Oleh : Irwan Rinaldi Sikumbang
Berita seputar pilpres masih mendominasi media massa dan media sosial. Tapi bagi politisi sebetulnya yang diamatinya bukan semata kemenangan capres yang diusung partainya, tapi terlebih lagi seberapa banyak partainya meraup suara di pileg.
Khusus untuk politisi dari partai pendatang baru atau partai lama yang "hidup"kembali, justru yang terpenting adalah apakah suara yang diperoleh partainya mampu meloloskannya dari treshold yang berlaku agar eksistensinya bisa berlanjut.
Nah, dari hasil hitung cepat yang ditayangkan banyak stasiun televisi, kita tak usah bahas pilpres karena kemenangan sudah dalam genggaman paslon Jokowi-Ma'ruf. Tapi mari kita lihat posisi empat besar parpol, yang terdiri dari PDI-P, Gerindra, Golkar dan PKB.
PDI-P dan Gerindra bolehlah disebut partai yang mendapat keuntungan "ekor jas" karena punya kader yang menjadi paslon di pilpres. Golkar dan PKB adalah pengusung Jokowi yang terbukti juga jitu stratreginya.
Namun Golkar sebetulnya boleh disebut partai yang plin-plan, karena pada pilpres 2014, calon yang diusungnya Prabowo-Hatta kalah. Baru kemudian Golkar membelot ke kubu Jokowi.
Harus diakui, PKB-lah partai yang jempolan karena intuisi politiknya secara konsisten terbukti amat tajam, bertahan di pusaran kekuasaan di segala cuaca sejak partai ini ikut pemilu.
Kita mulai dari Pemilu 1999, saat itu belum pemilihan presiden secara langsung. PKB meskipun menduduki peringkat 3 di bawah PDI-P dan Golkar, tapi berhasil mendudukkan Gus Dur di kursi Presiden.
Pada pemilu 2004, PKB kembali di posisi 3. Hebatnya, PKB malah tidak berkoalisi dengan PDIP yang mengusung Megawati-Hasyim Muzadi, yang nota bene Hasyim adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama, organisasi yang melahirkan PKB. PKB sendiri dengan cerdik merapat ke kubu SBY-JK yang akhirnya memenangi pilpres.
Berlanjut ke pemilu 2009, walaupun posisi PKB terjerembab ke peringkat 7, terburuk sepanjang sejarah partai ini, namun lagi-lagi intuisi politiknya dengan langsung merapat ke kubu SBY-Boediono, terbukti merupakan pilihan yang cerdas.
Kemudian pada pemilu 2014 PKB kembali naik posisinya ke peringkat 5 di bawah PDI-P, Golkar, Gerindra dan Demokrat. Tapi soal pilpres, PKB kali ini memilih berkoalisi dengan PDI-P untuk mengusung Jokowi-JK.
Nah, untuk pemilu tahun ini yang tinggal menunggu perhitungan KPU, sudah dapat dikatakan bahwa dengan mempertahankan dukungannya pada Jokowi membuat PKB betul-betul abadi dalam lingkaran kekuasaan.
Tapi kalau kita sedikit flashback ke bulan Mei 2018, Ketua Umum PKB Cak Imin sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Jokowi bisa kalah bila tidak menggandengnya sebagai cawapres (kompas.com 5/5/2018).
Seperti diketahui, saat itu Cak Imin bersaing antara lain dengan Romahurmuziy Ketua Umum PPP dalam mencuri hati Jokowi agar digandeng sebagai cawapres.
Cak Imin akhirnya memang tidak digandeng Jokowi, tapi secara mengejutkan menggandeng KH Ma'ruf Amin yang juga representasi dari PKB, sehingga membuat PKB all out memenangkan Jokowi-Ma'ruf.
Dari hasil hitung cepat yang diberitakan Kompas hari ini (18/4/2019), PKB meraup 9,39% suara. Sementara suara untuk Jokowi-Ma'ruf 54,52% dan Prabowo-Sandi 45,48% atau terpaut 9,04%.
Artinya, posisi Jokowi tidak tinggi-tinggi banget. Bayangkan bila hati Cak Imin "terluka" lalu ikut mengusung Prabowo, maka pemilih PKB yang terkenal fanatik dengan seruan pemimpinnya (berbeda dengan Golkar yang relatif kurang loyal, makanya tak berani "mengancam" Jokowi), tentu akan mengalihkan suaranya ke Prabowo.
Maka kalau itu terjadi, gampang dihitung, dengan tambahan suara 9% bagi Prabowo yang sekaligus menggerogoti suara Jokowi sejumlah yang sama, Jokowi akan kalah. Jelaslah Cak Imin bukan melakukan gertak sambal ke Jokowi.

Sumber :
https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/5cb70ed695760e47ae6d23c2/ancaman-cak-imin-ke-jokowi-ternyata-bukan-gertak-sambal