Oleh: Nanang Qosim 




Semua berharap agar elemen bangsa kembali memperkuat tali persaudaraan dan kebersamaan menyongsong Pemilu 2019. Dalam ketermenungan itu kita mencari-cari: di manakah urgensinya? Jelas, kita menemukan alasan kuat bahwa belakangan ini pilar kebersamaan memang tengah digerogoti oleh para provokator yang menyebar virus intoleransi, menularkan anarkisme, membangkitkan separatisme, mengajak praktik politik tidak santun, hingga membisiki kalimat-kalimat hujatan.

Ragam kekerasan itu merefleksikan runtuhnya kebersamaan sehingga semuanya perlu saling mengingatkan dalam bingkai kebaikan kepada semua elemen bangsa untuk menegakkannya kembali. Manakala kebersamaan tegak dan kokoh, diyakini segala manuver provokator bisa diredam bersama. Sebab, kebersamaan mensakralkan kebinekaan. Kebersamaan senantiasa memikirkan setiap tindakan apakah akan merusak diri sendiri atau masyarakat luas. Kebersamaan terbiasa dengan pola pikir reflektif. Setiap tindakan dipertimbangkan dampaknya bagi orang lain, bukan sekadar bagi diri sendiri atau kelompoknya.

Kebersamaan pula yang mampu merawat toleransi. Dalam konteks ini, toleransi yang ditelaah berpengertian sebagai sikap menahan diri, bersikap sabar, menghargai orang lain yang berpendapat beda, berhati lapang dan tenggang rasa terhadap orang yang berlainan pandangan.

Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan toleransi adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam deklarasi prinsip-prinsip toleransi UNESCO (1995), dinyatakan bahwa toleransi adalah penghargaan, penerimaan dan penghormatan terhadap beragam cara kemanusiaan, bentuk-bentuk ekspresi dan kebudayaan.

Dari beberapa pengertian itu, jelas dibutuhkan keikhlasan untuk memahami perbedaan pada orang lain. Individu tidak eksklusif sebagai homo homini lupus, melainkan terbuka menjadihomo homini sosius, bahwa manusia adalah rekan bagi sesamanya. Homo homini sosius membangun urgensi 'kita', bukan melulu 'aku' atau 'kami'.

Akar Keruntuhan

Dari paparan sekilas itu bisa dicari akar keruntuhan kebersamaan ini. Lawan dari bersama adalah sendiri, sehingga kebersamaan dilawan individualistis, atau 'kita' dirobohkan 'aku'. Di sinilah terdapat akar keruntuhan kebersamaan itu: tatkala orang tidak lagi bicara 'kita', tetapi lebih mendahulukan 'aku', kemudian 'kami'.

Akibat tidak memikirkan 'kita', orang lain menjadi tak penting. Apalagi jika orang lain itu tidak punya ikatan kepentingan. Lebih mengerikan lagi jika orang lain itu dianggap 'lawan' atau 'berbeda' dengan dirinya, maka tak urung akan dilibas. Dalam kondisi individualistis begini, jangan lagi bicara soal toleransi. Justru terjadilah defisit toleransi.

Di tahun politik ini, 'aku' akan lebih kentara, dan 'lawan' atau 'berbeda' terlihat lebih mencolok, tidak samar-samar lagi. Akibatnya, pertarungan individualistis akan lebih marak, apalagi jika dikaitkan dengan teori 'keberjejalan manusia' yang dikenalkan filsuf Erich Fromm.

Istilah 'keberjejalan manusia' bukan sekadar menunjukkan kepadatan penduduk, tetapi penekanannya pada penggambaran pertarungan untuk survive yang didorong perilaku agresi. Dalam pertarungan itu terdapat kecenderungan 'mereka yang kuat berusaha membinasakan yang lemah'. Beberapa indikator 'kuat' itu bisa saja berupa kekuasaan politik, kekuatan uang, kekuatan fisik, hingga kekuatan ideologi.

Mereka yang kalah dalam pertarungan itu berpotensi dihinggapi frustrasi. Manusia adalah volo (aku mau), sebuah titik tolak yang dikenalkan oleh Maine de Biran. Manusia itu mau apa saja, tetapi hasrat terhadap 'apa saja' selalu dibatasi kepantasan-kepantasan maupun kemampuan diri. Pembatas itulah yang kerap membikin frustrasi.

Di tahun politik akan banyak pihak kalah bertarung. Artinya, tidak sedikit yang bakal frustrasi. Celakanya, frustrasi ini dibiarkan menjadi stimuli agresi. Padahal, agresi punya tujuan untuk menghilangkan ancaman dengan cara menghindari ataupun menghancurkan sumber ancaman itu.

Semakin bermaksud menghancurkan, kian tumbuh kedestruktifannya. Kalau sampai destruktif, levelnya meningkat menjadi agresi jahat yang cenderung merugikan orang lain. Maka, persoalan moralitas diabaikan. Kekerasan dianggap halal. Inilah gambaran intoleransi. Ini juga penguat runtuhnya kebersamaan.

Politik Santun

Bagaimana menegakkan kebersamaan yang runtuh itu? Rumusnya sederhana: kembali ke 'kita'. Segenap sudut pandang kehidupan, mestinya, mengacu pada kepentingan bersama, kepentingan 'kita', bukan lagi demi 'aku' atau 'kami'. Meski sederhana, tetapi untuk mewujudkannya susah. Namun begitu, tetap saja harus diupayakan bilamana tidak ingin kasus-kasus intoleransi kian meliar.

Dalam konteks tahun politik, sewajarnya dibuka kembali hakikat tujuan berpolitik. Idealnya politik merupakan pengelolaan ruang publik dalam bentuk kerja sama untuk mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan bersama, dan tujuan utamanya adalah membebaskan manusia dari penderitaan. Atau dalam ungkapan pemikir politik Peter Berger, politik seharusnya memperhitungkan 'biaya-biaya manusia (human costs)'. Tujuan politik seharusnya untuk mengatasi atau paling tidak membatasi penderitaan manusia dalam segala bentuk dan dimensinya.

Selama ini, di negeri kita, politik hanya dimainkan oleh para elite dan aparat negara. Politik yang dipraktikkan oleh kelompok ini cenderung impersonal, tidak peka, dan sering tanpa hati nurani. Politik yang berhati nurani adalah politik yang mengambil inspirasi dari solidaritas kemanusiaan berdasarkan pengalaman langsung saat bergulat dengan penderitaan dan kehidupan yang penuh ketidakpastian.

Inilah wujud politik santun. Karenanya, upaya membangun kebersamaan adalah melalui politik santun tersebut., bersama kita bangun fondasi iklim demokrasi santun, teduh, dan damai. 

Penulis adalah kolomnis dan peneliti, pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Demak, Jawa Tengah. 

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/102448/membangun-kebersamaan-di-tahun-politik