Kedudukan
(posisi) desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi
antara negara, desa dan warga merupakan jantung persoalan UU Desa. Jika
regulasi sebelumnya menempatkan desa sebagai pemerintahan semu bagian dari
rezim pemerintahan daerah, dengan asas desentralisasi-residualitas, maka UU
Desa menempatkan desa dengan asas rekognisi-subsidiaritas.
Rekognisi
memang tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan daerah;
ia lebih dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam masyarakat
multikultur, senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas baik
suku, agama, warna kulit, seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan
pemilahan antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering
menghadapi eksklusi secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kaum minoritas
merasa menjadi warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan
yang sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, kelompok atau
komunitas yang berbeda maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas
identitas, sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara menghadapi
klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembicaraan tentang rekognisi.
Meskipun
rekognisi lahir dari konteks multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan
keadilan, kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan
desentralisasi. Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi
ganda di seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material
dan tuntutan akan kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus (Janice
McLaughlin, Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim
inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris
di banyak negara, termasuk Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh
dan Papua serta keistimewaan bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain,
desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu, yang berbeda dengan
daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi terhadap perbedaan dan
keragaman.
Dalam
konteks multikultural itu, beragam pengertian rekognisi hadir. Charles Taylor
(1992), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik
universalisme”, yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau
komunitas dengan cara menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni
proteksi terhadap identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara
menghormati dan membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara
sederhana memahami rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati
kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya
adalah untuk mencapai keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus
memasukkan provisi ruang bebas bagi setiap individu hadir dalam ruang publik
tanpa rasa malu. Lebih radikal lagi, Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi
dalam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi
bukan sekadar memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap
identitas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial
ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Rekognisi
kultural semata hanya mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat
ketidakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena itu rekognisi dimengerti
untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi untuk
menjamin keadilan ekonomi (economic justice).
Dalam
belantara teori dan praktik rekognisi, desa dan desa adat, hampir tidak
dikenal. Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus (seperti Quebec
di Canada maupun Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris Raya),
masyarakat adat (indigenous people), kelompok-kelompok minoritas, Afro Amerika,
gender, kelompokkelompok budaya atau identitas tertentu yang berbeda, dan
sebagainya. Namun dalam konteks Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama
lain, sangat relevan bagi rekognisi. Pertama, desa atau yang disebut dengan
nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang
berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau
yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI
lahir pada tahun 1945, yang sudah memiliki susunan asli maupun membawa hak
asal-usul. Ketiga, desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme
Indonesia yang tidak serta merta bisa diseragamkan. Keempat, dalam lintasan
sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi terhadap
tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil mulai dari
kerajaan, pemerintah kolonial, hingga NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan
amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut
dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya.
Siapa
yang melakukan rekognisi terhadap desa? Apa makna rekognisi? Apa yang
direkognisi? Bagaimana melakukan rekognisi? Sejumlah pertanyaan ini merupakan
persoalan desain institusional rekognisi. Memang teorisasi tentang desain
institusional rekognisi tidak selengkap teorisasi desentralisasi. Tindakan
rekognisi bersifat kontekstual, dan juga tergantung pada hasil negosiasi antara
negara dengan pihak yang menuntut rekognisi. Rekognisi yang mewarnai desentralisasi
asimetris terhadap DKI Jakarta, Aceh, Papua dan Yogyakarta sungguh berbeda,
bersifat kontekstual dan merupakan hasil negosiasi antara pusat dengan daerah.
Otonomi khusus untuk Papua dan Aceh, misalnya, disertai redistribusi ekonomi
(dana otonomi khusus dan dana bagi hasil SDA yang berbeda) sebagai bentuk
jawaban atas ketidakadilan ekonomi yang menimpa dua daerah tersebut.
Rekognisi
terhadap desa yang dilembagakan dalam UU Desa tentu bersifat kontekstual,
konstitusional, dan merupakan hasil dari negosiasi politik yang panjang antara
pemerintah, DPR, DPD dan juga desa. Sesuai amanat konstitusi negara (presiden,
menteri, lembaga-lembaga negara, tentara, polisi, kejaksaan, perbankan, dan
lembagalambaga lain), swasta atau pelaku ekonomi, maupun pihak ketiga (LSM,
perguruan tinggi, lembaga internasional dan sebagainya) wajib melakukan
pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan (eksistensi) desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum. Eksistensi desa dalam hal ini mencakup hak asal-usul
(bawaan maupun prakarsa lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan
maupun pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan
masyarakat, prakarsa desa, maupun kekayaan desa. Konsep mengakui dan
menghormati berarti bukan campur tangan (intervensi), memaksa dan mematikan
institusi (tatanan, organisasi, pranata, kearifan) yang sudah ada, melainkan
bertindak memanfaatkan, mendukung dan memperkuat institusi yang sudah ada. Ada
beberapa contoh tindakan yang bertentangan dengan asas pengakuan dan penghormatan
(rekognisi) seperti: pemerintah mengganti nagari atau sebutan lain dengan
sebutan desa; pemerintah maupun swasta menjalankan proyek pembangunan di desa
tanpa berbicara atau tanpa memperoleh persetujuan desa; pihak luar membentuk
kelompok-kelompok masyarakat desat anpa persetujuan desa; penggantian lembaga
pengelola air desa menjadi P3A kecuali subak di Bali; penggantian sistem dan
kelembagaan keamanan lokal menjadi polisi masyarakat, pejabat menuding desa
melakukan subversi ketika desa membentuk Sistem Informasi Desa secara mandiri,
dan lain-lain.
Rekognisi
bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman desa, kedudukan,
kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga
melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD.
Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas,
adat-istiadat, serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk
keadilan kultural. Di sisi lain redistribusi uang negara kepada desa merupakan
resolusi untuk menjawab ketidakailan sosial-ekonomi karena intervensi,
eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU Desa juga
melakukan proteksi terhadap desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga
proteksi desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan oleh supradesa,
politisi dan investor.
Penerapan
asas rekognisi tersebut juga disertai dengan asas subsidiaritas. Asas
subsidiaritas berlawanan dengan asas residualitas yang selama ini diterapkan
dalam UU No. 32/2004. Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi
menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan
asas desentralisasi dan residualitas itu, desa ditempatkan dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sebagian (sisa-sisa)
kewenangan dari bupati/walikota.
Prinsip
subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak
ada organisasi yang harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang
kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral
lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah memberikan bantuan (dari
bahasa Latin, subsidium afferre) kepada organisasi yang lebih kecil dalam
pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentukan pada level yang lebih
kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas (Alessandro Colombo, 2012). Dengan
kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau
penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal
kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam
konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar
(bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas
lebih tinggi pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko
bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan
(overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity
menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan
sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan
menggunakan kewenangan secara mandiri (Christopher Wolfe, 1995; David Bosnich,
1996; Andreas Føllesdal, 1999).
Dengan
bahasa yang berbeda, saya memberikan tiga makna subsidiaritas. Pertama, urusan
lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik
ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan
masyarakat. Dengan kalimat lain, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan
kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat
kepada desa.
Kedua,
negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan
kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa melalui undang-undang.
Dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan
kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa. Penetapan itu berbeda
dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas
desentralisasi maupun dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang
menghormati dan mengakui kewenangan asal-usul desa, penetapan ala subsidiaritas
berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas
tentang kewenangan desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.
Ketiga,
pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap
kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap
desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan
tindakan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Tindakan ini sejalan dengan salah satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni
memperkuat desa sebagai subyek pembangunan, yang mampu dan mandiri
mengembangkan prakarsa dan aset desa untuk kesejahteraan bersama.
Kombinasi
antara asas rekognisi dan subsidiaritas itu menghasilkan definisi desa dalam UU
Desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya : Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa,
atau yang disebut dengan nama lain, mempunyai karakteristik yang berlaku umum
di seluruh Indonesia. Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai
karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya
pengaruh adat terhadap organisasi dan sistem pemerintahan lokal, pengelolaan
sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya. Desa Adat pada prinsipnya
merupakan warisan organisasi pengaturan hidup bersama atau kepemerintahan
masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan
diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat
memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak
Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa
Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
berdasarkan hak asal usul.
Berdasarkan
UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7), UU No. 6/2014 tentang Desa
menempatkan Desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat
berpemerintahan (self governing
community) dengan pemerintahan lokal (local
self government). Namun pengertian itu menghadirkan debat antara
perspektifrezim pemerintahan dan pemerintahan lokal yang mengacu pada Pasal 18
ayat (7) dengan perspektif-rezim desa dan masyarakat berpemerintahan yang
mengacu pada Pasal 18 B ayat (2).
Sesuai
dengan UU No. 6/2014, Desa memiliki empat domain dan kewenangan: pemerintahan
desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat
desa. Inilah yang melahirkan perspektif desa yang melihat bahwa desa adalah
entitas atau kesatuan masyarakat hukum yang menyelenggarakan pemerintahan
(mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat). Secara historis, sebelum lahir pemerintahan NKRI, desa sudah secara
mandiri menjalakan pemerintahan (mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat) seperti air, sawah, irigasi, hutan, kebun, keamanan, ketenteraman,
kekayaan desa, hubungan sosial dan lain-lain.
Perspektif
desa (yang melihat pemerintahan dari sisi desa) tentu berbeda dengan perspektif
pemerintahan (yang melihat desa dari sisi pemerintahan), yakni melihat desa
sebagai bagian dari pemerintahan, atau melihat bahwa pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan merupakan struktur hirarkhis dalam
pemerintahan NKRI. Pemerintahan bekerja di bawah kendali Presiden yang mengalir
secara hirarkhies dan top down dari atas sampai ke tingkat desa.
Menurut
perspektif pemerintahan, desa merupakan organisasi pemerintahan yang paling
kecil, paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Paling
“kecil” berarti bahwa wilayah maupun tugas-tugas pemerintahan yang diemban desa
mampunyai cakupan atau ukuran terkecil dibanding dengan organisasi pemerintahan
kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Paling “bawah” berarti desa menempati
susunan atau lapisan pemerintahan yang terbawah dalam tata pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun “bawah” bukan berarti desa merupakan
bawahan kabupaten/kota, atau kepala desa bukan bawahan bupati/walikota. Desa
tidak berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004. Menurut
UU No. 6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Hal ini sama
sebangun dengan keberadaan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
“Bawah” juga berarti bahwa desa merupakan
organisasi pemerintahan yang berhubungan secara langsung dan menyatu dengan
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehari-hari. Istilah “bawah”
itu juga mempunyai kesamaan dengan istilah “depan” dan “dekat”. Istilah “depan”
berarti bahwa desa berhubungan langsung dengan warga masyarakat baik dalam
bidang pemerintahan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan maupun
kemasyarakatan. Sebagian besar warga masyarakat Indonesia selalu datang kepada
pemerintah desa setiap akan memperoleh pelayanan maupun menyelesaikan berbagai
masalah sosial. Karena itu pemerintah dan perangkat desa, yang berbeda dengan
pemerintah dan perangkat daerah, harus siap bekerja melayani masyarakat selama
24 jam tanpa henti, tidak mengenal cuti dan liburan. Sedangkan istilah “dekat”
berarti bahwa secara administratif dan geografis, pemerintah desa dan warga
masyarakat mudah untuk saling menjangkau dan berhubungan. Secara sosial, “dekat”
berarti bahwa desa menyatu dengan denyut kehidupan sosial budaya seharihari
masyarakat setempat.
Dua
perspektif itu saling bersinggungan dan beririsan. Namun sesuai pertimbangan
konstitusional, historis dan sosiologis, porsi desa sebagai self governing
community jauh lebih besar dan kuat daripada porsi desa sebagai local self
government. Ingat bahwa UU No. 6/2014 adalah Undang-undang Desa, bukan
Undang-undang tentang Pemerintahan Desa. Desa sebagai self governing community
sangat berbeda dengan pemerintahan formal, pemerintahan umum maupun pemerintahan
daerah dalam hal kewenangan, struktur dan perangkat desa, serta tatakelola
pemerintahan desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, desa
memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala
desa, yang tentu sangat berbeda dengan kewenangan pemerintah daerah. Dalam hal
tatapemerintahan, desa memiliki musyawarah desa, sebagai sebuah wadah kolektif
antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasayarakatan,
lembaga adat dan komponen-komponen masyarakat luas, untuk menyakapati hal-hal
strategis yang menyangkut hajat hidup desa. Musyawarah desa juga merupakan
bangunan demokrasi asosiatif, demokrasi inklusif, demokrasi deliberatif dan
demokrasi protektif. Sedangkan dari sisi perangkat, desa ditangani oleh perangkat
yang berasal dan berbasis masyarakat, yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kalau desa dianggap sebagai pemerintahan konvensional, maka seharusnya seluruh
perangkat desa – yang memakai seragam Kemendagri – berstatus sebagai PNS.
Demikian juga dengan pelaksanaan pembangunan sampai Badan Usaha Milik Desa,
yang tidak hanya berbasis pada pemerintah desa, tetapi dikelola secara kolektif
antara pemerintah desa dan masyarakat desa. Semua ini memberikan gambaran bahwa
karakter desa sebagai self governing community jauh lebih besar dan kuat.
Pada
dasarnya daerah dan desa maupun warga masyarakat merupakan bagian dari negara,
yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara memiliki kedaulatan
hukum atas daerah, desa dan warga masyarakat. Tidak ada warga negara yang bebas
dari hukum negara. Dengan demikian, ketika warga sebuah komunitas sepakat
mengorganisasikan dirinya ke dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut
dengan istilah desa, kemudian desa itu menghadirkan kekuasaan lokal (dalam
wujud sebagai pemerintah desa), maka desa pun harus tunduk kepada kedaulatan
hukum negara. Pengikat hubungan antara desa dengan kabupaten/kota adalah
aturan-aturan hukum negara yang harus ditaati dan dijalankan oleh warga desa.
Ketundukan
desa dihadapan hukum sungguh berbeda dengan ketundukan desa secara langsung
dihadapan hirarki kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa
Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma hukum
positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur desa berdasarkan
hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan prinsip demokrasi, desa berhak
terlibat aktif mempengaruhi perumusan Perda.
Jika
desa dibandingkan dengan daerah tampak berbeda sebab desa memiliki unsur
”prakarsa masyarakat, hak asalusul, dan/atau hak tradisional” yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertama, frasa ”prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional”
mempunyai makna bahwa keberadaan dan kewenangan desa sudah ada sebelum adanya
negara, sebagai warisan masa lalu dan berkembang dinamis karena prakarsa
masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat membentuk keberadaan desa dan
kewenangan desa. Kedua, jika daerah dibentuk oleh negara dan memperoleh
penyerahan (desentralisasi) kewenangan dari pemerintah pusat, maka keberadaan
desa dan kewenangan desa berangkat dari prakarsa masyarakat dan asal-usul
diakui dan dihormati oleh negara.
Desa
maupun daerah sama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan
masyarakat hukum adalah organisasi kekuasaan atau organisasi pemerintahan.
Namun Daerah otonom sebagai ”kesatuan masyarakat hukum” berbentuk pemerintahan
daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD.
Dengan
demikian pemerintah daerah merupakan subyek hukum yang merepresentasikan
daerah, dan kepala daerah (bupati/walikota) merupakan personifikasi pemerintah
daerah. Sedangkan desa ”kesatuan masyarakat hukum” desa adalah organisasi
kekuasaan atau organisasi pemerintahan, yang secara jelas mempunyai batas-batas
wilayah serta mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Karena definisi ini, desa
bukanlah kelompok atau organisasi komunitas lokal (local community) semata,
atau desa bukanlah masyarakat. Namun posisi sebagai organisasi pemerintahan
yang melekat pada desa berbeda dengan posisi pemerintahan desa terendah di
bawah camat sebagaimana dikonstruksi oleh UU No. 5/1979. Pemerintahan desa juga
berbeda dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan daerah tidak mengandung
unsur masyarakat, melainkan perangkat birokrasi.