Mengkaji tentang kapasitas desa, terutama pemerintah desa, bukan sekadar kesanggupan dan kelancaran pemerintah desa menjalankan tugas pokok dan fungsinya atau mengikuti prosedur administrasi yang sudah baku saja. Kapasitas dalam konteks ini adalah penguasaan pengetahuan dan informasi maupun keterampilan menerapkan alat kebijakan dan program untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif dan efisien. Yang lebih penting lagi, kapasitas merupakan prakarsa untuk melakukan inovasi atau pembaharuan ide terhadap pengelolaan pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan dan pemberdayaan agar desa berkembang lebih dinamis dalam upaya mencapai visi-misinya yang digariskan dalam RPJMDesa.


Gambar ilustrasi : freepik.com


Tentu saja banyak daftar panjang kapasitas yang harus dimiliki oleh desa (Aparatur Pemerintahan). Tetapi, paling tidak, secara teoretis ada beberapa bentuk kemampuan (kapasitas) yang perlu dikembangkan, diantaranya :

Pertama, kapasitas regulasi (mengatur). Kapasitas regulasi adalah kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Pengaturan bukan semata-mata bertujuan untuk mengambil sesuatu (melakukan pungutan), tetapi begitu banyak pengaturan yang berorientasi pada pembatasan kesewenang-wenangan, perlindungan, pelestarian, pembagian sumberdaya (jabatan desa, kekayaan desa, pelayanan publik), pengembangan potensi desa, penyelesaian sengketa, dan seterusnya. Berbagai macam peraturan desa pada prinsipnya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keseimbangan, keadilan, keberlanjutan dan lain-lain.

Kedua, kapasitas ekstraksi. Kapasitas ekstraksi adalah kemampuan mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Paling tidak, ada enam aset yang dimiliki desa: (a) Aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalan desa, sarana irigasi, dll); (b) Aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang, kolam, dll); (c) Aset manusia (penduduk, SDM); (d) Aset sosial (kerukunan warga, lembaga-lembaga sosial, gotong-royong, lumbung desa, arisan, dll); (e) Aset keuangan (tanah kas desa, bantuan dari kabupaten, KUD, BUMDes dan (f) Aset politik (lembaga-lembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, rencana strategis desa, peraturan desa, dll).

Untuk meningkatkan kemampuan ekstraksi ini memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Yang jelas tidak semuanya padat modal, atau butuh dana besar. Umumnya langkah awal peningkatan kemampuan ekstraksi dimulai dengan analisis potensi desa (termasuk pemetaan tata ruang desa) yang kemudian dirumuskan menjadi rencana strategis desa. Rencana strategis mencakup tentang visi desa, yang kemudian dijabarkan menjadi rangkaian kebijakan, program dan kegiatan. Seorang Kepala Desa yang diberi mandat selama enam tahun memang bukan semata-mata untuk membangun pemerintahan tetapi menghadapi tantangan yang berat, yaitu bagaimana dan kemana desa akan dibawa selama enam tahun? Apakah Kades sudah cukup puas karena bersedia memberikan pelayanan kepada masyarakat nonstop selama 24 jam, atau sudah sangat puas karena peranannya sebagai “ujung tombak” dan “ujung tombok”? Tentu saja tidak. 

Termasuk dalam kapasitas ekstraksi adalah kemampuan pemimpin, terutama kepala desa, melakukan konsolidasi (merapatkan barisan) terhadap berbagai aktor, baik BPD, lembaga kemasyarakatan desa, tokoh masyarakat dan warga. Misalnya kalau Kepala Desa dan BPD masih saja ribut, maka tidak bakal membawa pemerintahan dan pembangunan secara efektif, apalagi membawa visi-misi besar desa. Karena itu berbagai unsur desa itu harus melakukan konsolidasi, membangun kesepahaman, keterbukaan, kemitraan, kebersamaan, saling mengisi untuk mengawal visi-misi desa.

Ketiga, kapasitas distributif. Kapasitas distributif adalah kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah kemampuan pemerintah desa merancang APBDesa, terutama dalam hal pengeluaran (alokasi). Umumnya pemerintah desa mempunyai kapasitas distributif yang masih kurang optimal, karena sebagian besar alokasi keuangan desa digunakan untuk belanja rutin pemerintahan saja, sementara dana pembangunan banyak dialokasikan untuk pembangunan fisik, sementara yang untuk alokasi ekonomi produktif dan Pembangunan Sumber Daya Manusia masih rendah. Selain itu dalam penyusunannya mereka sering terjebak dalam aturan kaku birokrasi “Supra Desa” yang cenderung membingungkan Pemerintah Desa.  

Keempat, kapasitas responsif. Kapasitas responsif adalah kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini harus ditempa terus, sebab selama ini agenda perencanaan pembangunan desa cenderung berangkat dari aspirasi elite desa saja.

Kelima, kapasitas jejaring dan kerjasama. Kapasitas jejaringatau jaringan adalah kemampuan pemerintah dan warga masyarakat desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI)  atau forum BPD, misalnya, bisa digunakan sebagai wadah untuk membangun kerjasama antar desa. Demikian juga kerjasama dengan perguruan tinggi maupun LSM/NGO.


Keenam, Kapasitas Pengolaan Data dan Informasi. Data memiliki fungsi yang sangat penting bagi kinerja dan kelancaran kerja suatu organisasi khususnya organisasi/Intansi pemerintahan. Instansi Pemerintah membutuhkan penyusunan data yang baik agar dapat membantu para pengambil kebijakan dalam menyusun rencana kegiatan dan mengambil sebuah keputusan. Data yang baik dapat disusun dalam sebuah database (basis data). Database memiliki arti penting dalam instansi agar dapat mengumpulkan, mengorganisir dan menganalisa tugas dan fungsi setiap instansi pemerintah dalam rangka pencapaian rencana strategisnya. Oleh sebab itu kemampuan manajemen data perlu diasah dan dikembangkan oleh pemerintah desa.


Peningkatan kapasitas pemerintahan desa pada dasarnya diarahkan pada tujuan-tujuan antara lain : 

  1. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individu sehingga masing-masing individu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diembannya;
  2. Mengembangkan budaya kerja, sistem dan prosedur kedalam kewenangan unit-unit kerja (Urusan/Seksi) pemerintahan desa dalam rangka mencapai tujuan masing-masing unit kerja;
  3. Mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja dengan pihak luar dan supra desa (SKPD/Pemda) dalam rangka menumbuh-kembangkan kemitraan.


Dari uraian sebagaimana diuraikan di atas, patut difahami bahwa “peningkatan kapasitas” merupakan upaya yang tiada henti, berproses terus secara bertahap dan berkesinambungan dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan desa secara optimal. Dan hal ini perlu dilaksanakan secara sinergi dan partisipatif oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, maupun oleh pihak Ketiga (Perguruan Tinggi, NGO/LSM, Pendamping/Fasilitator).

Diolah dari berbagai sumber literasi***  
Oleh : Asep Jazuli


Daftar Referensi :

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
PP 43 Tahun 2014
PP 47 Tahun 2015
Permendagri Nomor 111 Tahun 2014
Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Buku Peningkatan Kapasitas Desa
Buku Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Buku Kepemimpinan Desa
Majalah Freview Flamma Edisi 50 Tahun 2017