Oleh : Borni Kurniawan
Kalau ada tukang parkir beralih
profesi menjadi pendamping desa masalah buat loh? UMungkin pertanyaan ini akan
terucap dari kita kala menyimak pendapat seorang wakil rakyat di depan sidang
rapat dengar pendapat komisi V dengan Kementerian Desa PDTT. Apa sih
dikatakannya, kurang lebih si anggota dewan PDIP yang juga kabarnya duduk
sebagai rois syuriah NU di Sulawesi, menyoalkan rekrutmen pendamping desa yang
sembarangan. Nah menurutnya ada jukir yang lulus menjadi pendamping desa.
Kalau lulus berarti kan si jukir
masuk kriteria yang telah distandarkan Kementerian Desa bukan. Misal status
pendidikan serendahnya SLTA. Walau lulusan SLTA gak masalah juga kan. Kapan
kita akan menghargai karya siatem pendidikan kita sendiri, kalau ada pendamping
desa lulusan SLTA malah kita cemooh. Ingat, di kabinet kerja periode pertama
kemarin ada lho menteri lulusan SLTP. Meski demikian rakyat tidak mencemoohnya,
kecuali yang mencemooh heheh. Bahkan si menteri ini mampu membuktikan bahwa
tinggi remdahnya gelar lulusan sekolah tidak selamanya linear dengan prestasi
hidup seseorang baik untuk dirinya maupun prestasi dirinya untuk orang lain
(anfa'uhum linnaas).
Kalau toh sang jukir dalam
menjadi pendamping desa hanya karena terdorong motivasi seeking a job, juga
perlu diapresiasi. Bukankah tugas negara juga memberi kerja pada rakyatnya.
Andai dalam kerjanya sebagai pendamping desa tidak optimal, ada mekanisme
tersndiri yang disediakan oleh empunya program (Kemendesa PDTT) untuk
memonitoring dan mengevaluasinya sampai dengan mekanisme upaya penguatan
kapasitas agar para pendamping desa lebih cakap, terampil dan kreatif dalam
memerankan diri sebagai pemberdaya.
Kalau kita ingin mendapatkan
tenaga pendamping desa yang sempurna ya itu namanya cari PNS. Tapi bukan
berarti kualitas para pendamping desa itu banyak yang ecek-ecek. Kalau mereka
kaleng-kaleng mungkin seorang Yance pendamping desa dari Papua barat tidak akan
terpilih jadi anggota DPDRI. Tidak pula bagi seorang Sabit Banani, Eri, Imdad Durokhman terpilih jadi kades.
Belum lagi mereka yang jadi anggota DPR di belahan daerah lain. Berarti jejak
pemberdayaan yang mereka torehkan secara tidak langsung mendapatkan pengakuan
dari masyarakat sehingga mau menjadikan mereka pemimpin pemerintahan atau wakil
di lembaga legislatif. Yang nyalon tidak jadi pun tidak berarti tak dapat
pengakuan sih, hanya mungkin kadarnya yang masih belum sesuai dengan harapan
masyarakat pemilih.
Kembali ke pendamping desa, pada
hakikatnya peran dan posisi dalam gerakan pemberdayaan sudah berbeda dengan
konsep proyek-proyek pendahulunya mulai dari IDT, P3DT, PPK sampai PNPM
sekalipun. Proyek-proyek tersebut, bila saya ngobrol dengan para alumninya,
mengembangkan doktrin bahwa pemerintah tidak beres dalam penyelenggaraan
pembangunan. Maka pembangunan harus diserahkan kepada masyarakat. Makanya
seluruh sumber daya berupa bantuan permodalan atau dana bantuan pembangunan
infrastruktur harus dialirkan dan dikelola di luar jalur pemerintah yakni
barisan fasilitator yang berada di luar sistem desa. Masyarakat pun sebagai
pihak yang dikatakan penerima manfaat proyek juga tak ubahnya sebagai cheer
leader proyek. Membaca pakai kritik Tania Murai Li pada proyek pembangunan,
memang proyek-proyel tersebut menawarkan niat baik yang disebut oleh Tania the
will to improve, memiliki kehendak untuk memperbaiki. Tapi pada kenyataanya
desa hanya menjadi obyek proyek, pemerintah desa tak dianggap, warganya hanya
jadi media tanggapan atas nama partisipasi. Sumber daya pembangunan hanya
dialirkan melalui urat dan saluran darah pelaksana proyek.
Nah saat sistem berubah di mana
negara memberikan pengakuan atau menjadikan desa sebagai subyek pembangunan,
sisi lemah kapasitas pemerintahan desa dalam hal kemampuam teknokratik
birokratik hingga pengelolaan politik kebijakan masih juga dikambinghitamkan.
Padahal itu adalah bagian buruk paradigma pemberdayaan yang sebelumnya sangat
antidesa. Termasuk partisipasi. Ada sebagian dari kita mengkritik tingkat
partisipasi masyarakat yang rendah, misalnya dalam hal perencanaan dan
penganggaran pembangunan desa, sembari mengunggulkan keberhasilan proyek
pemberdayaan terdahulu yang dikatakannya berhasil membangun partisipasi warga.
Nah kalau berhasil harusnya partisipasi itu masih menyala dong di era
pembangunan desa sekarang yang dalam frame UUDesa sangat mengedepankan kekuatan
rekognisi pemerintah desa dan partisipasi/emansipasi masyarakat (istilah mas
Sutoro Eko, village driven development). Jadi ada co-production antara
pemerintah dan warga yang mana untuk mewujudkannya dibutuhkan katalisator
bernama pendamping desa.
Okelah, kiranya lima tahun
terakhir pelaksanaan program pendampingan desa minangka menifestasi perwujudan
desa yang demokratik, mandiri dan sejahtera, masih mencari titik
keseimbangannya. Tapi yang jelas, buku yang memuat story telling pendampingan
desa yang ditulis sendiri oleh mereka ini, saya kira akan memberikan evidence
bahwa kerja pemberdayaan mereka nyata dan bermakna. Bahwa masih belum optimal
ya, karena yang namanya sejarah memang bergerak dinamis, makanya dibutuhkan
upaya kritik otokritik, aksi dan refleksi dan upaya penguatan kapasitas yang
berkelanjutan sehingga gerakan pemberdayaan tidak mati gaya di tengah zaman
yang saling mendisrupsi dengan cepat. Oleh karenanya, upaya memaknai dharma
bakti para pendamping kiranya dapat kita tempatkan sebagai ikhtiar paradigmatik
mengapresiasi karya para pendamping yang kebanyakan bukan berupa artefak tapi
ideofak dan sosiofak.
Oklah...sampai di sini dulu.
Semoga kehadiran buku ini bisa menjadi teman refleksi dengan teman ngopi dan
udud, sehingga kita tak akan mudah mencibir dhrama bakti para pendamping desa.
Selanjutnya, kami sampaikan terima kasih kepada Menteri Desa Abdul Halim Iskandar, Sekjend Kemendesa PDTY Anwar Sanusi, Bapak Taufik Madjid Dirjend PPMD beserta
jajaranya, yang telah memberikan kepercayaan pada kami barisan para pendamping
untuk menuliskan dan bahkan berkenan diterbitkannya buku ini. Kepada mas Sutoro Eko dan mas Arie Djito yang sudah membaca lalu
meluangkan untuk menuangkan dalam prolog dan epilog buku, sehingga story
telling kami lebih memiliki daya dan makna.
Selamat kepada para pendamping
desa, kabarnya buku ini akan diluncurkan dalam suatu even nasional tanggal 25
November mendatang. Even apa itu.. Markihu.... Mari kit cari tahu....
Sumber : Akun Facebook Borni Kurniawan