Sikap dan posisi Muhammadiyah di tahun
politik setiap lima tahunan selalu dipertanyakan dan sebenarnya juga selalu ada
jawaban. Sama sekali, Muhammadiyah tidak anti demokrasi, bahkan Muhammadiyah
memiliki kultur egaliter, autonom, inklusif, dan transformative yang dibutuhkan
di dalam pembangunan negara demokratis. Posisi Muhammadiyah dalam demokrasi
elektoral khususnya pilpres secara langsung selalu ‘di tengah’ sejak babak
kedua pemilu presiden 2004. Baik memposisikan ‘jaga jarak dan jaga kedekatan’
notabene adalah berada di tengah (politics of inclusion). Berpolitik moderat
atau as Siyasah Washatiyyah. Posisi di tengah ini bukan tanpa karakter, tetapi
itu adalah jalan ketiga yaitu politik pembebasan (liberasi) yang secara sadar
dilakoni melintasi beragam tipologi rezim di republik ini.
Posisi politik Muhammadiyah dengan
demikian dapat disebut sebagai politik yang inklusif, cenderung merangkul dan
memberikan nilai ketimbang hasrat segera mendapatkan posisi kuasa dan kontrol
atas publik dan sumber daya kesejahteraan. Jika politik dipahami sebagai
praktik tindakan ekslusi dan alienasi alias mengamodir sebagian (in group) dan
memusuhi serta menghancurkan yang liyan (the others) yang tidak kompatibel
dengan kepentingannya. Wajar saja, Muhammadiyah dalam membicarakan politik
selalu lebih kuat subtansi pemberian nilai-nilai maslahat untuk keadaban publik
ketimbang siasat.
Pembebasan untuk keluar dari kemelut yang
menguras energi di dalam Rumah besar persyarikatan, dan pembebasan untuk
mengapresasi keragaman sikap dan derajat interaksi dan harapan politik elit dan
warga Muhammadiyah di tengah pusaran politik praktis.
Muhammadiyah tidak berpolitik, tetapi
Muhammmadiyah memberikan kebebasan kepada warga Muhammadiyah di dalam
menentukan sikap politik. Bahkan, demi kepentingan bangsa yang besar
Muhammadiyah mendorong warga Muhammadiyah agar sportif menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu. Amal politik Muhammadiyah dapat dilakukan anggota Muhammadiyah
secara proporsional yang mengandalkan nilai bukan semata-mata
mempraktikkan banalitas teknologi kekuasaan. Bahkan Muhammadiyah mengapresiasi
kadernya yang menjalani politik kepartaian dan elektoral. Inilah salah satu penggalan
bagaimana Muhammadiyah mendorong keadaban politik dan menempatkan kepentingan
bangsa menjadi utama tanpa harus tercerabut dari barisan organisasi yang memang
didesain tidak memerankan politik kepartaian.
Dalam dinamika kesejarahan, pemimpin dan
kader Muhammadiyah terlibat aktif dalam dinamika politik kebangsaan Republik
Indonesia. Bukan rahasia lagi bila tokoh-tokoh Muhammadiyah terlibat aktif
dalam penyusunan dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti KH Mas
Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, serta Prof. Kahar
Mudzakkir. Mereka berinteraksi dengan berbagai macam kelompok, golongan, agama,
dan ideologi politik yang berbeda untuk membangun kesapakatan bersama (common
platform) tentang kebangsaan. Keterlibatan ini telah memberikan yurisprudensi
keteladanan dan sekaligus inspirasi bagi generasi sekarang.
Fragmentasi Elit
Setidaknya ada empat varian sikap
politik elit Muhammadiyah dalam Pemilu prosiden yaitu pertama, posisi
fundamentalisme politik atau kubu yang cenderung terlibat dan aktif dalam
politik praktis dan menjadikan seolah-olah ‘politik sebagai panglima’. Kedua,
moderat pasif yaitu kelompok bahwa Muhammadiyah adalah “ummatan washatan”,
berada di tengah-tengah umat dan tidak menghendaki perpecahan atau pertengakaran
di dalam peran partisipasi politiknya. Ketiga, kelompok moderat aktif.
Keterlibatannya menjadi model Pendidikan kritis di dalam proses pemilu.
Kelompok ini memandang politik sebagai kegiatan ‘sampingan’ bukan urusan utama.
Keempat, kelompok Khittahisme. Yaitu kelompok yang mengikuti keputusan
organisasi secara taat, “sami’na waatho’na”. Artinya mereka selalu
menggunakan Khittah sebagai tolak ukur perjuangan dalam ranah politik. Dalam
praksisme politik, mereka cenderung menjaga jarak dan tidak mau terjebak dalam
“lumpur” politik penuh intrik. Kelompok ini juga mengklaim bahwa berdakwah
lewat Muhammadiyah juga tidak kalah mulia dengan berjuang di ranah politik
praktis. Terakhir, kelompok Apolitis. Kelompok ini cukup pesimis dan kurang
percaya pada mekanisme demokrasi liberal.
Keragaman pilihan politik baik di tubuh
elit atau warga Muhammadiyah hanya bisa dipecahkan dengan membangun demarkasi
politik secara kelembagaan—Muhammadiyah netral, sebuah terminologi yang tidak
menarik bagi partisan politik. Namun, inilah bentuk teologi pembebasan politik
ala Muhammadiyah. Inilah yang paling mampu dan terbukti menggaransi organisasi
islam modern ini akan tetap bertahan. Orientasi kerja dan karya menjadi merk
dagang yang dapat secara efektif mengalihkan ambisi-ambisi politis kalangan
Muhammadiyah. “Jika di Muhammadiyah kamu tidak punya etos kerja nyata, kamu
tidak akan diperhitungkan.”, kira-kira itu secara halus tertanam dalam
kader-kader dan pengurus Muhammadiyah di segala tingkatanya.
Mengenai pergeseran politik di
Muhammadiyah secara apik dikaji oleh Syaifullah dalam bukunya Pergeseran
Politik Muhammadiyah (2019) meyakinkan kepada pembaca bahwa keterlibatan
Muhammadiyah secara praktis sebagai bagian dari partai politik (Masyumi) dan
dalam posisinya terpisah secara tegas dari partai politik keduanya tidak secara
signifikan memposisikan Muhammadiyah memiliki daya tawar politik yang berbeda
sehingga ini menjadi legitimasi bahwa langgam politik Muhammadiyah di tengah
arus liberalisasi politik. Kekuatan oligarkis yang berdiaspora dalam
partai-partai nasional juga menyulitkan Muhammadiyah untuk berada dalam
keyakinan bahwa Muhamamdiyah akan mewarnai jagad politik dengan terlibat lebih
dalam, sistemik, dan struktural.
Secara analogis, posisi Muhammadiyah
sekarang ini dalam politik lebih dapat digambarkan sebagai politik garam
ketimbang politik gincu. Posisi ini nampaknya menjadi fenoman keberlanjutan dan
perubahan (continuity and change). Posisi tangguh Muhammadiyah dalam
siklon politik hari ini tetaplah seperti posisi Muhammadiyah di tengah kecamuk
pra revolusi kemerdekaan, namun ada ‘kreatifitas’ politik yang berbeda sesuai
zaman dan suara kebatinan warga Muhammadiyah. Pasca reformasi, khususnya pada
pemilu 1999 dan juga piplres 2004 mendorong Muhammadiyah masuk dalam agensi
transformasi kekuasaan melalui proses elektoral lebih dalam dan intensif.
Setelah itu, Muhammadiyah berhasil melakukan recovery dari
pengalaman dramatis-nya, dan juga berhasil survive di dalam
rezim yang cenderung alienatif terhadap posisi politik Muhammadiyah
(2004-2014).
Kapasitas Muhammadiyah untuk survival
of the fittes dalam Darwisnisme politik kekuasaan menjadikan
Muhammadiyah sangat tegar dan ringan di dalam menjalani interaksi politik pasca
pilpres 2014. Ketegangan politik cukup minor, tidak kentara dan ‘kabinet kerja’
Muhammadiyah relative dianggap sangat kompatibel dengan the rulling
party. Muhammadiyah di usianya yang lebih dari serratus tahun juga
cenderung tetap bertahan dan berkembang sehingga Muhammadiyah telah teruji mampu
mempertahankan keseimbangan politik kebangaan dari apa yang disebut tragedy
of the common—dimana politik menjadi panglima, kue kekuasan yang terbatas
diperebutkan semakin banyak aktor dan semakin brutal untuk memenangkan
pertempuran. Logika politik yang sangat mirip dengan kapitalisme yang mengancam
segala sesuatu yang ada di jagad raya.
Sangat disadari oleh Muhammadiyah bahwa
kehidupan organisasi tidak berada di dalam ruang hampa politik namun demikian
cara berpolitik Muhammadiyah tidak berada dalam logika keterancaman, peran
politiknya sebagai dakwah berkeadaban di ruang publik. Politik nilai tinggi (high
politics) dan bukan politik rendahan (low politics) yang mendorong
Muhammadiyah mengawal dan memastikan bahwa kiblat pembangunan bangsa ini menuju
perbaikan dan kemajuan untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa. Politisasi
agama dan juga praktik patogenik dalam demokrasi terutama di era ‘merajanya
informasi dan sosial media’ juga membuat daya tahan di dalam peran-peran
Muhammadiyah ini mendapatkan ujian yang tidak ringan.
beragama yang mencerahkan sebagai pesan
utama dan mendasar Tanwir Muhammadiyah tahun politik ini juga memberikan pesan
bahwa berpolitik juga harusnya membawa misi harapan, optimisme, dan pencerahan
dan bukan melipatgandakan praktik tuna keadaban di dalam arus kompetisi politik
lima tahunan[].
David Efendi
Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber
: http://mpi.muhammadiyah.or.id/id/artikel-muhammadiyah-dan-politik-pembebasan-detail-1099.html