BincangSyariah.Com – Seandainya Cak Nur masih ada, hari ini ia akan genap berusia 80 tahun. Ia lahir pada 17 Maret 1939 dan wafat 29 Agustus 2005.

Cak Nur adalah orang yang ajarannya sangat sederhana. Menjadi Muslim yang baik, katanya, adalah menjadi manusia yang baik. Ia sering mengajari bangsa ini untuk selalu bersabar, menunda kesenangan, dan mau berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ia menggambarkan pengorbanan sebagai “jalan mendaki yang sulit” (aqabah) karena mempunyai efek peningkatan harkat dan martabat manusia.

Cak Nur tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam keadaan tidak menentu dan pusaran kekacauan, karena ia menghayati Tuhan sebagai Yang Maha Hadir (Omnipresent), yang selalu memberi jalan keluar. Setiap perkara kehidupan selalu dicarikan jalan keluarnya secara baik, husnul khatimah. Cara itulah, misalnya, yang ia tempuh ketika menurunkan Pak Harto dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun. Jika bukan dengan seruan husnul khatimah, manalah ada penguasa yang rela diturunkan sambil dinistakan. Cak Nur memberi contoh tentang berpolitik secara baik.

***

Cak Nur pergi meninggalkan warisan ilmu pengetahuan kepada generasi sekarang dan mendatang. Buah pikirannya menjadi rujukan yang terus dibicarakan. Obsesinya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar telah menginspirasi banyak kaum muda menempuh jalan yang dilaluinya, mencermati pemikirannya, serta mencontoh sikap dan tindakannya.

Sampai akhir hayatnya, Cak Nur adalah orang yang lurus (hanif). Ia hanya percaya pada kebenaran yang lapang (al-hanifiyah al-samhah), kebenaran yang tidak membelenggu jiwa, kebenaran yang berproses di dalam penghayatan akan Tuhan dan pengalaman iman yang berlangsung sepanjang hayat. Kebenaran seperti ini hanya mengakui kemutlakan Tuhan, namun relatif pada dirinya sendiri. Kebenaran seperti ini bersifat rendah hati, toleran, dan tidak memaksa orang lain. Cak Nur mengajarkan: Kalau kita berhenti mencari, dan merasa sudah sampai pada kebenaran, maka kita mudah menjadi sombong! Kritik Cak Nur terhadap fundamentalisme agama terutama pada kesombongannya. Kaum fundamentalis ingin meringkus kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain. Fundamentalisme kini telah menjelma menjadi kekerasan agama. Dulu masyarakat dunia mengenal Islam Indonesia sebagai Islam yang berwajah lembut. “Islam with a smiling face,” tulis majalah Time dan Newsweek pada 1996. Tapi kini wajah itu telah berubah menjadi penuh kebencian. Di titik ini kita teringat Cak Nur yang selalu tersenyum, mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Cak Nur adalah guru kebebasan. Ia berujar, kebebasan adalah hal pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia, bahkan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman kepada-Nya (faman sya’a fal yu’min, wa man sya’a fal yakfur). Kalau Tuhan tidak memberi kebebasan kepada makhluknya untuk tidak beriman, bagaimana mungkin kita bisa beriman secara tulus? Keimanan yang sejati hanya bisa lahir dari kebebasan.

Konstruksi kebebasan seperti ini mendorong tumbuhnya sikap keimanan yang terbuka. Yaitu, tidak merasa benar sendiri, dan mau menerima perbedaan sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan Tuhan. Wujud dari sikap keagamaan seperti ini adalah toleransi antar-sesama. Orang yang berbeda bukanlah musuh yang harus dimusnahkan. Ajaran tentang kebebasan dan toleransi telah menjadi dasar bagi perdamaian dan persahabatan antar-agama.

Nilai-nilai yang diusung Cak Nur adalah nilai-nilai universal yang ada pada semua agama, bukan nilai sektarian, dari dan untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Saat ini, di tengah menguatnya kembali intoleransi dan kekerasan atas nama agama, pikiran-pikiran Cak Nur kembali relevan untuk diingat dan disemaikan. Cita-cita Cak Nur untuk menjadikan umat Islam Indonesia lebih toleran, moderat, dan bersahabat, belum selesai dan harus terus dikerjakan.

Penulis : Ahmad Gaus A.F

Sumber : bincangsyariah.com