Oleh : Ridwan Saifuddin
Peneliti Balitbangda Lampung

teraslampung.com - Pemerintahan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla memberi perhatian terhadap pembangunan desa dan kawasan pinggiran. UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi titik pijak pembangunan desa, yang antara lain mengamanatkan tentang dana desa (APBN) dan alokasi dana desa (APBD).

Dua tahun terakhir pembentukan Badan Udaha Milik Desa (BUMDes) menjadi perhatian dan fokus banyak pihak. Apalagi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengakui eksistensi BUMDes dalam Pasal 213. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.

Gambar : bumdes.id


Di Lampung, yang sekarang sudah berdiri lebih dari 700 BUMDes tersebar di beberapa kabupaten, eksistensinya mendapat perhatian berbagai pihak. Bahkan BUMDes dan Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMADes) menjadi sorotan pemerintah pusat. Beberapa BUMDes dan BUMADes juga telah menggandeng perusahaan skala nasional dalam usahanya.

Namun, memang, eksistensi BUMDes dan BUMADes ini belum cukup teruji. Tentu, kita tidak ingin pendiriannya sekadar eforia, lantaran ada support dana desa dan alokasi dana desa. Pendirian usaha yang orientasinya semata karena ada sumber dana untuk menjadi modal, akan mencemaskan dalam keberlanjutannya.

Kekhawatiran ini beralasan. Coba kita lihat indikatornya. Merujuk dasar pendiriannya, tujuan pendirian BUMDes adalah untuk meningkatkan pendapatan asli desa, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kapasitas ekonomi warga desa secara inklusif. Pertanyaannya, apakah tujuan tersebut tercapat? Masih terlalu pagi memang untuk menilainya.
Namun, dari indikator yang ada, tampaknya kucuran dana desa dan alokasi dana desa yang cukup besar belum terbukti efektif mengangkat harkat kehidupan warga desa.

Di Lampung, menurut data BPS, memang angka pengangguran dan kemiskinan menurun sejak 2015 – 2017. Namun, trendnya tidak menunjukkan perbedaan berarti sejak sebelum atau setelah ada BUMDes.

Apakah BUMDes mampu meningkatkan kapasitas ekonomi warga desa secara inklusif? Data BPS pada triwulan pertama sampai ketiga 2017, ketika indeks gini rasio kota dan provinsi turun, gini rasio desa justru naik dari 0,297 menjadi 0,301. Dengan kata lain, kesenjangan ekonomi di desa justru memburuk. Adakah kontribusi BUMDes? Masih terlalu dini untuk menyimpulkannya.

Artinya, sampai saat ini, klaim “keberhasilan” mendirikan 700 lebih BUMDes di Lampung masih harus diuji. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Jangan sampai ekspose pendirian BUMDes di Lampung berlebihan dan kemudian menutupi persoalan-persoalan dalam praktik bisnisnya.

Melihat dokumen pendirian BUMDes dan BUMADes yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Universitas Bandar Lampung (UBL), terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutannya.

Dari catatan pendiriannya, BUMDes harus diakui berdiri karena ada kucuran dana desa dan alokasi dana desa. Ini poin penting untuk disikapi. Ketika bisnis dibuat karena ada bantuan dana, tanpa diimbangi kapasitas dan kemampuan pengelolaan yang baik, maka bisnis tersebut sulit untuk bisa bertahan apalagi kalau sumber dana itu kemudian terhenti.

Praktik BUMDes di Tulangbawang juga umumnya masih padat modal. Belum optimal dalam meningkatkan kapasitas perekonomian warga secara inklusif, dengan meningkatkan nilai tambah potensi atau komoditi lokal melalui kegiatan ekonomi kreatif warga. Pendekatan pendiriannya juga masih terasa sangat prosedural.

Sektor usaha yang digeluti BUMDes dan BUMADes di Tulangbawang juga belum memperhatikan konsep rantai pasokan (supply chain) dan rantai nilai (value chain) dalam membangun usahanya, sehingga nilai tambah belum bisa dirasakan secara merata dan optimal oleh seluruh warga desa. Justru, terkesan rantai pasokan maupun rantai nilai lebih banyak dirasakan pihak luar desa, yaitu perusahaan pemasok atau mitra luar. Wajar, kalau kemudian kteatifitas dan inovasi warga desa tidak terangkat oleh BUMDes.

Belum lagi persoalan kapasitas pengelola BUMDes dan pemahaman pamong Desa terhadap pengembangan dan keberlanjutan BUMDes itu sendiri. Keterlibatan perusahaan besar juga patut disikapi sejak dini, sehingga dapat dicegah peluang kepentingan pemodal luar untuk mengeksploitasi potensi yang ada di desa untuj kepentingan korporasinya, bukan kepentingan warga desa. Jangan sampai juga, hadirnya BUMDes yang mungkin bermitra dengan pengusaha luar, justru mematikan usaha kecil skala rumah tangga yang sudah ada lebih dulu di desa tersebut.

Artinya, masih terlalu dini menilai kinerja BUMDes di Lampung dalam mencapai tujuan pendiriannya. Sekali lagi, jangan sampai ini menjadi eforia yang pada akhirnya tidak memberikan apa-apa kepada warga desa, selain keuntungan jangka pendek bagi sebagian kecil masyarakat atau elite desa.

Eforia pendirian BUMDes hanya karena ada kucuran dana desa dan alokasi dana desa juga menjadi potensi berkembangnya moral hazard. Ini perlu diantisipasi sejak dini supaya dapat dihindari.

Kita tentu berharap berdirinya BUMDes di Lampung ini dapat dipertahankan dan dikembangkan. Dari sana, potensi lokal Lampung dapat terangkat ke skala nasional bahkan internasional. Dari sana pula, kita berharap dapat melahirkan kreativitas dan inovasi produktif di kalangan warga, sehingga terwujud kemandirian dan kesejahteraan yang merata. Untuk itu, BUMDes perlu memperhatikan rantai pasokan dan rantai nilai yang lebih berorientasi pada sumber daya desa setempat

BUMDes juga diharapkan dapat membangun sinergi yang baik dengan usaha-usaha warga yang sudah lebih dulu ada. Ini merupakan tantangan yang memang tidak mudah. Hasilnya pun tak bisa dipetik dalam waktu cepat. Perlu proses. Perlu kerja sama, keuletan, dan tanggung jawab yang tinggi dari semua yang terkait.

Sumber :


Disalin pada tanggal 11/06/2019