Isu gender menjadi salah
satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs merupakan kelanjutan dari tujuan pembangunan millenium/Millenium
Development Goals (MDGs) yang telah berakhir pada tahun 2015. Kesetaraan gender
tercantum dalam tujuan ke-5 SDGs yakni “Mencapai Kesetaraan Gender dan
Memberdayakan Kaum Perempuan”. Gender merupakan isu yang bersifat multi
dimensi.
Dalam realitas kehidupan
telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan
perbedaan status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan
daripada perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki
dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang
kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau
kultural.
Secara umum dalam praktek
kehidupan sehari-hari masih menunjukan adanya dominasi laki-laki atas
perempuan. Peran Domestik dalam Keluarga misalnya, meskipun perempuan
ditempatkan pada peran domestik di lingkungan keluarga, namun posisi perempuan
Indonesia selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi
kepala rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami kecuali
jika perempuan tersebut adalah seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam
suatu keluarga.
Meskipun peran perempuan
sangat banyak dalam suatu keluarga seperti mengurus rumah tangga dan anak-anak,
tetapi posisi kepala keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hanya ada
sekitar 13,9 persen rumah tangga yang kepala rumah tangganya perempuan (Susenas
2010). Selama ini pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara
kodrat perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin
dalam sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki ini menunjukkan bahwa
dominasi laki-laki ada pada peran domestik. Keadaan tersebut menyebabkan posisi
perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas,
dan dengan beban yang cukup berat, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus
anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan
fungsi reproduksi, seperti haid, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Penempatan perempuan pada
tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal
produktif menjadi berkurang. Tercatat
ada sekitar 33,5 persen perempuan yang hanya mengurus rumah tangga sehingga
tidak dimasukkan sebagai angkatan kerja (Sakernas Februari 2011). Bagi para
perempuan/istri yang bekerja, maka tugasnya menjadi berlipat ganda yaitu tugas
sebagai pencari nafkah sekaligus tugas untuk mengurus keluarga. Hal ini
mengakibatkan jam kerja perempuan menjadi lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Potensi perempuan sering
dinilai lebih rendah oleh sebagian besar masyarakat sehingga mengakibatkan
sulitnya mereka menembus posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama
dalam peran pengambil keputusan. Hal ini terlihat dari jumlah perempuan yang
menjadi pemimpin dalam masyarakat dinilai masih sangat jauh dibandingkan dengan
laki-laki. Sebagai contoh dalam pilkada kabupaten/kota, hanya sedikit perempuan
yang mencalomkan diri, apalagi kemudian terpilih menjadi bupati/ walikota. Pada
tahun 2012 hanya ada 10 perempuan yang menjadi bupati/walikota dibandingkan
dengan jumlah seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah 492. Sementara
Pilkada Serentak yang dilaksanakan pada tahun 2018, melahirkan wajah-wajah
pemimpin lokal baru, beberapa diantaranya adalah perempuan. Setidaknya ada 14
perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah baik di tingkat kota, kabupaten,
maupun provinsi (www.kompas.com). Angka ini menambah daftar pemimpin perempuan
di Indonesia. Bahkan saat ini di Provinsi Jawa Timur, terdapat sepuluh kepala
daerah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi perempuan dalam politik
terus menunjukkan peningkatan.
Sedangkan di Kabupaten Sumedang, bila dilihat dari
keterwakilan perempuan yang menjadi anggota DPRD pada tahun 2014-2019, dari
total 50 (lima puluh) Anggota DPRD hanya 9 (sembilan) orang perempuan atau setara
(18%), masih relatif rendah. Sementara bila dilihat komposisi perempuan dan
laki-laki yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah semakin berimbang. Pada
tahun 2017 PNS perempuan berjumlah 5.803 orang dan Laki-laki 5.382 orang. Namun
apabila dilihat dari komposisi yang menduduki jabatan strategis atau eselon dua
Laki-laki masih dominan.
Untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi.
Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan
program pembangunan nasional serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam
rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses pengambilan keputusan,
perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi
masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam
pengelolaan dan pembangunan sektoral.
Sebagaimana amanat
Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional
menjelaskan: “Pengarusutamaan Gender adalah proses untuk menjamin perempuan dan
laki-laki mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya, memperoleh manfaat
pembangunan dan pengambilan keputusan yang sama di semua tahapan proses
pembangunan dan seluruh proyek, program, dan kebijakan pemerintah”.
Kesetaraan gender dalam
kebijakan pembangunan menjadi indikator yang cukup signifikan, karena
kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi
kemiskinan dan memerintah secara efektif.
Semakin tinggi apresiasi
gender dalam proses perencanaan pembangunan, maka semakin besar upaya suatu
negara untuk menekan angka kemiskinan, dan sebaliknya semakin rendahnya
apresiasi dimensi gender dalam pembangunan akan meningkatkan angka kemiskinan.
Ketidaksetaraan karena
jenis kelamin juga dapat menimbulkan dan berpotensi terjadi kekerasan, yakni
kekerasan secara gender yang disebabkan oleh bias gender atau gender related
violence. Bahwa kekerasan ini terjadi akibat adanya ketidaksetaraan kekuatan di
masyarakat, misalnya pemerkosaan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah
tangga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ vital, kekerasan dalam
bentuk pelacuran (prostitusi), kekerasan dalam bentuk pornografi, kekerasan
dalam bentuk sterilisasi atau pemasangan alat Keluarga Berencana (KB),
kekerasan terselubung, pelecehan seksual.
Pentingnya regulasi atau
produk hukum yang mengatur keseteraan gender dalam pemerintahan menjadi
penting. Untuk di daerah, produk kebijakan berupa Peraturan Daerah yang
menjamin adanya kesetaraan dan keadilan gender dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan.
Oleh : Ari Arifin, M.Si.
(Penulis merupakan Tenaga
Ahli Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda KLA di Kabupaten Sumedang Pada tahun
2018).