Gambar : islami.co



Kata Mereka Tentang Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan. Sebab sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam itu sendiri.
(K.H. Abdurrahman Wahid, Cendekiawan)

Buku Cak Nur adalah sebuah publikasi yang perlu diperhatikan kaum cendekia Indonesia, sebab ia membuka cakrawala baru bagi penempatan agama dalam situasi masyarakat pluralis dalam rangka kemodernan. (Franz Magnis-Suseno, Rohaniwan, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara)


Prof. Dr. Nurcholish Madjid (selanjutnya kita akan sebut “Cak Nur” saja, seperti panggilan akrabnya) lahir pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur. Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi. Ia mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, juga Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren (tingkat menengah SMP) di Pesantren Darul `Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi karena ia berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini, sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu`allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris.

Dari Pesantren Gontor yang sangat modern pada waktu itu, Cak Nur kemudian memasuki Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sampai tamat Sarjana Lengkap (Drs.), pada 1968. Dan kemudian mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978-1984, sehingga mendapat gelar Ph.D. dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought, 1984) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah. Karier intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), selama dua kali periode, yang dianggapnya sebagai “kecelakaan sejarah” pada 1966-1968 dan 1969-1971. Dalam masa itu, ia juga menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.

Dalam masa inilah, Cak Nur membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Di masa ini (1968) ia menulis karangan “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”3 sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel Cak Nur yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu Dasar-Dasar Islamisme. NDP ini ditulis Cak Nur setelah perjalanan panjang keliling Amerika Serikat selama sebulan sejak November 1968, beberapa hari setelah lulus sarjana IAIN Jakarta, yang kemudian dilanjutkan perjalanan ke Timur Tengah dan pergi haji, selama tiga bulan.