Dengan tugas yang relatif signifikan dalam kerangka pemberdayaan dan mendorong kemandirian desa, maka selayaknya kecamatan memiliki kemampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dimaksud. Namun dari pengalaman di berbagai daerah, menunjukkan bahwa kemampuan aparatur kecamatan masih sangat terbatas, terutama yang terkait dengan pembinaan dan pengelolaan keuangan desa. Hal ini terlihat dari koreksi yang diberikan oleh kecamatan terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran desa tidak memberikan solusi konkrit bagaimana memperbaiki dokumen dimaksud.



Sumber daya aparatur kecamatan juga merupakan salah satu titik kritis dalam optimalisasi fungsi kecamatan. Kapabilitas SDM kecamatan dapat dilihat dari jenjang pendidikan terakhir pegawai kecamatan, yang dianggap sebagai faktor penting dalam pengembangan SDM organisasi (Schuler & Youngblood,++ 1986; Suprapto dkk., 2000). Pendidikan yang tinggi membuat pegawai kecamatan memiliki keahlian dan pola pikir yang lebih baik daripada pegawai yang memiliki pendidikan yang lebih rendah . Di daerah perkotaan yang dekat dengan ibukota DKI Jakarta saja, seperti Kota Depok, sebagian besar pegawai kecamatan adalah lulusan SMA. Lulusan SMA belum memiliki keahlian khusus terutama keahlian dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Dapat dikatakan SDM aparatur kecamatan merupakan kualitas kelas dua. Sementara itu, bila ada staf yang memiliki kinerja yang baik dipromosikan ke SKPD lain di kabupaten/ kota seperti Dinas atau Sekretariat Daerah. Meski promosi ini menguntungkan bagi staf dimaksud, namun dalam konteks peningkatan kualitas kecamatan menjadi disinsentif.

Efektifitas tugas kecamatan juga memerlukan dukungan kebijakan yang memadai, terutama terkait dengan pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota kepada camat. Dari pantauan terhadap beberapa daerah, nampak bahwa camat melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan desa lebih terkesan “kebiasaan” tanpa dukungan kebijakan formal. Akibatnya pelaksanaan tugas itu tergantung kepada tafsir dari masing-masing camat. Selain itu, besar kecilnya kewenangan yang didelegasikan oleh bupati/walikota kepada camat ikut menentukan besarnya peran kecamatan dalam pemberdayaan pemerintahan dan masyarakat desa. Meski demikian, kewenangan yang diberikan kepada camat juga jangan sampai mengakibatkan dominannya peran camat terhadap pemerintahan dan masyarakat desa.

Mengingat karakteristik dan kondisi masyarakat di masingmasing daerah berbeda, maka jenis dan besar kecilnya kewenangan yang diberikan kepada camat juga perlu disesuaikan dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat desanya masing-masing. Sehingga seperti disampaikan oleh pakar pemerintahan daerah, Prof. Sadu Wasistiono (2009) bahwa paradigma satu kebijakan untuk semua (one policy fit for all) perlu digantikan dengan beberapa kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi yang ada (several policies fit with condition).

Sebagian kecamatan juga telah memiliki pengalaman dalam melaksanakan reformasi pelayanan administrasi perizinan dan kependudukan melalui PATEN. Pengalaman dan kemampuan ini selayaknya dapat ditransfer kepada pemerintah desa. Hal ini tidak berarti bahwa desa akan melaksanakan pelayanan seperti kecamatan, namun kemampuan teknis dalam menata administrasi dan keuangan kecamtan dapat dimanfaatkan oleh Desa untuk menatakelola administrasi pemerintahan dan keuangannya dengan lebih baik.

Disarikan dari buku “Optimalisasi Fungsi Kecamatan dalam Memberdayakan dan Memandirikan Desa”, Selengkapnya Klik Disini UntukDownload