Hubungan
antara negara dan desa tidak pernah cocok dan tuntas. Negara mengalami
kesulitan membangun desa. Berbagai program pembangunan terus mengalir ke desa
sejak 1970-an, tetapi seakan selalu pudar seperti "istana pasir".
Hari ini
pelaksanaan UU Desa mengalami kesulitan serius. Setahun lalu, kehadiran UU Desa
disambut dengan penuh antusias oleh para pemangku desa, tetapi kehadiran dana
desa tahun ini mereka sambut dengan keraguan dan ketakutan.
Mengapa? Itu adalah misteri desa. Clifford
Geertz (1980) pernah berujar: "Negara-yang sewenang-wenang, kejam,
hierarkis, kaku, tetapi pada dasarnya berlebihan-menunggangi 'komunisme
patriarkal' masyarakat desa, memperoleh makan darinya, dan sekali-sekali
merusaknya, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil masuk ke dalamnya. Negara
adalah impor dari luar dan merupakan gangguan eksternal, selalu mencoba
menyerap desa, tetapi tidak
pernah berhasil kecuali ketika menindas."
Intervensi "tata negara"
Desa bukan
hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit administrasi
pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah. Desa juga bukan sekadar
komunitas lokal, pun bukan sebagai lahan kosong yang siap menerima beragam
intervensi pembangunan, atau bukan pula sebagai pasar outlet proyek
pembangunan. Desa merupakan identitas, institusi, dan entitas lokal seperti
"negara kecil" yang memiliki wilayah, kekuasaan, sumber daya, pranata
lokal, dan masyarakat.
Untuk
memahami misteri desa, saya tidak perlu mencari teori-teori impor. Saya
mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa "desa mawa cara, negara mawa
tata". Petuah ini bukan hanya memberikan pesan tentang
multikuluralisme seperti halnya pepatah "di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung", desa mawa cara (desa dengan cara) membuahkan
frasa "cara desa", yang bermakna desa memiliki cara, adat, kebiasaan,
kearifan lokal dan prakarsa lokal. Negara mawa tata (negara dengan
tatanan) menghadirkan frase "tata negara" bahwa negara memiliki
peraturan, hukum, administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi,
dan sebagainya.
"Cara
desa" dan "tata negara" merupakan dua paradigma yang memiliki
nalar dan kepentingan berbeda. Benturan antara dua paradigma itu membuahkan
dilema intervensi negara masuk desa. Kalau negara tidak hadir, salah, tetapi
kalau hadir, keliru. Negara tidak hadir disebut isolasi, yakni negara
membiarkan desa tumbuh sendiri dengan swadaya lokal atau membiarkan desa
dirusak oleh tengkulak ataupun korporasi. Desa bisa miskin, terbelakang, dan
menjadi penonton di rumahnya sendiri karena negara tidak hadir (isolasi).
Negara hadir
secara keliru dengan jalan memasukkan dan memaksakan (imposition)
"tata negara" ke dalam desa. Dengan niat memperbaiki, para aparatus
negara memandang desa dari Jakarta, berupaya mengubah "cara desa"
menjadi "tata negara". Mereka tidak mengakui, menghormati,
memberdayakan dan memuliakan "cara desa", tetapi memasukkan
"tata negara" dengan modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi, dan
birokratisasi. Bahkan, aparatus negara melakukan mutilasi desa dengan
cara beternak banyak kelompok masyarakat, sebuah kerumunan yang dilembagakan
sebagai bentuk kanalisasi proyek pembangunan.
Rekognisi "cara desa"
Intervensi
"tata negara" bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki
dan membangun desa, tetapi juga menundukkan, melemahkan, dan merusak "cara
desa". Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi telah menghadirkan tiga
penyimpangan.
Pertama,
siasat lokal biasa ditempuh para pemangku desa yang cerdik untuk menembus
kerumitan birokrasi, dengan spirit "melakukan hal yang salah dengan cara
yang benar".
Kedua,
penumpang gelap adalah para "konsultan jalanan" yang membantu desa
menyiapkan dokumen perencanaan dan penganggaran desa guna memperoleh kucuran
dana desa.
Ketiga, para
aparat daerah sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang
disiapkan desa, tetapi semua ini berujung pada pencarian rente.
UU Desa
telah menyajikan rekognisi-subsidiaritas untuk menembus dilema negara antara
isolasi dan imposisi. Negara mengakui desa dan memberikan mandat kepada
desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (pelayanan
dasar, infrastruktur, ekonomi lokal, sumber daya alam, lingkungan,
ketenteraman, kerukunan, dan sebagainya) dengan "cara desa" (adat
istiadat, prakarsa, kearifan). Rekognisi ini merupakan jalan yang lebih tepat
untuk menghadirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus membuat
desa memiliki imajinasi dan kontribusi yang lebih baik kepada NKRI.
Karena
mengakui dan memberi mandat, negara melakukan redistribusi dana desa. Dana desa
adalah hak dan kewajiban desa (rezim desa), bukan rezim keuangan yang
teknokratis-birokratis.
Menjalankan
rekognisi-subsidiaritas memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit. Sisi
pertama adalah memotong kerumitan rezim administrasi-keuangan (penyaluran,
pengelolaan, penggunaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan), seraya membuat
instrumen dan prosedur yang simpel. Desa bisa mengelola keuangan secara
sederhana, seperti yang dilakukan oleh pengurus RT atau takmir masjid.
Sisi kedua
adalah tindakan pemberdayaan, yakni edukasi, katalisasi dan fasilitasi terhadap
desa untuk menemukan, menyatukan, dan melembagakan kekuatan lokal (pengetahuan,
kearifan, kepentingan, prakarsa) secara partisipatoris, menjadi basis tindakan
kolektif para pemangku kepentingan di desa. Pemberdayaan ini tentu jauh lebih
bermakna ketimbang para pemangku desa sibuk mengurus administrasi keuangan.
Oleh : Sutoro Eko
Guru Desa
STPMD "APMD" Yogyakarta dan Perancang UU Desa
Sumber : KOMPAS, 16 November 2015