan
mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen Zubair dengan penuh kehikmatan
menerangkan kepada para tamu. Beliau mengumpamakan air di dalam sumur yang
harus ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam sumur, kita harus
menimbanya,” ujar Mbah Maimoen.
Tak hanya terkait dengan esensi
ilmu yang manusia harus terus menerus menimba dan belajar, tetapi juga berbagai
persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah meluncur deras dari mulutnya
sehingga para tamu nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan Mbah
Maimoen.
Terkait dengan persoalan
kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi, Mbah Maimoen berpesan
agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga melupakan tugas
terdekatnya sebagai manusia. Hal ini akan berdampak pada ketidakseimbangan
hidup dan kehidupan itu sendiri.
Mbah Maimoen juga berpesan kepada
santri dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya untuk menjaga tali
silaturrahim, utamanya kepada guru-guru dan kiai-kiai sepuh dalam menyikapi
setiap persoalan bangsa maupun konflik yang sering terjadi di tubuh organisasi.
Penulis adalah anggota Tim
Anjangsana Islam Nusantara 2017 Pascasarjana UNUSIA Jakarta; Redaktur NU Online
KH Maimoen Zubair (Dok. NU Online)
Oleh Fathoni Ahmad
Pertengahan Januari 2017 lalu,
tepatnya 15 Januari 2017 penulis dengan beberapa rombongan sowan di
kediaman ulama besar KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang,
Rembang, Jawa Tengah dalam kegiatan Anjangsana Islam Nusantara. Kebersahajaan
luar biasa senantiasa ditunjukkan kiai kelahiran 28 Oktober 2018 setiap
menerima tamu yang berkunjung ke Sarang.
Publik mungkin hanya mengetahui
ulama besar, pejabat, dan tokoh nasional saja yang kerap mengunjungi untuk
meminta restu dan doanya. Karena kunjungan tersebut mudah sekali mendapatkan
sorotan media, kemudian viral. Namun di balik itu, Mbah Maimoen yang merupakan
tokoh panutan masyarakat juga tidak jarang menerima kunjungan dari masyarakat
bawah. Mereka datang dari berbagai daerah.
Terkait pelbagai macam jenis tamu
tersebut, penulis teringat cerita KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Putra
sulung KH Wahid Hasyim itu merupakan salah seorang tokoh yang banyak disambangi
tamu setiap harinya. Tamu dari berbagai latar belakang semua diterima oleh Gus
Dur. Suatu ketika, Gus Dur bercerita bahwa tamu yang datang kepadanya ada dari
kalangan masyarakat kecil, menengah, dan atas. Ada juga dari kalangan politisi
dan pejabat.
Mereka datang sowan kepada
Gus Dur dengan berbagai maksud dan tujuan. Hebatnya, ketika rakyat kecil yang
datang, mereka justru memberi. Gus Dur mengungkapkan, hal ini berbeda ketika
para politisi yang datang. Mereka justru meminta.
“Kalau orang kecil yang datang,
mereka pasti akan memberikan doa panjang umur, memudahkan kesulitan, dan
lainnya. Tapi jika tokoh politik atau pejabat yang datang, mereka pasti meminta
jabatan,” ucap Gus Dur.
Begitulah kenyataannya, keteduhan
dan kesejukan yang memancar dari wajah Mbah Maimoen Zubair menjadi berkah
tersendiri bagi masyarakat umum yang berkesempatan menyambangi Sarang.
Keberkahan tersebut mendatangkan timbal balik berupa doa-doa dari masyarakat
bawah itu. Tentu saja hal ini menjadi harapan masyarakat secara umum agar
keberadaan Mbah Maimoen selalu menjadi penenteram dan penyejuk di tengah
kekisruhan sosial dan konflik politik kepentingan.
Politik tanah air merupakan dunia
yang tidak asing bagi Mbah Maimoen karena beliau sudah malang melintang dan
makan asam garam di bidang tersebut. Namun, tentu saja bukan semata politik
kepentingan, bukan pula politik kekuasaaan yang diperjuangkan Mbah Maimoen,
melainkan kemaslahatan politik. Ini menunjukkan bahwa walaupun dirinya seorang
‘alim, tetapi tidak anti terhadap politik. Justru dinamika politik harus diisi
oleh orang-orang yang baik dan benar, paham dan mengerti.
Politik bagi kiai yang saat ini menginjak
usia 91 tahun tersebut bukan tujuan, tetapi hanya perantara untuk mencapai
tujuan tersebut. Yakni tujuan menyejahterakan umat, memberikan rasa keadilan,
kenyamanan, dan keamanan, serta memajukan negara dan bangsanya. Secara umum,
Nahdlatul Ulama mempraktikkan politik kebangsaan, politik kerakyatan, politik
yang menjunjung nilai-nilai dan etika.
Sudah lazim di negeri ini dalam
setiap perhelatan pemilihan umum, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, ulama
besar menjadi tempat berkunjung meminta restu. Namun, Mbah Maimoen tidak ingin
membeda-bedakan para tamu yang berkunjung ke kediamannya. Karena ulama-ulama
kesohor yang pernah bertamu di rumahnya tak terhitung. Sebut saja Mufassir
Muhammad Quraish Shihab, almarhum Habib Mundzir Al-Musawa (Pendiri Majelis
Rasulullah), dan beberapa ulama-ulama mancanegara. Pertalian sanad tarekat
memang menjadikan ulama-ulama tersebut berkunjung kepada Mbah Maimoen selain
tentu menimba ilmu dari sang syaikhona.
Saat ini, bisa dikatakan bahwa
Mbah Maimoen Zubair merupakan ulama yang komplet. Beliau cukup tersohor di
antara ulama-ulama thariqah dunia. Pemandangan akrab dan hangat terlihat ketika
Mbah Maimoen berbincang dengan para mufti dunia dalam kegiatan konferensi ulama
internasional di Pekalongan pada 27-29 Juli 2016 lalu. Mereka berbincang
menggunakan bahasa Arab, bahasa yang juga digunakan oleh Mbah Maimoen ketika
kedatangan tamu ulama di rumahnya.
Kealiman Mbah Maimoen juga
ditunjukkan oleh karya-karya kitab yang telah berhasil ia tulis. Beliau
tercatat telah menulis sejumlah kitab di antaranya: Tuhfatul Ahbab,
Nushushul Akhyar, Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniyah bi Sarang Al-Qudama’,
Al-Ulama’ Al-Mujaddidun, Kifayatul Ashhab, Maslakuk Tanasuk, Taqrirat Badil
Amali, dan Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.
Meskipun usia boleh terbilang
senja, namun penglihatan, suara, dan pembicaraannya masih lantang. Di saat
orang-orang sebayanya memakai kaca mata tebal, beliau masih mampu membaca kitab
dengan mata telanjang, tanpa kacamata. Tentu saja ingatannya pun masih sangat
tajam. Termasuk membaca dan mengisahkan sejarah-sejarah masa lalu. Hal itu
ditunjukkannya ketika penulis dan rombongan Anjangsana Islam Nusantara
bermaksud menelusuri sanad dan jejaring keilmuan Islam di Nusantara melalui
Mbah Maimoen.
Mbah Maimoen masih terang dalam
berujar dan penuh dengan humor dalam beberapa penuturan dan obrolannya. Siapa
pun tamunya, yang tadinya agak sedikit kikuk seketika langsung mencair melihat
senyum dan tawa Mbah Maimoen yang khas.
Dalam persoalan menimba ilmu, Mbah
Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak
mendatangi. Sebab itu, kedatangan rombongan Tim Anjangsana dengan maksud
memperkokoh keilmuan merupakan langkah yang tepat. Apalagi sekaligus menelusuri
sanadnya sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu
Nabi Muhammad.
“Al-ilmu yu'ta wa la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan
mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen Zubair dengan penuh kehikmatan
menerangkan kepada para tamu. Beliau mengumpamakan air di dalam sumur yang
harus ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam sumur, kita harus
menimbanya,” ujar Mbah Maimoen.
Tak hanya terkait dengan esensi
ilmu yang manusia harus terus menerus menimba dan belajar, tetapi juga berbagai
persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah meluncur deras dari mulutnya
sehingga para tamu nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan Mbah
Maimoen.
Terkait dengan persoalan
kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi, Mbah Maimoen berpesan
agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga melupakan tugas
terdekatnya sebagai manusia. Hal ini akan berdampak pada ketidakseimbangan
hidup dan kehidupan itu sendiri.
Mbah Maimoen juga berpesan kepada
santri dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya untuk menjaga tali
silaturrahim, utamanya kepada guru-guru dan kiai-kiai sepuh dalam menyikapi
setiap persoalan bangsa maupun konflik yang sering terjadi di tubuh organisasi.
Penulis adalah anggota Tim
Anjangsana Islam Nusantara 2017 Pascasarjana UNUSIA Jakarta; Redaktur NU Online
Sumber
: http://www.nu.or.id/post/read/102543/kh-maimoen-zubair-dan-politik-tanah-air