Desa Peduli Anak


Oleh A Halim Iskandar (Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi)

PERKEMBANGAN anak ialah ukuran kemajuan masyarakat yang paling presisi. Anak, apalagi yang berumur setahun dan di bawah lima tahun, sangat rentan terhadap kondisi buruk lingkungan mereka. Karena itu, kesuksesan anak melewati masanya hakikatnya mengabarkan keberhasilan masyarakat.

 

Karena manfaat peduli anak baru dirasakan masyarakat belasan tahun kemudian, layaklah kondisi anak saat ini meramalkan keadaan masyarakatnya kelak. Di sinilah makna keberlanjutan masyarakat menemukan wujudnya.

 

Khususnya di desa, kepedulian terhadap anak terangkum dalam tujuan-tujuan SDGs Desa. Arah baru pembangunan desa ini memastikan terwujudnya desa peduli anak, sebagai tekanan agar desa memedulikan masa depannya.



Anak-anak desa Desa

 

Peduli Anak merangkum tujuan-tujuan SDGs Desa agar terpenuhi selama-lamanya pada 2030. Yang penting dicatat, sasaran dalam SDGs Desa selalu mencakup seluruh anak, yang biasa dikenal dengan adagium no one left behind.

 

Sejak lahir, anak-anak haruslah lepas dari kemiskinan dan kelaparan. Anak-anak juga harus mendapatkan akses fasilitas kesehatan dan pendidikan dan berkualitas. Anak-anak perempuan tidak boleh mengalami diskriminasi di mana pun. Sayangnya, masih muncul kondisi memprihatinkan di dunia anak, terutama di desa. Terlebih lagi, anak-anak keluarga golongan terbawah menjalani hidup lebih sengsara.

 

Pada 2019, hanya 51,81% anak-anak desa golongan terbawah yang mendapatkan imunisasi lengkap pada umur 1-2 tahun. Di kota juga hanya 53,77% anak-anak keluarga miskin yang mendapatkan imunisasi lengkap. Indikator itu menunjukkan kesehatan anak-anak keluarga miskin telah rentan sejak awal kehidupan mereka.

 

Diskriminasi pemberian ASI tidak terjadi karena pada 2019 sebanyak 66,19% bayi laki-laki dan 67,19% bayi perempuan sama-sama mendapatkan ASI eksklusif. Sayangnya, angka yang rendah itu justru mengedepankan masalah asupan gizi di masa awal kehidupan anak. Itu dilanjutkan menjadi 11,4% baduta (bawah dua tahun) kurang gizi dan 13,9% balita kurang gizi. Penanda kurang gizi itu terus menguat menjadi balita pendek dan sangat pendek (stunting), yang mencapai 30% pada 2018.

 

Obesitas bisa jadi masalah gizi baru. Proporsi balita obesitas hanya 1,5% (pada 2016). Namun, obesitas pada bayi satu tahun mencapai 8% (2018). Peningkatan prevalensi sejalan dengan peningkatan umur itu, menginformasikan kecenderungan obesitas menjadi masalah baru di masa depan.

 

Meskipun anak-anak desa belum terlepas dari belitan masalah, pembangunan pascarilis UU No 6/2014 tentang Desa mulai menunjukkan hasil. Yang utama, angka kematian bayi di desa berhasil turun lebih rendah daripada kota. Sepanjang 2012-2017, angka kematian bayi di desa turun dari 40 permil menjadi 23 permil, padahal di kota hanya turun dari 26 permil menjadi 24 permil. Yang lebih menarik, angka kematian neonatal di desa mampu anjlok dari 24 permil menjadi 15 permil. Sementara itu, di kota justru naik dari 15 permil menjadi 16 permil. Angka kematian balita di desa juga turun drastis dari 52 permil menjadi 33 permil. Ini juga sudah mendekati kota, yang sebenarnya hanya turun dari 34 permil menjadi 31 permil.

 

Dalam bidang pendidikan, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar di desa relatif telah serupa dengan kota. Namun, kesenjangan mulai muncul pada jenjang sekolah menengah. Pada 2019, APM sekolah dasar di desa 97%, sedangkan di kota 98,18%. APM sekolah menengah pertama di desa 74,98%, sementara di kota 81,89%. APM sekolah menengah atas di desa 49,6%, padahal di kota 59,3%. Jelaslah, anak-anak desa masih harus mengejar pendidikan lebih tinggi lagi meskipun, dengan angka yang masih rendah itu, anak-anak di kota juga masih perlu dipacu bersekolah.

 

Harus peduli anak

Sebagaimana rumusan SDGs global yang ditetapkan PBB pada 2015, SDGs Desa ialah pembangunan total atas desa. Seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa, tanpa ada yang terlewat (no one left behind), serta diarahkan agar generasi mendatang tetap menerima manfaat pembangunan.

 

Desa harus peduli untuk memperbaiki kondisi anak-anak. Guna menurunkan tingkat kematian neonatal dan bayi, dana desa dapat dibelanjakan guna perbaikan balai pengobatan, dan persalinan, pengadaan alat kesehatan, obat-obatan, dan sebagainya. Dana desa juga dapat digunakan sebagai dana operasional bidan dan kader kesehatan untuk melakukan kunjungan dan cek kesehatan ke rumah-rumah warga berpendapatan rendah.

 

Pemerintah desa perlu menyelenggarakan kampanye imunisasi yang diikuti dengan penyuluhan dan pemberian imunisasi anak oleh petugas kesehatan. Penyuluhan dapat dilanjutkan terkait dengan tumbuh-kembang anak, peran ayah dalam pengasuhan, dan sebagainya. Untuk mendukung pendidikan anak, desa harus memiliki daftar anak sekolah, anak putus sekolah, dan anak tidak sekolah. Rincian itu dipraktikkan secara arif, dengan menyalurkan bantuan biaya sekolah bagi anak tidak sekolah, atau putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi.

 

Desa juga bisa menyalurkan peralatan persiapan untuk masuk sekolah bagi keluarga miskin, diikuti dengan penyediaan bantuan biaya pendidikan (transportasi, uang buku, seragam), hingga jenjang pendidikan menengah pertama dan atas. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus juga perlu disiapkan. Juga penyediaan smartphone dan langganan internet bersama bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Jika dibutuhkan, desa dapat membiayai operasionalisasi pelatihan anak-anak di luar jam sekolah.

 

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/359951/desa-peduli-anak

Artikel lainnya



Klik Disini