Desa
bukan sekadar rezim/sistem pemerintahan. Bukan pula hanya sekadar wilayah
administratif, wilayah dan lokasi pembangunan, pemukiman penduduk, atau unit
masyarakat. Desa juga sebagai bangunan sosiologis, atau bisa juga disebut
sebagai basis sosial bagi masyarakat. Romo Driyarkara, misalnya, mengatakan
bahwa desa adalah kesatuan organik yang bulat.
Sebagai
sebuah kesatuan organik, desa memiliki masyarakat, masyarakat memiliki desa.
Desa memiliki masyarakat berarti desa ditopang oleh institusi lokal atau modal sosial.
Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan, kebersamaan dan
kegotongroyongan. Sementara masyarakat memiliki desa bisa disebut juga sebagai
tradisi berdesa, atau masyarakat menggunakan desa sebagai basis dan arena
bermasyarakat, bernegara, berpolitik atau berpemerintahan oleh masyarakat.
Berdesa
juga berarti memandang dan memperlakukan desa laksana “negara kecil”, sebab
desa memiliki wilayah, kekuasaan, pemerintahan, tatanan, masyarakat, sumberdaya
lokal dan lain-lain. Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis sosial,
basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis keamanan.
Semua itu bisa disebut sebagai basis kehidupan dan penghidupan. Basis ini
merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau
negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial,
desa merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial (kohesi sosial,
jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga desa mampu
bertenaga secara sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena
kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan
partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain,
desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat
dengan warga. Sebagai basis pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan
yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang
bermanfaat untuk warga. Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai
aset-aset ekonomi (hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung,
perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk
sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi
bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga:
desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa genting, desa wisata,
desa ikan, desa kakao, desa madu, desa garam, dan lain-lain.
Hakekat
desa sebagai basis kehidupan dan penghidupan itu ditemukan dalam lintasan
sejarah. Banyak cerita yang memberikan bukti bahwa desa bermakna dan bermanfaat
bagi warga dan republik. Buku Soetardjo Kartohadikoesoemo (1954) telah banyak
membeberkan peran dan manfaat desa bagi banyak orang di masa lalu, seperti
menjaga keamanan desa, mengelola persawahan dan irigasi, penyelesaian sengketa,
pendirian sekolah-sekolah rakyat dan sekolah dasar, dan masih banyak lagi.
Dalam hal hukum dan keadilan, studi Bank Dunia menunjukkan bahwa masyarakat
lebih banyak memilih kepala desa (42 persen) dan tokoh masyarakat (35 persen)
ketimbang pengadilan (4 persen) dalam menyelesaikan masalahnya (Bank Dunia,
Justice for Poor, 2007). Pengalaman ini yang menjadi salah satu ilham bagi
Suhardi Suryadi dan Widodo Dwi Saputro (2007) menggagas dan mempromosikan balai
mediasi desa, sebagai salah satu alternatif yang paling layak untuk melibatkan
masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Gagasan
tentang community justice sytem berbasis desa ini memang berasalan karena
sejarah telah membuktikan bahwa desa/masyarakat adat memiliki akar
sosial-budaya yang secara adil menyelesaikan sengketa secara lokal.